Mohon tunggu...
Misbahul Anwar
Misbahul Anwar Mohon Tunggu... Freelancer - Arsitektur

Penikmat dan tukang teliti di gubuk relativitas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Barang-barang Baru Bernama Konsumerisme

21 Mei 2019   17:16 Diperbarui: 21 Mei 2019   18:14 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau kita punya barang-barang yang sudah tua, usang berdebu, atau tidak memungkinkan lagi untuk diambil kebermanfaatanya alias rusak parah -mekanisme struktur penting pembentuknya misalnya, saat-saat tersebut memberi pilihan-pilihan kepada kita, apakah kita akan menjualnya ke tukang loakan barang, mereparasi sebisanya agar dapat digunakan kembali, menyimpannya dengan baik sekedar untuk dikenang nantinya, atau malah kita akan membuangnya begitu saja tanpa peduli apapun setelahnya. Selanjutnya, agar fungsi dari barang itu tidak vakum mungkin kita akan berencana untuk membeli barang baru, baik yang serupa dengan barang lama tadi atau sama sekali berbeda dengan muatan nilai-nilai standar kualitas yang lebih tinggi dan faktor-faktor lain yang tak kalah hebatnya dengan barang yang lama.

Dalam proses akan membeli barang baru, tentu ada keinginan-keinginan lain yang membersamainya. Keinginan di sini bisa beragam bentuk dan berbagai macam tujuannya. Itu sebabnya harus ada sistem yang menjamin mekanisme rasional dari pemilihan keputusan agar sesuai dengan realitas keperluan. Keinginan-keinginan yang ada harus disortir dan disaring terlebih dahulu supaya barang yang terlanjur kita beli, nantinya memang termasuk ke dalam daftar hal-hal yang kita butuhkan. Alih-alih tujuan awal dari membeli barang-barang tersebut adalah untuk menopang kehidupan sehari-hari kita -dengan adanya keinginan yang kekinian masyarakat modern; pamer gayahidup mewah, gengsi, dan hedonisme misalnya, bisa jadi fungsinya malah bergeser pada sekadar make up bagi tampilan budaya luar kita.

Barang-barang baru harus dipilah dengan teliti terlebih dahulu sebelum melabuhkan pilihan kepadanya. Hal itu dilakukan untuk mempersempit kemungkinan melesetnya pilihan sehingga sesuai dengan apa yang memang sedang dibutuhkan dan tidak jatuh pada fungsi eksoterik belaka. Barang dengan standar kualitas yang tinggi, merek yang sangat mendunia, dan bergengsi tidak bisa dijadikan acuan bahwa barang tersebut adalah sesuatu yang sedang kita butuhkan. 

Masalahnya, terkadang “selera" lah yang sangat mendominasi dalam proses menentukan apakah membeli barang tersebut atau tidak -bahkan terlepas dari pertimbangan butuh atau tidaknya. Pada umumnya, kalau sudah berhubungan dengan barang-barang dengan kriteria di atas "selera” memang berperan agak dominan. Gejala ini bisa dilihat pada masyarakat golongan elit kita yang begitu banyak berlomba-lomba membeli sesuatu yang sangat mahal dengan merek terkenal dan realitasnya mereka tidak membutuhkannya kecuali untuk menunjukkan bahwa mereka orang kaya dengan dalih agar orang lain terinspirasi dan termotivasi. Dan masih banyak lagi teladan-teladan yang sungguh menggiurkan lainnya untuk di-mimikri-i.

Dewasa ini, hampir semua barang-barang yang dijual di toko-toko atau mall-mall modern adalah alat-alat kebudayaan yang kebanyakan dimaksudkan untuk memperindah tampilan permukaan saja yang sebenarnya tidak terlalu kita butuhkan selain hanya untuk memuaskan “selera” kita semata. Apalagi ditambah dengan keberadan teknologi sebagai perangkat inovasi kesejarahan kita saat ini cendrung lebih banyak berfungsi sebagai pedagang mimpi yang menggiring kita ke arah iming-iming konsumsi. 

Di sisi lain “selera” terhadap iming-iming konsumsi tersebut  tidak diimbangi dengan keadaan ekonomi yang mapan. Realitas dalam struktur makro-mikro masyarakat kita pun sepertinya ada semacam ketimpangan sosial-budaya antara golongan “atas” dan “bawah”, keadaan belum meratanya pembangunan ekonomi, dan belum seimbangnya antara intesitas peningkatan ekonomi dengan konsumsi-konsumsi yang ditawarkan oleh “barang-barang” impor. Sehingga ujung-ujungnya pemenuhan “selera” memicu munculnya sikap mental kosumtif yang bisa melahirkan masalah-masalah yang tak kalah ruwet dan kompleks lainnya.

Sikap mental konsumtif ini harus dikontrol sejak dini, sebab perilaku tersebut tidak hanya menjangkiti para orang dewasa, tapi anak-anak muda pun saat ini tak kalah konsumtifnya. Mereka mungkin dibiasakan dan terbiasa untuk membeli barang-barang baru padahal masih banyak dari barang pribadinya masih dalam kodisi bagus dan layak pakai. Kalau sikap mental konsumtif dibiarkan begitu saja tanpa dibarengi dengan keseriusan menyelenggarakan usaha-usaha untuk memproses perubahannya, maka secara alamiah ia akan membangun suatu iklim linkungan yang sangat mendorong anak-anak muda kita untuk ingin cepat-cepat menikmati hasil saja.

Keinginan untuk enjoying konsumsi-konsumsi yang ditawarkan oleh barang-barang baru, menurut Cak Nun harus disertai dengan semacam forum pengembangan wawasan, forum penyadaran, dan sebagainya yang sifatnya kualitatif. Sehingga yang tercipta adalah cuaca konsumtif dapat ditekan dan meningkatnya iklim produktif-kreatif di semua aspek kehidupan.

Sentimen di tengah masyarakat yang mengatakan “tidak apa-apa selagi mereka mampu dan tidak merugikan orang lain di sekitarnya” bisa jadi merupakan salah satu bentuk ketidakseriusan untuk sungguh-sungguh terlibat langsung merubah kebudayaan sikap mental ini, atau mungkin kalimat itu lahir dari ketidaktahuan kita pada dampak-dampak destruktif yang dibawa serta oleh perilaku ini yang dapat merusak tatanan masyarakat dari dalam secara lembut, bahkan pada dimensi yang lebih luas lagi yakni bangsa. 

Pola konsumsi yang tidak normal dengan intensitas yang sangat tinggi tanpa adanya kontrol, perlahan-lahan bisa menyeret kita pada sikap mengagung-agungkan etos hasil. Hasil yang banyak dan melimpah adalah segala-galanya, yang kita cintai hanya hasil dan hasil belaka. Lantas kita hanya ingin cepat-cepat memiliki ini dan itu secara instan, hingga bisa sampai pada tingkat menghalalkan cara apapun. Semangat melakukan suatu pekerjaan, proses mencintai dan mengakrabi pekerjaan yang baik, kenikmatan ruhani selama mengerjakan sesuatu benar-benar hanya sebatas batu loncatan untuk sampai pada hasil.

Tentu hal tersebut tidak hanya berhenti di terminal problematika itu saja. Prilaku konsumtif bisa jadi yang telah menyebabkan hutan-hutan yang lebat seketika gundul begitu saja dan berubah menjadi perkebunan sawit bagi sebagian kelompok orang. Gunung yang awalnya begitu kokoh tidak berdaya terhadap kejamnya cangkul-cangkul kerakusan manusia dan kini penuh dengan coakan-coakan layaknya vandalisme tak bermoral. Tanah yang begitu subur penuh dengan lubang-lubang besar mengaga sebab ditambang tanpa adanya kontrol. Dan boleh juga menjadi alasan program-program TV hanya mementingkan rating sehingga lupa pada isi dan substansi. Apalagi masalah-masalah korupsi yang sekarang ini sepertinya sudah menjadi profesi yang sangat menjanjikan. Sungguh tiba kebatilan dan musnahlah kebenaran di dalamnya.

Permasalahan yang timbul dari sikap mental komsumtif ini, kiranya tidak selesai begitu saja dengan hanya mencanangkan rencana kerja revolusi mental tapi implimentasinya tidak secara kaffah dari kepala sampai ke dimensi – dimensi semua anggota di bawahnya. Begitu juga dengan pernyataan bahwa bangsa ini akan musnah pada tahun sekian, rasanya tidak akan membuatnya bergeming dan lari terbirit-birit. Akan tetapi, bahwa nilai-nilai luhur bangsa ini akan hilang disebabkan perilaku komsutif yang levelnya sudah mendarah daging kemungkinan besar benar adanya. 

Menyitir tulisan budayawan Emha Ainun Nadjib dalam salah satu bukunya, “bahwa kita tidak akan bisa menjadi bangsa yang benar-benar mencapai kemajuan kalau etos hasil berperan amat dominan. Kita bisa kehilangan dinamika, tradisi kreatif, intensitas mencitai proses, stamina, dan elan. Dalam dimensi yang lebih mendalam, kita juga bisa kehilangan ruhani sebagai bangsa. Kita menjadi rangka-rangka patung, robot-robot yang rakus uang dan segala materi“.

Penyakit mental yang satu ini bukanlah hal sederhana, yang terobati dan sembuh dengan mudah ketika kita sudah mengemukakan sentimen-setimenen seperti halnya di atas. Harus ada kesadaran massal untuk sungguh-sungguh menanggulanginya. Setiap elemen masyarakat harus ikut serta secara penuh dalam usaha untuk memproses perubahan sikap mental. Komitmen tersebut bisa dimulai dari diri sendiri sebagai bagian dari masyarakat. 

Sebagaimana, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka memulai perubahan diri mereka sendiri. Kanjeng Nabi pun mewanti-wanti dengan ungkapan Ibda’ bi nafsika, mulailah dengan dirimu sendiri terlebih dahulu. Bukan terus-menerus sekadar mengingatkan orang lain tapi dirimu tetap stagnan lari di tempat . Kontradiktif rasanya, ketika banyak sekali yang menyeru hijrah ke hidup penuh kesederhanaan tapi masih konsumtif pada barang-barang bermerek serta gaya hidup mewah yang mereka selebrasikan di feed-feed sosial media, entah apa maksudnya?.

Dan sekarang ini, nampaknya yang banyak tercermin dari kebudayaan kita adalah kemungkinan ihwal kedua. Bahwa kita lebih senang mencari-cari keburukan-keburukan orang lain untuk kita ingatkan-perbaiki daripada menggali kesalahan-kesalahan diri sendiri untuk kita sesali dan transformasikan kedalam bentuk kebaikan-kebaikan yang lebih membangun. Apa yang kita serukan layaknya janji-janji politikus pada masa kampanye yang tidak jelas kemananya ketika sudah duduk di pemerintahan. 

Bukankah ketika menunjuk orang lain hanya satu jari yang kita gunakan dan empat lainnya mengepal tertuju kearah diri kita sendiri . Sejalan dengan istilah yang dipopulerkan oleh salah satu Da’i kondang Aagym, untuk terealisasinya proses perubahan mungkin kita harus mengawalinya dengan 3M ; Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal kecil, dan Mulai dari saat ini.

Ungkapan legendaris “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit” barangkali bisa menjadi landasan memulai perubahan. Boleh jadi dengan memulai perubahan positif dari diri sendiri akan menular ke lingkungan keluarga, selanjutnya ke tingkat rukun tetangga, naik ke rukun warga, ke lingkar yang lebih luas masyarakat kabupaten, provinsi, nasional, hingga Dunia. Akan tetapi, pertanyaannya mungkinkah hal tersebut terjadi ? Butuh berapa lama dari individu sampai ke tingkat RW bahkan menjadi masyarakat Nasional yang sadar dan memulai perubahan ?. Kiranya kita buktikan dulu dengan memulai cita-cita ini dari diri sendiri masalah yang lain ikut andil mengontruksinya menjadi nyata itu hanya bonus dari komitmen konsistensi kita melakukannya.

Ibda’ bi nafsika !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun