Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Suka menulis tentang ekonomi dan puisi, financial literacy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Gig Economy, Pilihan Fleksibel Gen Z atau Risiko Finansial di Masa Depan?

24 September 2024   06:00 Diperbarui: 24 September 2024   06:06 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gig economy. sumber: freepik

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, jumlah Gen Z di Indonesia mencapai sekitar 74,93 juta orang, atau sekitar 27,94% dari total populasi. 

Jumlah ini cukup signifikan dan memberikan Indonesia potensi besar di tengah-tengah bonus demografi yang sedang terjadi. 

Bonus demografi adalah kondisi di mana proporsi usia produktif, yakni mereka yang berusia antara 15 hingga 65 tahun, lebih dominan dalam populasi. 

Artinya, Indonesia saat ini memiliki banyak tenaga kerja potensial untuk mendorong perekonomian.

Namun, meski terlihat sebagai keuntungan, bonus demografi ini juga bisa menjadi bumerang jika tidak dimanfaatkan dengan baik. 

Khususnya, tantangan besar akan dihadapi oleh Gen Z, yang sedang memasuki usia produktif dan mulai mencari pekerjaan di tengah situasi pasar tenaga kerja yang terus berubah. 

Ada beberapa faktor yang membuat mereka menghadapi tantangan besar dalam mencari pekerjaan di era sekarang.

1. Kesenjangan Keterampilan

Salah satu masalah utama yang dihadapi Gen Z adalah kesenjangan keterampilan. 

Banyak lulusan sekolah atau universitas yang hanya dibekali dengan pengetahuan umum, tetapi kurang memiliki keterampilan teknis yang sesuai dengan kebutuhan industri. 

Sebagai contoh, pendidikan formal di banyak sekolah masih lebih fokus pada teori daripada praktik. 

Padahal, di dunia kerja saat ini, banyak perusahaan yang mencari karyawan dengan keterampilan seperti analisis data, coding, pemasaran digital, dan keterampilan teknis lainnya yang berkaitan dengan teknologi.

Selain itu, teknologi yang berkembang dengan cepat membuat keterampilan yang dulunya relevan menjadi usang jika tidak di-update. 

Gen Z yang tidak secara aktif belajar keterampilan baru atau mengikuti perkembangan teknologi akan kesulitan bersaing di pasar kerja. 

Tanpa adanya penambahan keterampilan praktis yang relevan dengan kebutuhan industri, lulusan baru bisa kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai.

2. Disrupsi Teknologi

Teknologi yang semakin maju tidak hanya menciptakan peluang, tetapi juga tantangan. 

Banyak pekerjaan yang dulunya dikerjakan manusia kini dapat diotomatisasi menggunakan mesin atau perangkat lunak. 

Misalnya, di sektor manufaktur, pekerja manual telah banyak digantikan oleh robot yang dapat bekerja lebih cepat dan efisien. 

Di sektor lain seperti administrasi, banyak tugas yang dulu memerlukan tenaga manusia kini bisa dikerjakan oleh perangkat lunak otomatis.

Hal ini mengakibatkan hilangnya beberapa jenis pekerjaan atau berkurangnya jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. 

Untuk Gen Z yang baru memasuki dunia kerja, mereka harus mampu beradaptasi dengan perubahan ini dan belajar keterampilan yang tidak mudah digantikan oleh mesin. Jika tidak, mereka berisiko tertinggal dalam persaingan kerja.

3. Ekspektasi yang Tinggi dan Peluang yang Terbatas

Gen Z dikenal memiliki ekspektasi tinggi terhadap pekerjaan. Banyak yang menginginkan pekerjaan dengan gaji besar, jam kerja fleksibel, lingkungan kerja yang nyaman, dan keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi yang baik. 

Namun, kenyataannya, tidak semua perusahaan bisa memenuhi harapan ini, terutama untuk posisi entry-level. Sering kali, pekerjaan di level awal menawarkan gaji standar dengan tuntutan kerja yang cukup berat.

Masalahnya, lapangan pekerjaan yang sesuai dengan ekspektasi Gen Z tidak banyak. Banyak yang ingin bekerja di industri kreatif atau start-up yang menarik, tetapi posisi di sektor-sektor tersebut terbatas. 

Akibatnya, banyak yang menganggur lebih lama karena menolak pekerjaan yang dianggap tidak sesuai dengan harapan mereka.

4. Persaingan yang Ketat

Jumlah lulusan universitas meningkat setiap tahun, tetapi peluang kerja tidak bertambah secepat itu. 

Ini menyebabkan persaingan yang ketat di pasar kerja. Setiap kali ada lowongan kerja, bisa ada ratusan hingga ribuan pelamar untuk satu posisi. 

Gen Z harus bersaing tidak hanya dengan sesama lulusan baru, tetapi juga dengan mereka yang sudah berpengalaman.

Selain itu, perusahaan sekarang sering mencari kandidat dengan keterampilan tertentu, seperti coding atau pemasaran digital. 

Jika Gen Z tidak memiliki keterampilan tersebut, akan lebih sulit bagi mereka untuk bersaing. Meski memiliki ijazah, tanpa keterampilan tambahan yang relevan, peluang untuk mendapatkan pekerjaan menjadi lebih kecil.

5. Gig Economy: Peluang dan Risiko

Gig economy, atau ekonomi berbasis pekerjaan lepas, semakin populer di kalangan Gen Z. 

Pekerjaan seperti menjadi driver ojek online, desainer grafis lepas, atau content creator menawarkan fleksibilitas dan kebebasan. Namun, pekerjaan di gig economy sering kali tidak stabil. 

Penghasilan bisa berfluktuasi tergantung pada jumlah pekerjaan yang tersedia, dan tidak ada jaminan penghasilan tetap seperti dalam pekerjaan konvensional.

Selain itu, pekerja gig economy biasanya tidak mendapatkan manfaat seperti asuransi kesehatan atau jaminan pensiun, yang umum di pekerjaan tetap. 

Meskipun terlihat menarik dalam jangka pendek, bekerja di gig economy dapat menimbulkan risiko finansial di masa depan jika tidak dikelola dengan baik.

6. Pendidikan yang Kurang Adaptif

Sistem pendidikan di Indonesia sering kali dianggap kurang adaptif terhadap perubahan kebutuhan dunia kerja. 

Kurikulum yang diajarkan di sekolah atau universitas kadang-kadang tidak relevan dengan kebutuhan industri saat ini. 

Misalnya, masih banyak sekolah yang fokus pada teori lama tanpa memberikan cukup latihan pada keterampilan praktis yang dibutuhkan oleh perusahaan saat ini.

Perubahan dalam dunia kerja terjadi dengan cepat, tetapi sistem pendidikan sering kali lambat beradaptasi. 

Ini menyebabkan banyak lulusan yang merasa kurang siap menghadapi dunia kerja dan harus belajar kembali di luar lingkungan pendidikan formal untuk mengejar ketertinggalan.

Kesimpulan

Tantangan yang dihadapi oleh Gen Z dalam mencari pekerjaan di Indonesia sangat kompleks. 

Mulai dari kesenjangan keterampilan, disrupsi teknologi, ekspektasi tinggi, hingga persaingan ketat, semuanya menambah sulitnya mencari pekerjaan di era sekarang. 

Ditambah lagi dengan sistem pendidikan yang kurang adaptif, Gen Z harus proaktif dalam meningkatkan keterampilan mereka untuk bisa bersaing di pasar kerja yang terus berubah.

Untuk mengatasi tantangan ini, penting bagi Gen Z untuk terus belajar dan beradaptasi dengan perubahan teknologi. 

Mereka juga perlu menyesuaikan ekspektasi mereka terhadap pekerjaan dan fokus pada pengembangan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri. 

Hanya dengan cara ini, mereka bisa tetap relevan dan bersaing di pasar kerja yang semakin kompetitif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun