Mohon tunggu...
Misbakhul Munir Septian
Misbakhul Munir Septian Mohon Tunggu... Lainnya - Juara 1 Cipta Puisi tingkat Provinsi

Hai teman-teman, namaku Misbakhul Munir Septian, aku suka menulis puisi dan cerpen sejak SD.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

"Tradisi Nyadran Gunung Balak"

3 Januari 2023   22:19 Diperbarui: 4 Januari 2023   07:05 1001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tradisi Nyadran Gunung Balak"

Tradisi adalah praktik sosial yang telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya (dari nenek moyang mereka). Tradisi juga mengacu pada pola pemikiran, kebiasaan, tindakan, atau ditetapkan. Secara umum tradisi juga bisa disebut kumpulan kepercayaan atau cerita dari masa lalu yang secara umum diterima sebagai sejarah.

Salah satu tradisi Jawa yang dimiliki yaitu nyadran. Nyadran berasal dari kata Sadran yang artinya Shaban Jiwa. Mendoakan terhadap leluhur, membersihkan makam, dan memasang bunga adalah bagian dari rangkaian ritual Nyadran. Nyadran Gunung Balak merupakan tradisi yang masih rutin dilakukan oleh masyarakat sekitar tepatnya di Desa Losari, Pakis, Magelang. Kebiasaan unik ini dimana mereka berdoa dan membersihkan kuburan leluhur di puncak Gunung Balak. Budaya Jawa dan Islam berasimilasi dengan adat ini. Nyadran hanya dilakukan di bulan Sya'ban atau Suro, tata cara pelaksanaan nyadran bukan hanya ziarah ke makam leluhur saja melainkan terdapat nilai sosial budaya seperti saling berbagi terhadap masyarakat dan menjalin silaturahmi.

Gunung ini memiliki ketinggian 700 mdpl. Saat berjalan menuju gapura Gunung, disambut pemandangan yang indah, banyak petak sawah yang di tanami padi dan udaranya sangat sejuk, membuat para pengunjung menggugah semangat. Jalurnya yang tidak terlalu curam serta terdapat anak tangga sehingga mempermudah pengunjung naik kepuncak, bahkan nenek-nenekpun bisa melewatinya. Di pagi hari kita bisa melihat berbagai gunung seperti Gunung Merbabu, Gunung Merapi, dan Gunung Andong, ketiga gunung tersebut berada tepat didepan Gunung Balak meskipun kita bisa melihat dari kejauhan.  Cuaca di kawasan Gunung Balak terlihat cerah namun tercipta suasana ayem di tempat itu karena masih terdapat pohon yang besar tumbuh seperti pohon beringin, sono keling, bibis, pinus dan lain-lain. 

Saat hari Minggu Kliwon bulan Suro, gunung ini biasanya ramai dikunjungi oleh penduduk sekitar dan masyarakat Magelang untuk melaksanakan syukuran. Para pengunjung berbondong-bondong berjalan rapi menyunggi tetumpengan mereka, serta terdapat anak-anak berlarian di jalan untuk mengekspresikan kebahagiaa mereka. Penduduk sekitar sangat ramah-ramah, saling menyapa dengan masyarakat kota maupun kabupaten, sehingga membuat tali silaturahmi semakin erat. Setelah sampai ke puncak terdengar kicauan burung dan pepohonan yang hijau membuat mereka semakin menyatu dengan alam. Di puncak gunung juga terdapat puluhan orang yang menggelar aneka makanan, minuman, dan permainan anak-anak. Senang bisa melihat kerukunan di puncak gunung ini, selain itu kita bisa ikut berwisata religi di tempat gunung bersejarah itu. Usai mendoakan kepada leluhur, rombongan makanan tumpeng dan beraneka masakan dimakan secara bersama-sama.

Selain itu, terlihat beberapa orang mengantre di sekitar petilasan batu lumpang, dan membawa dadok (keranjang) yang berisi bunga  kenanga, mawar, melati, dan kemenyan guna untuk memohon doa melalui Mbah Janadi(89) sang juru kunci Gunung Balak. Berbagai hajat dan kemauan dipasrahkan melalui Mbah Junadi agar di bacakan secara khusyuk untuk memenuhi permohonan para pendatang. Menurut sejarah jaman dahulu, di dalam petilasan tersebut berisi keris yang ditanam oleh Syekh Subakhir pada masa lalu, pada saat kawasan Gunung Balak masyarakat menghadapi pagebluk atau wabah, itu jauh sebelum penjajahan Belanda. Tradisi Jawa yang begitu kental menjadi salah satu bukti bahwa budaya yang dimiliki Indonesia sangat beragam. Meskipun tradisi tersebut terkesan mistis dan rumit sudah sepatutnya kita untuk tetap menghargai dan melestarikan tradisi tersebut hingga masa mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun