Mohon tunggu...
Miss Rochma
Miss Rochma Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Semua orang yang saya kenal adalah orang yang luar biasa dalam pemikirannya sendiri. Tulisan saya dengan gaya bahasa yang berbeda? disini : http://www.mamaarkananta.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Ramen] Ketika Beras Tidak Matang, Aku Mencuri

12 Januari 2012   05:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:00 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Miss Rochma, Nomer 25

“Maaf Gus, gulanya udah habis. Cuma tersisa 1 kilo itu saja. Kalau sudah, cepat bayar ya.”

Agus tersenyum miris mendengar ucapan pak Karto, pemilik toko bahan kebutuhan pokok satu-satunya di desanya. Miris karena dia tahu, pak Karto tidak akan pernah kehabisan gula untuk dijual ke penduduk desa. Setiap hari, mobil pick up pengangkut gula, beras, tepung dan lain-lainnya, selalu berhenti di depan tokonya untuk menurunkan isi perutnya.

Setelah membayargula dan tepung yang masing-masing hanya dia dapatkan sebanyak satu kilogram saja, Agus meninggalkan toko pak Karto dengan umpatan dalam hati. Memaki sikap pak Karto yang masih saja penuh curiga kepadanya. Padahal, kejadian itu sudah berlalu setahun yang lalu.

Sandal jepitnya yang sudah berubah menjadi coklat karena tidak pernah dia cuci, menjadi sasaran kekesalan Agus. Semakin coklatlah sandal itu karena disaruk-sarukkan ke kerikil-kerikil kecil yang berserakan di jalan desa yang mangkrak perbaikannya. Entah kapan perbaikan ini akan dimulai lagi. Bapak kepala desa yang berkepala botak itu, tidak sanggup lagi memberikan janji kepada penduduk desa karena menurutnya kas desanya sudah habis. Habis kemana larinya pun dia tidak akan berani menjelaskan karena takut Avanza silvernya yang kinclong itu dilempari betu oleh penduduk desa.

Ketika melewati rumah bu Sunimah yang berjualan sayur-sayuran, Agus mendengar beberapa ibu-ibu membicarakan dirinya. Suara mereka pelan, awalnya. Tapi lama-kelamaan semakin keras, sepertinya mereka sengaja.

“Aku sih gak kasihan sama si Agusnya, tapi sama kakaknya. Demi Agus, Tejo selalu kesana-kemari menawarkan singkongnya.”

Iyo Bu, mesakno Tejo. Gawe adik-adike, sampek gak ndang rabi.”

Agus iku tego karo Tejo yoh, Bu. Kurang opo Agus iku? Sekolah yoh wes dibayari, klambi yoh kari nggawe, sangu yoh diwenehi ben dino. Ngunu kok yoh ngelekno jenenge Tejo karo nyolong beras nang tokone pak Karto.”

Agus mendengus mendengar rumpian ibu-ibu tetangganya itu. Tapi dia tidak bisa memungkiri kalau yang dikatakan ibu-ibu itu adalah benar. Setahun yanglalu dia pernah mencuri sekarung beras dari tokonya pak Karto. Tapi sungguh, dia melakukan itu karena kondisi keluarganya sudah sangat kekurangan. Adiknya, Minah dan Ratri, sudah tidak sanggup lagi menahan lapar karena hasil panen singkong yang gagal panen. Ketika mereka sekeluarga tidak bisa makan beras karena tidak memiliki uang lebih, singkong bisa mereka olah menjadi tiwul. Tapi kalau singkong mereka gagal panen? Uang tidak dapat, tiwul pun juga tidak matang.

Tapi, itu satu tahun yang lalu. Agus jera sudah setelah pukulan dan tendangan warga desa mengenai badan dan pipinya. Terlebih lagi, jera yang mendalam ketika Tejo menangis di depannya karena kelakuannya yang bejat.

Nasi sudah menjadi bubur. Namanya sudah tercoreng. Berdampak pula pada dagangan kakaknya, Tejo. Semakin sepi pembeli dan semakin tinggi rintihan adik-adiknya ketika menahan lapar. Agus sudah tidak bisa menyesal lagi dan dia memutuskan untuk berubah. Yah, berubah. Dia tahu, akan sulit merubah pandangan masyarakat terhadap dirinya karena kesalahan yang diperbuatnya dulu, tapi hal itu tampaknya tidak membuat Agus putus asa untuk merubah perilaku dan prinsipnya supaya menjadi lebih baik.

“Yah, maka disinilah aku sendiri menatap cakrawala dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok. Supaya aku selalu memperbaiki diri.Bukan untuk diriku sendiri, tapi demi saudara-saudaraku dan nama baik almarhum baoak ibu." Janji Agus dalam hati sembari meninggalkan jalan berdebu karena angin sore yang kencang

***

Keterangan :

Iyo Bu, mesakno Tejo. Gawe adik-adike, sampek gak ndang rabi.”

Iya Bu, kasian Tejo. Demi adik-adiknya, sampai tidak segera menikah.

Agus iku tego karo Tejo yoh, Bu. Kurang opo Agus iku? Sekolah yoh wes dibayari, klambi yoh kari nggawe, sangu yoh diwenehi ben dino. Ngunu kok yoh ngelekno jenenge Tejo karo nyolong beras nang tokone pak Karto.”

Agus itu tega yah bu sama Tejo. Kurang apa Agus itu? Sekolah sudah dibiayai, baju tinggal pakai, uang jajan diberi tiap hari. Begitu kok malah menjelekkan namanya Tejo dengan mencuri beras di tokonya pak Karto

1326345284859875902
1326345284859875902

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun