Jenis-jenis pernikahan di desa adat:
Meminang atau dalam bahasa Balinya adalah Memadik
Kawin lari atau lari bersama karena biasanya disebabkan oleh tidak adanya persetujuan dari beberapa pihak
Perkawinan Mleugandaan atau pemerkosaan atau menculik, hal ini dilakukan pada zaman dulu, seperti yang dilakukan raja.
Menurut Bendesa (ketua adat) Desa Pakraman Penglipuran, I Wayan Supaat, pantangan berpoligami ini diatur dalam awig-awig desa adat. Dalam pawos pawiwahan (bab perkawinan) awig-awig itu disebutkan, krama Desa Adat Penglipuran tan kadadosang madue istri langkung ring asiki. Artinya, krama Desa Adat Penglipuran tidak diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu. Jika ada yang berani melanggar awig-awig ini, imbuh Supat, orang tersebut akan dikucilkan di sebuah tempat yang diberi nama Karang Memadu. Karang artinya tempat, memadu artinya berpoligami. Jadi, Karang Memadu merupakan sebutan untuk tempat bagi orang yang berpoligami.
Menurut kesepakatan warga setempat, kesejahteraan rumah tangga bisa didapat jika terdapat satu suami dan satu istri. Sehingga terdapat sanksi yang diberlakukan bagi warga yang melakukan poligami atau poliandri
Karang Memadu merupakan sebidang lahan kosong di ujung selatan desa. Desa akan membuatkan si pelanggar itu sebuah gubuk sebagai tempat tinggal bersama istrinya. Dia hanya boleh melintasi jalan di selatan bale kulkul (bangunan tinggi tempat kentongan) desa dan dilarang melintasi jalan di sisi utara bale kulkul. Tak cuma itu, pernikahan orang yang ngemaduang (berpoligami) itu juga tidak akan dilegitimasi oleh desa, upacaranya tidak di-puput (diselesaikan) oleh Jero Kubayan yang merupakan pemimpin tertinggi di desa dalam pelaksanaan upacara adat dan agama. Implikasinya, orang tersebut juga dilarang untuk bersembahyang di pura-pura yang menjadi emongan (tanggung jawab) desa adat. Tetapi dipersilahkan untuk bersembahyang di tempatnya sendiri.
Akibat begitu beratnya sanksi orang yang ngemaduang, hingga kini tak ada lelaki Penglipuran yang berani melanggarnya. Karenanya, Karang Memadu kosong tanpa penghuni. Hanya ditumbuhi semak-semak dan segelintir pohon pisang. Menurut keyakinan warga Penglipuran, tanah Karang Memadu itu berstatus leteh (kotor). Karenanya, orang yang tinggal di sana dianggap kotor. Juga tetanaman yang dihasilkan di atas tanah Karang Memadu dianggap tidak suci sehingga tak bisa dihaturkan sebagai bahan upakara (sesaji).
Namun, seperti diingat Jero Kubayan Mulih, dulu pernah ada salah seorang lelaki Penglipuran yang nyaris ditempatkan di Karang Memadu karena memiliki istri lagi. Krama (warga) desa sudah membuatkan yang bersangkutan pondok di Karang Memadu. Akan tetapi, sanksi adat ini keburu membuat lelaki tersebut keder. Karenanya, dia segera menceraikan istri pertamanya dan memilih hidup bersama dengan istri kedua. Memang, sanksi adat bisa dihindari lelaki Penglipuran jika mau menceraikan salah satu istrinya. “Kebetulan lelaki itu kawin nyeburin (ikut dengan keluarga istri) ke sini. Dia berasal dari Cekeng. Setelah memutuskan memilih istri kedua dan menceraikan istri pertama, dia pulang ke Cekeng. Kebetulan juga istri pertama dan keduanya itu bersaudara,” cerita Supat.
Tiada jelas sejak kapan sejatinya larangan berpoligami bagi lelaki Penglipuran ini mulai dibuat. Namun, menurut Jero Kubayan Mulih, lahirnya pantangan berpoligami ini karena dulu kerapnya pemimpin desa ini mengurusi orang bertengkar dalam keluarga karena masalah adanya istri baru. Karena itulah, mekele (pemimpim desa) dulu membuat aturan yang melarang lelaki Penglipuran untuk ngemaduang. Tentu saja, aturan itu disepakati seluruh krama desa sehingga akhirnya bisa dilaksanakan hingga kini.
Tahun 1992, Desa Adat Penglipuran ditetapkan sebagai desa wisata. Sejak saat itu semakin banyak wisatawan datang ke desa tersebut. Rumah-rumah warga pun disiapkan menjadi penginapan, tetapi mereka tetap menjaga supaya tidak begitu banyak wisatawan yang menyerbu desa tempat tinggal mereka