Mendidik anak berkebutuhan khusus, merupakan sebuah pembelajaran sifat sabar tersendiri yang khusus diberikan Tuhan kepada saya. Ada 4 siswa saya yang termasuk anak berkebutuhan khusus dengan kategori autis dan 2 anak dengan kategori lambat belajar. Sebenarnya ada 2 siswa lagi yang termasuk anak berkebutuhan khusus tetapi mereka dibimbing oleh guru BK yang lain. Dalam mendidik, kami memberikan arahan saja dalam proses pembelajaran di sekolah terutama ketika siswa diharapkan mampu menjalin komunikasi dua arah dengan baik dengan teman sebayanya, minimal dengan teman satu kelasnya.
[caption id="attachment_89094" align="alignleft" width="314" caption="Sofiana/Miss Rochma.doc"][/caption] Kali ini saya ingin berbagi cerita tentang Sofi. Siswa kelas 7 dengan hasil tes IQ yaitu 87 dengan diagnosa lambat belajar. Hari Sabtu kemarin, saya masuk di kelas 7i, tempat Sofi setiap harinya berinteraksi dengan teman-temannya. Setelah saya memberikan banyak materi dengan metode diskusi, minggu ini waktunya mereka untuk mengerjakan serangkaian soal untuk mengetahui kemampuan mereka yang sesuai dengan materi yang saya berikan. Tak terkecuali Sofi sekali pun, dengan soal yang sama hanya saja dia saya dampingi pada saat mengerjakan.
Ada 18 soal yang harus dikerjakan. 13 soal tentang penilaian diri dan 5 soal deskripsi kegiatan sehari-hari. Dari keseluruhan soal yang saya berikan, hanya 5 soal penilaian diri dan 1 soal deskripsi kegiatan sehari-hari yang mampu diselesaikan oleh Sofi dalam jangka waktu 45 menit. 3 soal penilaian diri dikerjakan tanpa bantuan saya, sedangkan soal-soal yang lain dikerjakan dengan bantuan saya tetapi hanya dijawab dengan kalimat-kalimat sederhana. Meskipun hanya kalimat sederhana yang dihasilkan oleh Sofi, tetap perlu ada bimbingan karena ada kalanya kata-kata yang ditulis oleh Sofi salah dalam penulisan. Contohnya pada saat Sofi salah menulis kata upacara dengan kata uparaca.
Selain perlunya bimbingan pada saat mengerjakan soal, Sofi juga perlu bimbingan untuk memahami sesuatu. Contohnya pada saat dia diharuskan menjawab soal yang mempertanyakan bakat yang dimilikinya. Jawaban yang diberikan adalah olah raga lomba bola voli. Karena saya merasa Sofi bisa menjawab lebih dari itu, saya memberikan pertanyaan yang masih berkaitan dengan pertanyaan pertama.
“Sofi pernah ikut lombanya dimana saja?” Tanya saya sambil menatap matanya karena saya harus melatih dia untuk bisa melakukan kontak mata dengan orang lain karena Sofi tidak pernah menatap mata orang lain ketika berbicara. Saya sudah menduga, Sofi tidak bisa menjawab pertanyaan saya tadi. Akhirnya, saya menegaskan kepadanya untuk menatap mata saya dan saya ambil kesempatan yang singkat itu untuk mengulang pertanyaan saya. Ternyata, dengan cara seperti itu, Sofi bisa memahami pertanyaan yang saya berikan.
“Di SD At-Thorriyah.” Jawabnya singkat. Saya lirik jam tangan saya. 5 menit untuk menjawab satu soal sederhana.
“Selain lomba voli, apalagi yang Sofi bisa?” Tanya saya lagi sambil melihat Sofi yang menoleh ke kanan dan ke kiri, asyik memperhatikan yang lain. Lalu saya ulang pertanyaan saya tadi dengan cara menyuruhnya kembali menatap mata saya dan berhasil. Dia menjawab lomba lari dan lomba kelereng. Dalam pemahaman saya, Sofi menjawab begitu karena lomba lari dan lomba kelereng merupakan lomba yang menggerakkan anggota tubuh. Mungkin dia menjawab seperti itu karena Sofi memperhatikan penjelasan saya di kelas tentang kecerdasan ganda yang dimiliki seseorang yang diantaranya adalah kecerdasan kinestetik.
[caption id="attachment_89096" align="alignnone" width="512" caption="Jawaban Sofi untuk soal pertama/Miss Rochma.doc"]
Ada satu lagi yang termasuk dalam agenda saya dalam membimbing Sofi, yaitu membimbing dia untuk memproduksi kembali informasi yang pernah diterimanya dan membantu Sofi untuk bisa menyebutkan dengan benar informasi tersebut. Contoh saja ketika saya menyuruh Sofi untuk menyebutkan kegiatan sosial apa saja yang dia lakukan di sekolah. Karena saya merasa Sofi tidak memahami pertanyaan itu, saya ulang pertanyaan tersebut dengan kalimat sederhana yang mudah dipahami olehnya. Yaitu mengganti kata kegiatan sosial dengan kegiatan yang dilakukan bersama teman-teman.
Setelah melewati kira-kira satu menit untuk berfikir (tentunya dengan menoleh ke kanan dan ke kiri), akhirnya Sofi menjawab membaca undang-undang dan bernyanyi Indonesia Raya. Awalnya saya tidak paham, tetapi ketika pandangan saya tanpa sengaja menatap tiang bendera di luar kelas (kelas Sofi berdekatan dengan lapangan sekolah), saya baru sadar kalau Sofi bermaksud untuk mengatakan bahwa kegiatan sosial yang dilakukan oleh dia adalah upacara.
Saya tidak langsung puas dengan jawaban Sofi (karena saya yakin Sofi bisa menjawab lebih baik lagi), akhirnya saya motivasi dia untuk terus mencari jawaban lain. Dan jawaban dia kali ini adalah menghormati bendera, lagi-lagi jawaban yang berhubungan dengan upacara. Setelah menjawab, Sofi berhenti lalu menggigit ujung pensilnya. Ini merupakan salah satu ciri Sofi ketika dia sudah malas ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Karena menyadari keengganan Sofi ini, akhirnya saya alihkan ke pertanyaan lain yang tentunya masih berkaitan dengan jawaban Sofi tentang upacara.
“Tadi Sofi menjawab menghormati bendera, membaca undang-undang dan menyanyi Indonesia Raya.” Tampak Sofi mengangguk-angguk bersemangat sambil memandang buku di depannya.
“Kalau begitu, Sofi tahu tidak menghormati bendera, membaca undang-undang dan menyanyikan Indonesia Raya itu termasuk kegiatan apa?” Sofi terdiam. Tampak dia berfikir tapi sepertinya dia kesulitan mengingat nama kegiatan tersebut.
“Sofi melakukannya dengan teman-teman yah?” Anggukan Sofi terlihat lagi tapi kali ini dengan menggigit ujung pensilnya. Rasa jenuh sudah menghampiri Sofi dan saya tidak bisa lagi memaksa Sofi untuk menjawab pertanyaan saya daripada nanti dia menjadi marah dan tidak mau mengikuti pelajaran lainnya yang belum dia hadapi hari ini.
“Sofi, coba tatap mata Ibu. Nama kegiatannya adalah upacara.” Mungkin karena mendengar kata upacara yang sedari tadi sudah dia coba untuk diingat kembali namun tidak berhasil, Sofi tersenyum. Lalu cepat-cepat dia tulis kata upacara di atas lembar soal di hadapannya. Ketika saya periksa hasil tulisannya, ternyata Sofi salah menuliskan kata upacara dengan uparaca.
[caption id="attachment_89097" align="alignnone" width="448" caption="Seharusnya upacara/Miss Rochma.doc"]
Begitulah teman, salah satu cara saya melatih kesabaran saya. Membimbing anak berkebutuhan khusus yang ada di sekolah saya. Ayo, bersama kita cari cara untuk melatih kesabaran dengan obyek apapun yang ada di sekitar kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H