Usia kandunganku yang sudah memasuki usia 9 bulan ini , sungguh membuatku gundah. Bagaimana tidak gundah. Bayangan aku akan melahirkan dimanapun masih belum tergambar jelas. Bahkan untuk bisa bertahan hidup sehari-hari dengan 2 anak-anakku yang masih kecil saja kami terpaksa harus menumpang dirumah mertuaku. Sejak krisis dan ibu mertuaku meninggal kami memang tinggal menumpang bersama adik perempuan suamiku yang belum menikah. Ada rasa tak enak , entah karena terbiasa hidup enak dan menjadi ratu dirumah sendiri, sekarang harus berbagi rumah dengan adik iparku, yang memang karena perempuan satu-satunya dari keluarga, jadi dia yang terbiasa mengatur keuangan dan rumah keluarga mertua.
Mungkin karena aku sedang hamil dan egoku yang belum menerima bila saat ini hidup jadi serba kekurangan. Gesekan sedikit terkadang meletup besar. Aku sediri mencoba menahan, tapi labilnya emosi akibat hormon hamilku dan keadaan ingin berteriak kepada Soni suamiku untuk cepat mencari jalan keluar dari krisis ini. Dalam keadaan seperti ini, sebagai anak perempuan yang sedang dilanda kesulitan tentunya yang kuidamkan adalah ingin kembali berada pada pelukan mama dan papaku. Ya kedua orang tuaku memang masih ada. Aku satu-satunya yang baru menikah dan mempunyai anak 2 mau tiga dengan yang saat ini kukandung. Kakakku yang pertama masih susah untuk memilih jodoh , tapi cenderung menyalahkan aku karena aku dianggap melangkahinya. Padahal saat suamiku melamar dia pun juga sedang dilamar rekan sekuliahnya. Tapi setelah aku menentukan tanggal nikah ternyata calonnya justru meninggalkannya. Ach sudahlah capek memikirkan kakak yang satu itu. Mungkin yang paling gampang adalah menyalahkan aku.
Kembali aku termangu untuk tetap memilih kembali pulang ke rumah mama-papa. Soni sebenarnya keberatan, tapi iapun tidak ingin dihadapkan pada situasi antara istri dan adik perempuan satu-satunya. Perkiraanku tinggal 2 minggu lagi aku pasti akan melahirkan. Jadi jangan sampai emosi labilku pun membuat heboh situasi dirumah mama. Papa yang sudah pensiun 2 tahun ini senang-senang saja ada jagoan kecil dirumahnya Fatur dan Rama segera dengan cepat merebut perhatian seisi rumah. Kebetulan kakakku kost di Bandung. Dia menjadi dosen disana. Aku menempati satu kamar berempat bersama Soni dan 2 jagoanku. Mama berusaha menjaga perasaan semua pihak walau terlihat sekali sayangnya seorang nenek terkadang berlebih , sehingga adik adik ku kadang sedikit protes. Aku berusaha mengimbangi, yah lihat situasi lah.
Akhirnya aku melahirkan , seorang jagoan lagi rupanya ( aku memang sempat tidak memeriksa kehamilan dan jenis kelamin jabang bayiku karena keterbatasan biaya). Nah inilah rupanya awal permasalahanku dengan keluargaku. Bayiku lebih merebut perhatian mama dan papa. Aku yang harus berbagi dengan 2 jagoan lain memang agak kerepotan. Terlebih Soni mulai sering keluar kota untuk mencari tambahan . Kakakku yang pulang untuk menengok mama dan papa, mulai merasa terganggu. Maklum biasanya mama full perhatian untuk dia saat dia dirumah. Mama berusaha memberi pengertian , tapi biasalah namanya belum menikah pastinya ingin cari perhatian lebih. Terkadang geli juga, kok ya kakakku justru berebut perhatian mama papa dengan 2 ponakannya. Ah lagi-lagi aku harus mengerti keadaannya. Aku paling hanya bisa menahan hati dan tidak terbawa emosi. Aku harus tahu diri. Aku menumpang jadi harus lebih mengerti keadaan yang ditumpangi.
Semingu setelah kakakku pulang , pagi itu kudengar suara keras mama ditelpon. Rupanya mereka terlibat perdebatan. Aku berusaha menyimak dan mengambil bayiku yang saat itu ada digendongan mama sambil menelpon. “ Ya sudahlah mbak kalau kamu nggak mau pulang karena Cuma adikmu lagi disini. Papa sudah senang ada hiburan. Memangnya kamu nggak kasihan ? Ayo mbak..jangan kaya anak kecil ah !!” kata mama keras sekali. Telpon ternyata ditutup dari sana. Mama sedih dan terlihat merenung. “ mah, maafin aku yach . Dewi jadi menyusahkan mama papa…kataku ikut sedih. Aku tau mama gundah karena dengan keadaan kakak yang belum menikah , labil sekali. Mama memelukku dengan sayang, “ ya sudahlah , kita yang harus mengerti dia yaa, kata mama lagi. Tak lama telpon kembali berdering , kakak ku kembali menelpon mama. Kali ini rupanya kakak mengancam tidak akan pulang selama aku masih disitu , mama hanya bisa terdiam dan mengatakan, “ Istighfar mbak! “ tapi rupanya telepon kembali ditutup.
Aku tidak ingin mengambil jalan ini , sebenarnya. Tapi keadaan itu tidak bisa kuhindari. Aku sebenarnya masih ingin terus bergayut manja pada mama dan papa , lewat dimana aku tinggal untuk sementara waktu. Sampai Soni suamiku bisa kembali memulihkan keadaan ekonomi keluarga kami. Namun Kakak dan adik-adikku takut bila mereka jadi kehilangan kasih sayang mama dan papa . Adikku rupanya ada yang termakan hasutan kakak, katanya aku akan menguasai rumah mama papa. Hingga aku yang berusaha menahan sabar , tersulut juga untuk ribut dengan adikku Doni yang memang kutahu paling temperamental. Sejak minuman keras mulai diminumnya ditempat kerjanya , otaknya sering dangkal menyikapi permasalahan. Saat itu mama meminta pengertianku untuk keluar rumah dan menghindari keributan yang lebih panjang.
Aku bingung, uang ditangan hanya ada 500 ribu , dan bayiku masih merah belum genap 20 hari , dan Suamiku belum pulang. Segera kutelpon Soni suamiku, tapi tidak berani kuceritakan keadaan dirumah. Baru setelah ia pulang dan melihat tas yang sudah kusiapkan ( beruntung aku sempat mencari rumah petakan yang tidak jauh dari mama) ia mengerti dengan keadaan dirumah.
Tapi karena masih lelah dan emosinya sebagai seorang laki-laki yang bingung dengan uang yang pas-pasan dan bayiku yang masih kecil , marah mengapa mama papa justru membela kakakku. Padahal saat ini kami sedang butuh dibantu mama papa. Papa sempat marah karena dianggapnya suamiku tidak mengerti kedaan kakakku dan menyalahkannya mengapa harus terjadi krisis . Aku segera memeluk suamiku untuk melerai ,“ Sudah , sudah ayah…. mengertilah mereka panik karena kakak mengancam untuk tidak pulang. Mengertilah…Jadilah perpisahan itu sungguh tidak mengenakkan. Saat itu aku melihat tangis tertahan dimata mama.
8 bulan sudah aku tinggal dirumah petakan ini. Jaraknya sebenarnya hanya 500 meter dari rumah mama. Hanya karena letaknya dibelakang dan harus memutar bila kerumahku, jadilah kami tidak pernah datang ataupun bertandang. Aku berusaha menjaga perasaan suamiku. Kutekan rasa kangen ini , sebenarnya sudah sebulan ini Danu adikku mencoba menjembatani , aku masih menahan ego untuk tidak kerumah mama. Kata adikku di moment ramadhan ini , bungsuku dan kakak kakaknya terkadang dibawa main Danu kerumah mama. Yah mulai dari mereka dululah. Aku belum siap untuk datang saat ini kerumah mama. Sebenarnya ini waktu yang tepat , karena ini bulan puasa . Tapi Soni suamiku bilang , kita masih susah bu..apa nanti tidak jadi cemoohan kakakmu! Huh boro-boro dia mengerti, bisanya Cuma menyalahkan keadaan kita. Yang ada dia tertawa tuh bu, lihat kita susah.” Kata suamiku. Aku hanya terdiam menahan rasa, mungkin nanti lebaran Soni mau kuajak.
Lebaran tinggal 2 hari lagi , belum juga Suamiku mendapat uang untuk lebaran kami , sungguh ramadhan ini sedih sekali untuk keluarga kecil kami. Aku seperti biasa , kembali gundah…perempuanku kembali bermain. Ingin membeli sesuatu untuk lebaran anakku dan rencana membawa buah tangan saat silaturahmi lebaran nanti ke mama , masa lebaran kali ini kami harus manyun. Dalam gundahku adikku Danu mengatakan, supaya sampai lebaran hari ke-3 anakku tidak bermain kerumah dulu , karena mama mau keliling kerumah saudara-saudara. Aku jadi sensi , kok baru sedang asyik-asyiknya merajut silaturahmi , mama nolak anakku main. Setan bermain dibenakku dengan membiarkan aku menerka-nerka sendiri apa alasan mama. Jadilah lebaran kali ini akupun tidak mau kerumah lagi kerumah mama . Dan kulewati akhir lebaran dengan rasa gundah dan bertanya tanya ada apa dengan mama . . .apa tak sayang denganku ?? Lebaran hari pertama aku hanya berurai airmata karena kami melewati tanpa apa apa dan tanpa melihat mama . . .
Hingga pada hari ke-2 lebaran…aku menerima telpon dari nomer yang tidak kukenal.” Halo , haloo siapa ini…hanya ada dengus nafas dan lama terdiam tak menjawab teriakanku halo halo. Karena lama tidak ada suara, aku jengkel dan segera kututup telponnya. Orang iseng huh, umpatku. Pas banget dengan keadaan jengkel dan sedihku. Tapi sudahlah aku lupakan, anggap saja telepon iseng. Suamiku hanya bisa terdiam melihat keadaanku , seakan merasa bersalah . . .