Mohon tunggu...
m.m (marsogi the manatee)
m.m (marsogi the manatee) Mohon Tunggu... Dokter - a legend procrastinator with a great curiosity

menuangkan apa yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata karena terperangkap oleh pemikiran bahwa pemikiran ini tidak memenuhi standar umum yang lumrah di manusia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kamu Mau ke Mana, Hamster?

5 November 2021   19:55 Diperbarui: 5 November 2021   20:41 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: animalj0427606.jpg (1014×1024) (lifecoachonthego.com) 

Tahun-tahun belakangan ini, banyak sekali buku-buku, atau kursus meditasi, yang memberitahu bahwa kita harus aware terhadap inner feelings kita supaya bisa legowo dan move on. Hal-hal ini seringkali disebut sebagai emotional intelligence. Setuju sih, secara selama ini saya sendiri juga selalu mengunci rapat-rapat perasaan yang kita label sebagai perasaan negatif, seperti sedih, tidak berdaya, tidak adil, marah, tidak terima. 

Sering kita tidak ngaku kalau lagi merasa 'negatif'. Seakan-akan, kalau kita mengaku, artinya kita lemah, dan tidak sesuai standar ekspektasi masyarakat. Dalam bahasa lain, mengaku bahwa kita bisa merasa 'negatif', seakan-akan terkesan kita tidak bergengsi, tidak kuat, tidak inspiratif dan bukan role model. 

Tidak jarang orang memikirkan ekspektasi orang-orang ke kita. Ekspektasi dari orangtua, lingkungan kerja, lingkungan tetangga, lingkungan arisan, lingkungan pendidikan, lingkungan netizen di media sosial. Tapi kok kita jarang berdiskusi atau kepikiran kalau kita sebagai manusia, saat diberi kesempatan hidup, kita tuh sebetulnya di expect apa sih dari si Pemberi Kehidupan? Hidup, survive, belajar, kerja, lalu meninggal. 

Tapi semakin padat manusia, dan jika hanya begitu-begitu saja, rasa-rasanya bukannya menambah sampah pemakaian manusia saja? Ya seperti limbah, plastik, emisi karbon dan polusi. Lalu tanpa kita sadari, setelah bertahun-tahun, kita akan terus muter-muter sampai umur rumah kita, Bumi, habis. 

Ngejar apa sih kita? Ngejar apa sih hamster? Hei hamster, kamu lari-lari terus dalam mainan lingkaranmu yang selalu sama dan tidak pernah kemana-mana. Hamster, mau kemana tujuan kamu?

Sembari menulis ini, sembari bertanya-tanya. Aku tidak bisa memungkiri, bahwa ketika menulis ini, sudut pikiranku takut kalau-kalau ini sudah jam 16.00. Jam 16.00 adalah waktunya masak, anak sudah waktunya bangun dari tidur siang, dan artinya sudah waktunya aku menemani dia main. 

Saat itu tiba, aku akan kembali berputar dalam kehidupanku, seperti hamster yang berputar di lingkarannya tanpa kemana-mana. Jika putaranku lancar, aku akan tetap survive memenuhi ekspektasi umum orang-orang di kehidupan ini sampai batereku habis. Iya, sampai aku sudah lelah dan tidak sanggup lagi berputar-putar. 

Sambil menulis ini, youtube ku berjalan memutar lagu favoritku. Eh tiba-tiba, di sela lagu ada iklan terselipkan. Iklan yang warna-warni, menarik mata, serta mengalihkan fokus perhatianku. Spontan aku senyum sendiri, "Kok pintar ya manusia menciptakan 'hiburan' dan 'kesibukan' untuk kita". Akupun berpikir demikian, sambil terus berputar-putar di lingkaranku. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun