Mohon tunggu...
Juli Dwi Susanti
Juli Dwi Susanti Mohon Tunggu... Editor - Guru-Dosen-Penulis-Editor-Blogger

Menulis adalah sedekah kebaikan Yang menjadi obat, therapy, Dan berbagi pengalaman hidup untuk manfaat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Telfon Terakhir Itu......(2 - selesai )

30 Maret 2015   14:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:47 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi karena masih lelah dan emosinya sebagai seorang laki-laki yang bingung dengan uang yang pas-pasan dan bayiku yang masih kecil , marah mengapa mama papa justru membela kakakku. Padahal saat ini kami sedang butuh dibantu mama papa. Papa sempat marah karena dianggapnya suamiku tidak mengerti kedaan kakakku dan menyalahkannya mengapa harus terjadi krisis . Aku segera memeluk suamiku untuk melerai ,“ Sudah , sudah ayah…. mengertilah mereka panik karena kakak mengancam untuk tidak pulang. Mengertilah…Jadilah perpisahan itu sungguh tidak mengenakkan. Saat itu aku melihat tangis tertahan dimata mama.

8 bulan sudah aku tinggal dirumah petakan ini. Jaraknya sebenarnya hanya 500 meter dari rumah mama. Hanya karena letaknya dibelakang dan harus memutar bila kerumahku, jadilah kami tidak pernah datang ataupun bertandang. Aku berusaha menjaga perasaan suamiku. Kutekan rasa kangen ini , sebenarnya sudah sebulan ini Danu adikku mencoba menjembatani , aku masih menahan ego untuk tidak kerumah mama. Bungsuku dan kakak kakaknya terkadang dibawa main Danu kerumah mama.

Yah mulai dari mereka dululah. Aku belum siap untuk datang saat ini kerumah mama. Sebenarnya ini waktu yang tepat , karena ini bulan puasa . Tapi Soni suamiku bilang , kita masih susah bu..apa nanti tidak jadi cemoohan kakakmu! Huh boro-boro dia mengerti, bisanya Cuma menyalahkan keadaan kita. Yang ada dia tertawa tuh bu, lihat kita susah.” Kata suamiku. Aku hanya terdiam menahan rasa, mungkin nanti lebaran Soni mau kuajak.

Lebaran tinggal 2 hari lagi , belum juga Suamiku mendapat uang untuk lebaran kami. Aku seperti biasa , kembali gundah…perempuanku kembali bermain. Ingin membeli sesuatu untuk lebaran anakku dan rencana membawa buah tangan saat silaturahmi lebaran nanti ke mama , masa lebaran kali ini kami harus manyun. Dalam gundahku adikku Danu mengatakan, supaya sampai lebaran hari ke-3 anakku tidak bermain kerumah dulu , karena mama mau keliling kerumah saudara-saudara. Aku jadi sensi , kok baru sedang asyik-asyiknya merajut silaturahmi , mama nolak anakku main. Setan bermain dibenakku dengan membiarkan aku menerka-nerka sendiri apa alasan mama. Jadilah lebaran kali ini akupun tidak mau kerumah lagi kerumah mama .

Hingga pada hari ke-2 lebaran…aku menerima telpon dari nomer yang tidak kukenal.” Halo , haloo siapa ini…hanya ada dengus nafas dan lama terdiam tak menjawab teriakanku halo halo. Karena lama tidak ada suara, aku jengkel dan segera kututup telponnya. Orang iseng huh, umpatku. Pas banget dengan keadaan jengkelku. Tapi sudahlah aku lupakan, anggap saja telepon iseng.

Saat hari ke-4 setelah lebaran , saat aku dan suamiku puasa syawal sejak siang aku sudah menyiapkan makanan untuk berbuka. Tapi aku heran, nasi yang baru saja kumasak 1 jam lalu di rice cooker, kok tiba- tiba berair dan bau. Aku agak bergidik , tapi segera kutepis perasaan itu. Jam menunjukkan pukul 2.45 , aku harus membeli beras lagi dan lauk untuk berbuka, seperti biasa martabak dari terigu yang dicairkan ditambah telur 1-2 buah untuk kami makan sampai malam. Maklum usaha suamiku semakin sempit saja semenjak keluar dari rumah mama.


Sempat agak lama aku diwarung , bungsuku Rafi sempat jadi ledekan karena wajahnya yang putih dengan rambut jagungnya dan tubuhnya yang montok, dan lebih sering dipanggil si Bule. Sampai rumah sudah setengah 4 , kulihat Soni sedang bersama 2 jagoanku bermain. Azan Ashar bergema , “ yah…ashar , solat nggak kataku , berteriak. Belum sempat kudengar jawaban, tiba-tiba ada ketukan sangat keras sekali ,Bahkan terkesan memaksa, “ sabar kenapa sih kataku…dari dalam. Begitu kubuka, ternyata tetangga mama. ” Mbak…Mbak Dewi…Bude…katanya agak tergagap. Bude yang dimaksud adalah mamaku. “ Kenapa bude ? tanyaku dengan panik, “ Mbak kerumah dech cepetan, bude ngga ketolong..katanya menahan kata-katanya. Entah mungkin tidak bisa berkata-kata lagi, aku berteriak ke suamiku. “ Ayaaah, mamaaaa…” teriakku sambil menyambar jilbab dan menggendong Rafi cepat-cepat.  Suamikupun segera mengajak anak anakku.

Aku terpuruk lesu disamping jasad mamaku, “ Mamaaa, maafin Dewi…kenapa menahan rasa…kenapa..cepet ninggalin akuuu , 8 Bulan tidak ketemu, ketemu ketemu saat jadi mayat. Ya allah ampuni aku, belum sempat aku berlebaran dan silaturahmi. Kurenungi keganjilan-keganjilan dari nasi basi yang baru kumasak , serta firasat, kalau telfon saat itu adalah berasal dari mama yang ternyata kangen sekali denganku.



Mama ternyata telfon itu darimu…. Papa dan saudara-saudaraku hanya diam merasa bersalah, begitu juga aku. Adikku Danu mengatakan sebenarnya mama ingin sekali aku datang berlebaran kerumah , dia menarikku kekamar mama dan menunjukkan lemari pakaian mama dimana sebuah album berisi foto-fotoku selalu di buka mama berkali-kali. Foto-fotoku sejak kecil hingga pernikahanku yang aku bersyukur aku yang ketungguan semua oleh mama dan papa. Dan aku harus pingsan berkali-kali , saat mengantar jasad mama untuk yang terakhir kali di Pemakaman. Menyesali segala apa yang terjadi serta egoku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun