Menurut Global Coal Tracker, sebuah kelompok pemantau batu bara, lebih dari 200 pembangkit listrik berbahan bakar batubara sedang dikembangkan atau dibiayai oleh perusahaan China dari Mongolia ke Zimbabwe, termasuk di negara-negara seperti Kenya, yang sebelumnya tidak membakar batubara.
Di Indonesia, dampak penggunaan batu bara sudah membahayakan. Greenpeace International mengatakan, penggunaan batubara menyebabkan 60 ribu orang Indonesia meninggal tiap tahun. Hal ini disebabkan polusi batubara menyebabkan kanker paru, stroke, penyakit pernafasan dan persoalan lain terkait pencemaran udara.
Membangun puluhan pembangkit batubara dan pertambangannya mengakibatkan jutaan rakyat Indonesia merasakan dampak buruk pencemaran udara beracun. Polusi batubara sangat berbahaya bagi manusia. Batubara mengeluarkan partikel PM 2,5 yang sangat mudah masuk ke tubuh manusia melalui udara yang dihirup. Ini menyebabkan risiko kanker lebih tinggi.
China harusnya tidak menularkan polusi buruk di negaranya ke negara lain melalui proyek batu bara. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan Cina adalah negara dengan polusi udara di ruang publik yang paling mematikan.
Di Shijiazhuang, ibu kota Provinsi Hebei, tingkat Particulate Matter (PM) 2,5 melonjak 1.000 mikrogram per meter kubik. Padahal patokan dari WHO untuk tingkat rata-rata aman tak lebih dari 10 mikrogram per meter kubik. Sementara itu, untuk PM 2,5 di Kota Tianjin tercatat mencapai level 334 mikrogram per meter kubik, dan di Beijing mencapai 212 mikrogram per meter kubik.
Menurut Greenpeace ada kasus kematian 660 ribu orang di Tiongkok yang disebabkan oleh emisi yang dihasilkan PLTU Batu bara. Padahal ada teknologi yang lebih maju dan jauh lebih murah dari batu bara, kenapa China masih mempertahankannya?
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono pernah berujar, rusaknya lingkungan merupakan dampak dari berkembangnya ekonomi kapital yang merugikan dan negara harus bertanggung jawab. Misalnya dengan melakukan koreksi serta mengantisipasi keserakahan yang dapat menimbulkan perusakan lingkungan oleh para pelaku industri global.
Menurut 'Champion of The Earth 2014' itu dengan dalih meningkatkan kesejahteraan masyarakat, secara tak langsung merusak masa depan lingkungan yang justru telah memberi banyak manfaat bagi masyarakat. Artinya pembangunan seharusnya bisa tetap mensejahterakan masyarakat, namun tetap tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H