Mohon tunggu...
Misbahul Anwar
Misbahul Anwar Mohon Tunggu... Freelancer - Arsitektur

Penikmat dan tukang teliti di gubuk relativitas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia Dzata Yaumin

23 Maret 2020   18:49 Diperbarui: 23 Maret 2020   19:12 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dzata yaumin saya percaya Indonesia kita ini akan berubah seperti halnya keyakinan saya pada perubahan diri saya sendiri kearah yang lebih baik. Tidak peduli keyakinan saya ini tidak berdasar pada argumen dan pondasi dalil apapun. 

Hanya kebenaran yang harus dipertahankan dengan argumen agar ia tetap pada pakem kebenarannya. Keyakinan hanya sebatas hak manusiawi saya yang bisa jadi ia benar atau salah. 

Tetapi Saya secara haqqul yaqin, jika ingin sebuah perubahan maka sejak awal saya harus meyakinkan diri saya sendiri bahwa saya mampu berubah, saya mampu berwatak maju, saya mampu berprilaku adil sejak dalam kerangka pikiran. 

Seperti itulah seharusnya Indonesia yang sekarang ini berprilaku, mampu berteriak dengan lantang pada dirinya sendiri jika kelak pada suatu hari nanti entah kapan itu, "saya akan berubah" sambil menepuk-nepuk dada. 

Meskipun ditengah proses meniti jalan menuju perubahan itu nanti, mungkin bermacam-macam Mental Illness bakal menggerogotinya dengan membabi buta yang tumbuh dan berkembang di dalam dirinya sendiri sehingga membuatnya kembali ragu untuk berubah. 

Tapi tak apa selagi itu hanya bebentuk segumpal gagasan yang belum termanefestasi menjadi kebenaran yang diamini. Selama itu bergerak pada poronya mungkin masih ada harapan.   

Terkait hal tersebut mungkin masih bisa ditangani dengan tangkas selagi mau berubah. Namun yang saya takutkan dari semua hal yang saya yakini ini adalah kenyataan di lapangan bahwa yang diteriakkan dengan lantang itu merupakan rangkaian kata-kata kemunduran.

Berbagai kerangka pola pikir pesimistis dalam memahami dan mencari solusi dari permasalahan dirinya, bahkan kesalahkaprahan masyarakatnya dalam memahami kebesaran dan kedigdayaan dirinya seperti halnya kesalahan umat Nabi terdahulu dalam memahami Nabinya sendiri sehingga kerusakan dan kecelakaanlah yang menimpa mereka. 

Hal tersebut tidak lantas mengamin jika iya ada kesalahkaprahan dalam memahami Indonesia, ia akan celaka seperti umat Nabi terdahulu. Kesalahan seekstrim apapun dalam memahami Indonesia yang dilakukan segelintir masyarakat yang mendiaminya tidak akan membuat saya ragu. 

Sebab musababnya adalah  kaidah sederhana tapi begitu penting "Alyaqinu la yazaalu bissyaki". Kaidah ushul fiqih yang mengatakan bahwasanya yakin tidak akan terbantahkan oleh sebuah keraguan. 

Jika kita ragu apakah sarung terkena percikan air najis atau tidak, keraguan tersebut tidak bisa menggusur keyakinan kita yang sejak awal mengatakan bahwa sarung itu suci. 

Kaidah ushul fiqih inilah yang menjadi salah satu faktor yang membuat keyakinan saya tetap berdiri kokoh di atas perubahan Indonesia ke arah kemajuan yang adil manusianya dan makmur buminya. 

Meskipun keyakinan saya ini mungkin nantinya secara acak akan sering terbentur dengan banyak sekali percikan-percikan keraguan dan kesalahfahaman terhadap Indonesia.  

Misal fakta bahwa Indonesia masih jauh dari kepemilikan kolektif akan para pemimpin yang bisa mengakomodasi seluruh kebutuhan Indonesia untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrahnya menjadi garda terdepan dalam memotori lokomotif peradaban dunia, kenyataan tersebut tidak akan menggusur hakikat makna bahwa suatu saat nanti Indonesia akan sampai pada kesejatiannya yang luhur dan maju seperti sedia kala.  

Silahkan sodorkan segudang keraguan tengtang Indonesia kepada saya, maka akan saya sulap dengan mudah menjadi batu-batu pondasi keyakinan yang kokoh. 

Kenyataan bahwa saya sering sekali secara tidak sengaja membaca dan mendengar sebuah literatur yang berbunyi "Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu dan beralihlah pada apa-apa yang meyakinkanmu" yang membuat saya berpikir dua kali untuk meragukan Inonesia yang sejak awal saya yakini. Ditambah Mana berani saya tidak mematuhi dauh Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang bergelar Asshodiqul Amiin itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun