Mohon tunggu...
Miss Rochma
Miss Rochma Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Semua orang yang saya kenal adalah orang yang luar biasa dalam pemikirannya sendiri. Tulisan saya dengan gaya bahasa yang berbeda? disini : http://www.mamaarkananta.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ketika Kau Melarangku Menjadi Penulis Fiksi, Ayah

19 September 2011   13:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:49 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ayah,

Ketika kau melarangku menjadi penulis fiksi, aku menentangmu. Tidak dengan tangisanku layaknya tangisan anak perempuan yang terlihat cengeng, tapi aku langsung menentangmu dengan suaraku.

Ayah,

Fiksi adalah tujuan hidupku. Fiksi adalah tempat yang mampu membuatku nyaman dalam menit-menit sendiriku. Fiksi adalah rumah kedua setelah rumah yang kau bangun sekarang ini untuk ibu, aku dan adik Faza. Fiksi adalah teman bermainku sejak aku sudah mengenal bagaimana cara membaca tulisan dan menulis rangkaian kalimat. Dan fiksi adalah malaikat penolongku ketika aku sudah mulai bosan menjadi diriku sendiri di dunia nyata. Jadi Ayah, tidak alasan bagimu untuk melarangku mencintai fiksi.

Ayah,

Aku ingat ketika kau melempar novel remaja yang aku beli dengan uang tabunganku sendiri ke tempat sampah. Saat itu, umurku baru 12 tahun. Novel yang sengaja aku sembunyikan dengan sangat hati-hati karena kau tidak suka aku terus membaca novel di sela-sela waktu belajar dan waktu istirahatku. Ternyata, novel itu kau temukan dengan tidak sengaja di atas tempat tidurku ketika kau mengambil bantal di kamarku. Ah, asal kau tahu Ayah, semua buku fiksi yang sudah aku beli, aku simpan rapi disebuah kotak rahasia yang asalnya merupakan kotak sepatu dan aku sembunyikan di atas almari baju. Sedangkan sepatunya, sudah aku berikan ke anak penjaga sekolah yang sepatu olah raganya sudah terbuka ujungnya.

Ayah,

Aku juga ingat, ketika kau melempar buku kumpulan cerpen pertamaku di atas kursi di ruang tamu ketika dengan bangga aku menunjukkannya kepadamu. Ketika itu aku sudah kelas 2 SMA, sedang bersemangatnya menyusun segala mimpi tentang masa depanku. Semua itu terasa tidak berarti apa-apa dihadapanmu, karena kau menolaknya denga rasa jijik yang tampak dari senyum di ujung bibirmu. Katamu ketika itu, menjadi penulis fiksi tidak akan membuat hidupku menjadi berarti bagi orang lain karena hanya menciptakan kumpulan khayalan yang tidak berarti. Tapi Ayah, kesedihan itu hanya 2 hari saja aku telan mentah-mentah. Setelahnya? Aku malah semakin menggila dengan fiksi. Sehari aku bisa menghasilkan fiksi meskipun itu hanya sebait dan meskipun fiksiku itu terlihat tak menarik bagi orang lain.

Dan Ayah,

Sampai tadi malam, aku tidak tahu alasan apa yang membuatmu sangat melarangku bergumul dan bersenandung dengan fiksi. Sampai pada akhirnya ibu mau membuka mulut dan mengalirkan ceritanya tentang dirimu dan fiksi. Ternyata, Eyang Kakung pernah melarang keras kau berimajinasi dalam fiksi meskipun beliau tahu kau tidak terpisahkan dengan fiksi. Semua hasil karyamu semasa muda dulu, Eyang bakar dihadapanmu dan melarangmu kembali menghasilkan imajinasi tanpa batas. Ya, ibu mengatakan Eyang sudah memasung imajinasimu dan ternyata kau belajar untuk menerimanya karena baktimu pada Eyang. Beruntung bagiku, ibu menyimpan beberapa karyamu semenjak kau menunjukkan bakatmu ke orang lain. Sehingga semalaman, habis sudah karyamu itu aku nikmati. Dan dari situlah aku tahu Ayah, kalau kau sama sepertiku. Mencintai fiksi dan tak dapat dipisahkan dari fiksi.

Tapi Ayah,

Tak pantas kiranya kau melarang diriku untuk menjauhi fiksi. Aku yang sekarang adalah kau ketika muda dulu. Kita sama, Ayah. Minat kita pun juga sama. Hanya saja, aku tidak berhenti mencipta karena besarnya cintaku pada fiksi. Tidak seperti dirimu yang takut karma atas nama bakti pada Eyang.

Maaf Ayah,

Kalau kata-kataku yang sekarang ini akan menyakiti hatimu karena aku tidak memiliki bakti padamu atau karena kau iri pada keputusan yang sudah aku buat matang. Tetapi yang pasti Ayah, sekarang aku mampu membuat keluargaku hidup dengan tenang dari hasil penjual beberapa buku fiksiku meskipun buku yang aku hasilkan masih kalah tenar dengan buku dari luar negeri. Dan Ayah, si kecil Almira yang sekarang sudah duduk di kelas 2 SD, tampaknya mulai menikmati fiksi-fiksi yang hadir di sekitarnya. Dan atas nama rasa sayangku pada fiksi, aku tidak akan melarangnya mencintai fiksi jika suatu hari nanti cucu Ayah ini memilih jalan yang sama sepertiku.

Ayah,

Meskipun kau melarangku menjadi penulis fiksi, aku tetap mencintaimu sebesar cintaku pada ibu. Dan sampai sekarang pun, aku tetap merindumu meskipun aku tak mampu lagi memelukmu dan bergelayut dalam buaianmu.

***

Suasana di pemakaman sudah begitu terik meskipun jarum jam di arloji Fina masih mengarah di angka sepuluh. Mengingat dirinya harus segera menjemput Almira, segera Fina meletakkan amplop berwarna coklat di atas pusara ayahnya dengan harapan malaikat akan membacakan isi surat itu untuk ayahnya di surga.

Sambil beranjak dari rumah terakhir ayahnya, Fina berucap dalam hati,”Kita ini sama, Ayah. Karena aku anak Ayah.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun