Keberadaan industri ini memutar roda produksi dengan cepat untuk memenuhi tren berbusana yang terus berubah, menghasilkan dampak besar terhadap lingkungan.
Proses produksi tekstil, mulai dari penanaman bahan baku hingga tahap pewarnaan, seringkali memerlukan penggunaan sumber daya alam yang signifikan, termasuk air dan energi.Â
Contoh nyata adalah 20% pencemaran air berasal dari pewarna tekstil, dan sungai-sungai seperti Citarum di Bandung menjadi korban dari limbah industri tekstil.
Bahan tekstil seperti polyester, yang sering digunakan dalam produksi pakaian, membutuhkan minyak dalam jumlah besar.Â
Paradoksnya, sekitar 90% pakaian yang dijual di Amerika Serikat terbuat dari bahan yang termasuk kurang berkelanjutan, seperti katun dan polyester.Â
Hal ini menunjukkan ketidakseimbangan antara kebutuhan konsumen akan pakaian dan dampak lingkungan yang dihasilkan oleh industri fashion.
Dilema Pakaian Sebagai Kebutuhan Primer vs. Tersier
Pakaian, pada dasarnya, merupakan kebutuhan primer manusia untuk melindungi diri dari elemen dan mempertahankan kesejahteraan.Â
Namun, munculnya industri fashion atau mode telah mengubah persepsi terhadap pakaian menjadi kebutuhan tersier.Â
Masyarakat, terutama di dunia Barat, cenderung membeli pakaian bukan karena kebutuhan dasar, melainkan karena tren dan gaya yang terus berubah.
Konsep "fast fashion" mendorong masyarakat untuk terus mengganti pakaian mereka sesuai dengan tren terbaru. Dalam prosesnya, masyarakat mungkin tidak menyadari konsekuensi dari konsumsi berlebihan ini terhadap lingkungan.Â