Ayah dalam Pagi yang Lelah
Setiap pagi, embun masih berdiam di ujung dedaunan,
Aku melihatnya, ayahku yang tak pernah lelah,
Dengan langkah tertatih, sepatu usang, dan senyum tipis,
Mengantar aku ke gerbang sekolah, menyematkan doa dalam diam.
Malamnya, ia bergumul dengan suara mesin-mesin,
Berkawan dengan cahaya pabrik yang memagut mata,
Keringatnya adalah mantra yang menyulam harapan,
Mengikis lelah, menunda mimpi, demi nafkah yang terus ia cari.
Kembali dari sekolah, bayang punggungnya hilang,
Menyeruak di antara padi yang menghijau,
Cangkul di tangannya seperti tongkat sihir,
Menumbuhkan butir-butir nasi dari tanah yang keras.
Ia adalah ayah yang menyatu dengan bumi,
Keringatnya menjelma air yang menyirami ladang,
Tangannya menggurat langit dengan doa-doa sunyi,
Dan dalam tiap lelahnya, terselip cinta yang tak terkatakan.
Di antara detak waktu yang terus berjalan,
Ia adalah cerita tentang ketulusan yang tak pudar,
Membingkai pagi dengan keberanian,
Dan menyulam malam dengan kesetiaan.
Ayahku, lelaki perkasa dalam kelembutan,
Menjadi tiang bagi rumah yang penuh asa,
Dalam setiap langkah letihmu, aku melihat dunia,
Dan dalam setiap peluhmu, aku menemukan cinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H