Ketika untuk kesian kalinya aku beranjangsana ke tempat kesukaanku, toko buku, mataku bersirobok dengan buku karya Mas Andi Arsana ini. Yang pertama kali membuat suka dan jatuh hati adalah judulnya yang ditulis dengan huruf cukup besar dan berwarna merah mencolok dibandingkan dengan warna-warna birunya. "Cincin Merah di Barat Sonne", suatu judul yang cukup menggelitik hatiku untuk mencoba mencari tahu makna di balik judul tersebut. Cincin Merah, apa itu? Yang tersirat dalam pikiranku ketika membaca judul itu, Cincin apakah yang berwarna merah yang pernah ada di dunia nyata ataupun fiksi ini ya? Apakah semacam cincin yang musti dimusnahkan di gunung berapi seperti yang dikisahkan dalam trilogi kesukaanku, "Lord of the Ring"-kah? Atau apa ya?
Kemudian Sonne, apalagi itu? Terlintas dalam benakku, Sonne ini pasti merupakan bagian dari nama seseorang dari Eropa sana, Jerman mungkin? Atau ini berarti sesuatu dalam bahasa asing? Atau dia nama tempatkah?
Pandanganku kemudian beradu dengan tulisan kecil yang merupakan pujian dari Mbak Najwa Shihab yang terpampang di halaman depan membuat semangkin tertarik untuk membawanya pulang dan membuka lembar demi lembarnya dan tenggelam berpetualang di dalamnya. Kata Mbak Najwa
Isinya cerdas. kocak, mengharukan dan terutama, inspiratif!
Karena itulah akhirnya aku membawanya pulang dan mengurungkan niatku untuk membeli mengenai duniaku, dunia penerbangan - sebuah kumpulan blog di kompasiana dari mantan seorang petinggi TNI-AU yang aktif menulis juga. Tak sabar rasanya aku untuk nyemplung ke dalam Sonne...
Bagian awal dari buku ini menceritakan bagaimana penulis bisa mendapatkan anugrah menjadi salah satu mahasiswa dari Universite de la Mer atau University of the Sea. Perjalanan dimulai dengan moda transportasi yang berbeda-beda, dari kereta api, pesawat udara dan akhirnya menari dengan Sonne. Di bagian ini penulis, saya juga setuju dengan pendapatnya, menyatakan keheranannya mengapa ia harus pergi jauh ke negeri dan kota yang gersang seperti Perth hanya untuk belajar. Suatu kondisi alam yang amat berbeda dengan Indonesia yang mungkin hijau royo-royo. Bahkan dalam lagunya Koes Plus-pun dikatakan bahwa, Indonesia tak punya lautan, hanya kolam susu. Tanahnyapun tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman... Yang menyedihkan lagi,
Mengapa anak bangsa dari negeri yang subur seperti Indonesia harus diberi sedekah beasiswa oleh negeri padang pasir ini untuk bersekolah?
Astaghfirullah......
Lebih jauh mendalam, penulis menjelaskan bagaimana caranya kita bisa melukis dasar samudra atau bahasa teknisnya pemetaan dasar laut, "Swath Mapping" atau "Batimetri". Proses ini dilakukan dengan mempergunakan alat bernama echosounder dengan multibeam. Disini terlihat kejelian penulis bahwa tidak semua pembaca paham bagaimana caranya alat ini bekerja. Penulis, Bli Andi, mencoba menjelaskannya dengan sangat sederhana dan logika sederhana dengan menganalogikannya pada orang kebanyakan. Disini ia mengumpamakan bahwa dia ingin tahu jarak Tabanan - Denpasar. Maka ia bisa naik motor dengan kecepatan rata-rata 40 km/jam. Jika ia berangkat jam 10:00 pagi dan tiba kembali jam 12:00 maka jarak tempuhnya adalah 2 jam pergi pulang. Sehingga didapatkan jarak Tabanan - Denpasar adalah 40 km/jam X 2 jam : 2 = 40 km khan? Ringkas tapi mengena. Bravo untuk Bli Andi!
Pada awalnya kehadiran seorang ahli hukum laut seperti Bli Andi ini cukup mengundang pertanyaan banyak orang. Untuk apa seorang ahli hukum laut di kapal super canggih ini? Namun, akhirnya pilihan untuk mengikut sertakan Bli Andi dalam pelayaran ini banyak memberikan dan juga menerima ilmu pengetahuan dari sesama mahasiswa University of the Sea, dan di akhir buku, semua mengakui, pilihan menghadirkan Bli Andi adalah tepat.
Oh ya, Sonne itu sendiri sebenarnya adalah sebuah kapal laut penelitian buatan Jerman yang dijejali dengan berbagai fasilitas canggih Universite de la Mer. Dan ternyata Cincin Merah itu adalah bentuk mentari yang sedang tenggelam di ufuk Barat cakrawala, dimana ia terlihat seperti sebuah cincin berwarna merah indah...
Begitu banyak hal-hal baru yang aku dapatkan ketika berlayar bersama Sonne. Ya, dengan membaca buku ini, akupun seolah-olah terbawa ke dalam Sonne dan ikut bahu membahu dengan Bli Andi dalam petualangannya. Aku hanyut sehanyutnya dan sangat menikmatinya dan rasanya tak sabar untuk kembali berlayar dengan Sonne. Aku ikut bergoyang dan menari dengan Sonne, tapi untunglah aku tak sampai terkena mabuk laut, suatu hal yang hingga akhir pelayaran masih diderita oleh penulis (poor him).
Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari buku ini selain dari hukum laut dan melukis dasar samudra. Disini juga diajarkan bahwa walaupun kita melakukan penelitian ini untuk kebaikan, tidak lupa mereka berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menjaga kelestarian alam. Salah satu contohnya adalah mengamati mamalia laut. Tidak ada satupun kru dari Sonne yang tidak suka melakukannya, karena kegiatan ini gampang dilakukan, tanpa perlu berpikir, berada di bridgepun sangatlah menarik. Selama proses penelitian diharapkan tidak terlihat adanya mamalia laut yang tampak di permukaan, walaupun mereka sebenarnya terlihat beberapa di LEG 1, dan salah satu hewan yang diamati adalah Ikan Paus. Ketidak munculan Ikan Paus di permukaan adalah pertanda semuanya baik-baik saja.
Konon khabarnya gelombang yang dipancarkan untuk mengukur dasar laut dapat mengganggu paus dan lumba-lumba, dan ini tidak diperkenankan oleh lembaga lingkungan terkait. Jika terlihat adanya paus dan lumba-lumba, dapat disimpulkan bahwa mereka terganggu dengan gelombang dengan gelombang yang dipancarkan dari kapal. Hal ini dikarenakan paus dan lumba-lumba memang memiliki kemampuan untuk menangkap gelombang yang tidak bisa ditangkap oleh manusia biasa.
Disini kita diajarkan bahwa dengan alasan apapun, tidak seharusnya kita, umat manusia sebagai makhluk yang paling sempurna ciptaan-Nya untuk mengganggu makhluk lainnya. Toleransi tinggi sangat dijunjung oleh para ilmuwan ini dan membuatku jadi berpikir ulang, apakah Aku sudah begitu?
Akhiru kalam, aku sangat merekomendasikan buku ini bagi siapapun yang ingin menambah wawasannya, terlebih lagi untuk para nelayan atau siapapun. Karena dengan memahami hukum laut dan batas landas kontinen, kita akan lebih sadar sedang dimana kita ini dan agar tidak melanggar batas wilayah suatu negara. Suatu hal yang saat ini menjadi perdebatan sengit, apakah masih diperlukan batas negara di era Internet ini? Dimana batas-batas itu boleh dibilang sudah hampir tak ada?
Oh ya, nanti kalau sudah mengarungi bahtera dengan Sonne, jangan lupa untuk mampir di halaman Facebooknya ya, yang ada di sini : Cincin Merah di Barat Sonne.
--Menjelang Jum'atan di bulan April yang indah--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H