Mohon tunggu...
Misbahul Anwar
Misbahul Anwar Mohon Tunggu... Freelancer - Arsitektur

Penikmat dan tukang teliti di gubuk relativitas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Barang-barang Baru Bernama Konsumerisme

21 Mei 2019   17:16 Diperbarui: 21 Mei 2019   18:14 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permasalahan yang timbul dari sikap mental komsumtif ini, kiranya tidak selesai begitu saja dengan hanya mencanangkan rencana kerja revolusi mental tapi implimentasinya tidak secara kaffah dari kepala sampai ke dimensi – dimensi semua anggota di bawahnya. Begitu juga dengan pernyataan bahwa bangsa ini akan musnah pada tahun sekian, rasanya tidak akan membuatnya bergeming dan lari terbirit-birit. Akan tetapi, bahwa nilai-nilai luhur bangsa ini akan hilang disebabkan perilaku komsutif yang levelnya sudah mendarah daging kemungkinan besar benar adanya. 

Menyitir tulisan budayawan Emha Ainun Nadjib dalam salah satu bukunya, “bahwa kita tidak akan bisa menjadi bangsa yang benar-benar mencapai kemajuan kalau etos hasil berperan amat dominan. Kita bisa kehilangan dinamika, tradisi kreatif, intensitas mencitai proses, stamina, dan elan. Dalam dimensi yang lebih mendalam, kita juga bisa kehilangan ruhani sebagai bangsa. Kita menjadi rangka-rangka patung, robot-robot yang rakus uang dan segala materi“.

Penyakit mental yang satu ini bukanlah hal sederhana, yang terobati dan sembuh dengan mudah ketika kita sudah mengemukakan sentimen-setimenen seperti halnya di atas. Harus ada kesadaran massal untuk sungguh-sungguh menanggulanginya. Setiap elemen masyarakat harus ikut serta secara penuh dalam usaha untuk memproses perubahan sikap mental. Komitmen tersebut bisa dimulai dari diri sendiri sebagai bagian dari masyarakat. 

Sebagaimana, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka memulai perubahan diri mereka sendiri. Kanjeng Nabi pun mewanti-wanti dengan ungkapan Ibda’ bi nafsika, mulailah dengan dirimu sendiri terlebih dahulu. Bukan terus-menerus sekadar mengingatkan orang lain tapi dirimu tetap stagnan lari di tempat . Kontradiktif rasanya, ketika banyak sekali yang menyeru hijrah ke hidup penuh kesederhanaan tapi masih konsumtif pada barang-barang bermerek serta gaya hidup mewah yang mereka selebrasikan di feed-feed sosial media, entah apa maksudnya?.

Dan sekarang ini, nampaknya yang banyak tercermin dari kebudayaan kita adalah kemungkinan ihwal kedua. Bahwa kita lebih senang mencari-cari keburukan-keburukan orang lain untuk kita ingatkan-perbaiki daripada menggali kesalahan-kesalahan diri sendiri untuk kita sesali dan transformasikan kedalam bentuk kebaikan-kebaikan yang lebih membangun. Apa yang kita serukan layaknya janji-janji politikus pada masa kampanye yang tidak jelas kemananya ketika sudah duduk di pemerintahan. 

Bukankah ketika menunjuk orang lain hanya satu jari yang kita gunakan dan empat lainnya mengepal tertuju kearah diri kita sendiri . Sejalan dengan istilah yang dipopulerkan oleh salah satu Da’i kondang Aagym, untuk terealisasinya proses perubahan mungkin kita harus mengawalinya dengan 3M ; Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal kecil, dan Mulai dari saat ini.

Ungkapan legendaris “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit” barangkali bisa menjadi landasan memulai perubahan. Boleh jadi dengan memulai perubahan positif dari diri sendiri akan menular ke lingkungan keluarga, selanjutnya ke tingkat rukun tetangga, naik ke rukun warga, ke lingkar yang lebih luas masyarakat kabupaten, provinsi, nasional, hingga Dunia. Akan tetapi, pertanyaannya mungkinkah hal tersebut terjadi ? Butuh berapa lama dari individu sampai ke tingkat RW bahkan menjadi masyarakat Nasional yang sadar dan memulai perubahan ?. Kiranya kita buktikan dulu dengan memulai cita-cita ini dari diri sendiri masalah yang lain ikut andil mengontruksinya menjadi nyata itu hanya bonus dari komitmen konsistensi kita melakukannya.

Ibda’ bi nafsika !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun