Mohon tunggu...
Juli Dwi Susanti
Juli Dwi Susanti Mohon Tunggu... Editor - Guru-Dosen-Penulis-Editor-Blogger

Menulis adalah sedekah kebaikan Yang menjadi obat, therapy, Dan berbagi pengalaman hidup untuk manfaat

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pendidikan Kita Masih Belum Merdeka di PPDB Online Tahun Ini

2 Juli 2015   14:53 Diperbarui: 2 Juli 2015   15:26 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/20130625_verifikasi-ppdb-smk-7-semarang_8355.jpg

Mengutip status kang Emil “Ridwan Kamil “ wali kota Bandung difacebooknya, “Ada warga miskin pintar dan tidak pintar. Ada warga mapan pintar dan tidak pintar. Yang miskin diurus oleh negara, sekolahnya digratiskan karena tidak mampu. Jika yang miskin ke swasta, rata-rata tidak mampu dan terbukti banyak yang putus sekolah. Yang mapan pintar pasti masuk negeri yang ia mau, karena angkanya baik. Yang mapan tidak pintar/pas-pasan bisa negeri selama bangku ada atau ke swasta yang juga bagus kualitasnya. Itu semangat PPDB tahun ini.

Bukan sistem PPDB nya yang bermasalah, karena sudah berusaha seadil mungkin dalam keterbatasan bangku sekolah negeri. Dan Sistem ini sudah diputuskan secara kolektif oleh Pemkot, Dewan Pendidikan, Forum Peduli Pendidikan, Muspida dll.

Yang jadi masalah adalah: MENTAL para oknum orang tua yang mengajari anak-anaknya, bahwa berbohong adalah biasa, INI adalah bahaya bagi masa depan bangsa ini. Mau dibawa kemana peradaban Indonesia jika generasi mudanya dilatih berbohong. KARENANYA Pemkot akan bertindak tegas agar pelanggar aturan ini tidak menjdi budaya.

Kepolisian minggu ini sudah bergerak menyelidiki. jika terbukti orang tuanya mapan mengaku miskin, pasti akan dituntut hukum dan anaknya dicabut dari sekolah yg diminati. Para RT/RW/Lurah dan guru/Kepsek yang terlibat dalam persengkongkolan juga akan ditindak. Besok Kamis, semua kepala sekolah dan Lurah akan dipanggil Polrestabes untuk mempertanggungjawabkan. ”Ini kata kang Emil. Asyiiknya kalau punya pemimpin tegas seperti ini di wilayahku yaa.

Memang benar adanya, mental masyarakat kita yang harus dirubah. Harus ada perubahan mindset, bahwa tidak harus di sekolah negeri anak-anak kita bisa menimba ilmu. Negeri memang seharusnya diperuntukkan untuk kalangan menengah kebawah, agar terjadi kesamarataan kesempatan pendidikan. Sehingga tidak ada lagi anak yang akan putus sekolah karena kehabisan biaya ditengah tengah perjalanan .

Namun hal ini tidak bisa disalahkan total,  mengingat budaya yang sudah turun temurun dibudayakan seakan mendapat pembiaran. Seharusnya ini juga harus ditekankan kepada para pejabat / PNS yang katanya bermobil  yang selalu minta prioritas agar anak anaknya bisa dimasukkan kesekolah negri . Prioritas lebel negri selama ini cukup mengusik hati nuraniku. Belum lagi perlakuan dinas dinas pendidikan yang masih mengedepankan apapun yang dari negeri diprioritaskan. Contoh soal siswa teladan, guru teladan sampai kepala sekolah teladan . . . selalu yang diberi kesempatan menang adalah yang dari “ negeri “. Contohnya di Lomba Calistung di SD waktu aku mengajar di SD , padahal ketika aku mengajar di Al-Azhar anak didikku mampu kuantarkan sampai ke tingkat propinsi Olimpiade Matematika. Atau saat aku mengikuti lomba olimpiade matematika guru tingkat kabupaten, ternyata juara 1-3 adalah dari negeri semua . . .katanya sih terkait dengan kenaikan pangkatnya juga. Hadeuuuuh, gimana mau maju kalau Indonesia terus begini .  

Ini kuambil dari keluhan temanku guru di facebook

Berikut ini juga adalah kutipan dari teman temanku yang mendaftarkan  anaknya di negeri, karena sebagai guru swasta berapalah gaji kami sehingga sekolah negri terkadang masih jadi pilihan . “kenapa mau daftar online buat murid baru ada aja kendalanya, ini kebanyakan dari teman teman anakku, no NIK KK, katanya tdak sesuai, padahal yg dimasukin KK asli, salah dari mana ya?? , Iy bu..merepotkan banget, udah selesai diprint out dan berkas berkas verifikasi udah siiap, nyampe sekolah baru jam 14.00 udah tutup katanya. Belum lagi status murid muridku waktu di SD yang sekarang di SMP mau ke SMA bikin status seperti ini. “Susah banget mau sekolah di negeri ini, sampe harus ikut demo ke Kecamatan sama orang tuaku“.

Miris sekali ya, beruntung aku dulu tidak perlu repot-repot seperti ini. Walau aku guru swasta anak anakku yang ke 2 dan ke 3 aku masukkan ke SMK swasta dengan tujuan memiliki keahlian lebih baik . Walau aku harus ekstra kerja keras untuk membiayai mereka. Tapi Alhamdulillah tidak perlu memiskinkan diri sendiri dengan meminta fasilitas surat tidak mampu atau anak guru yang seharusnya tidak perlu diminta memang dapat jatah juga. Tapi ya sudahlah.

Melihat potret buram pendidikan dinegriku yang masih carut marut begini, rasanya kita belum merdeka dech. Atau bangsa ini belum mau memerdekakan dirinya dari mental “Kepingin murah untuk yang penting, tapi berani bayar mahal untuk yang ga penting ? Malah jadi kesempatan dan dimanfaatkan oleh oknum oknum yang tidak bertanggung jawab begini.  Mmmmmh Indonesiaku. . .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun