jamu gendong lagi siap melayani di tempatmu. Tahukah kamu bahwa jamu gendong sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha?
"Hai, jamu-jamu, siapa mau jamu?" Kalimat ini sering terdengar di sekitar lingkungan tempat tinggalmu. Ini adalah pertanda bahwa penjual Jamu berasal dari bahasa Jawa Kuno, yaitu "jampi" atau "sodo," yang artinya penyembuhan menggunakan ramuan obat-obatan atau doa. Oleh karena itu, dalam pembuatannya, jamu selalu diawali dengan doa dan bahkan puasa sebelum ramuan tersebut disajikan.
Jamu memiliki banyak jenis, namun salah satu yang paling populer adalah Jamu Gendong. Jamu ini diproduksi secara rumahan dan dimasukkan ke dalam botol-botol yang kemudian dibawa dengan cara digendong.Â
Namun, apakah jamu yang dijual dengan bersepeda juga bisa disebut Jamu Gowes? Hahaha, penjual jamu gendong memang identik dengan perempuan. Mengapa demikian? Pada zaman dahulu, mayoritas laki-laki lebih banyak bertugas dalam bidang pertanian. Oleh karena itu, penjual jamu gendong identik dengan seragam kerjanya berupa batik, kain jarik, dan jelas bahwa jamunya.Â
Tapi, seiring berjalannya waktu, tidak hanya perempuan yang menjual jamu dengan cara digendong, ada pecel, nasi liwet, bahkan sate yang juga menggendong sendiri.Â
Menggendong barang dagangannya ini memiliki arti tersendiri, seperti membawa anak kecil. Oleh karena itu, perempuan Jawa yang menggendong barang dagangannya seperti membawa anak kecil, harus diperlakukan dengan lemah lembut dan telaten.
Sejarah Jamu dalam Prasasti
Bukti bahwa jamu gendong sudah ada sejak lama dapat ditemukan di Prasasti Madawa Pura, peninggalan Kerajaan Majapahit. Raden Djamu, seperti yang disebut dalam prasasti tersebut, awalnya jamu hanya diperuntukkan bagi kalangan istana kerajaan. Namun, seiring berjalannya waktu, jamu juga didistribusikan kepada masyarakat umum.Â
Penjual jamu gendong juga tidak hanya terbatas pada perempuan, karena laki-laki juga terlibat dalam bisnis ini. Perbedaannya terletak pada cara memikulnya. Di zaman sekarang, jamu sudah memiliki berbagai bentuk, seperti jamu botol instan, racikan di tempat, dan lain sebagainya. Jamu gendong menjadi jarang ditemui.
Meskipun penjual jamu gendong semakin berkurang, penting untuk mengenang sejarah dan makna di balik praktik ini. Jamu gendong merupakan bagian dari budaya dan tradisi Jawa yang berharga. Selain sebagai pengobatan tradisional, jamu juga mencerminkan peran penting perempuan dalam masyarakat. Penjual jamu gendong adalah warisan yang perlu dilestarikan sebagai salah satu aset budaya Indonesia.
Sejarah Penjual Jamu Keliling pada Masa Kolonial
Tradisi penjual jamu keliling telah ada sejak zaman kolonial Belanda. Pada masa itu, jamu dianggap sebagai obat tradisional yang memiliki manfaat kesehatan yang luar biasa. Belanda mengakui keefektifan jamu dan menjualnya di apotek. Namun, masyarakat pribumi, terutama di pedesaan, tidak mampu membeli jamu di apotek, sehingga praktik penjualan jamu keliling mulai muncul.
Pada awalnya, penjual jamu keliling menggunakan kereta kuda atau menyusuri jalan dengan membawa tas berisi botol-botol jamu. Seiring berjalannya waktu, mereka menggunakan gerobak yang dilengkapi dengan cerobong asap agar lebih mudah dikenali oleh masyarakat. Penjual jamu keliling ini menjadi pemandangan khas di Indonesia, terutama pada era 1950-an hingga 1980-an.
Peran Penjual Jamu Keliling dalam Masyarakat
Penjual jamu keliling memiliki peran penting dalam masyarakat Indonesia. Mereka tidak hanya sebagai penjual jamu, tetapi juga sebagai penjaga warisan budaya dan pengobatan tradisional. Masyarakat yang percaya pada kekuatan jamu sering mengandalkan penjual jamu keliling untuk memperoleh ramuan yang mereka butuhkan.
Selain itu, penjual jamu keliling juga menjadi tempat konsultasi kesehatan alternatif bagi masyarakat. Mereka memiliki pengetahuan yang luas tentang berbagai ramuan jamu dan dapat memberikan saran atau pengobatan untuk masalah kesehatan ringan. Penjual jamu keliling juga menjalankan fungsi sosial, menyediakan tempat bagi masyarakat untuk berbagi cerita dan merawat satu sama lain.
Menghadapi Tantangan Modern
Meskipun tradisi penjual jamu keliling telah bertahan selama bertahun-tahun, mereka menghadapi tantangan di era modern ini. Perubahan gaya hidup dan pola pikir masyarakat membuat minat terhadap jamu tradisional menurun. Pengaruh budaya Barat dan perkembangan industri farmasi modern telah menggeser minat masyarakat terhadap jamu.
Selain itu, regulasi yang ketat dan persaingan bisnis membuat penjual jamu keliling menghadapi tantangan ekonomi. Pengadaan bahan baku, perizinan, dan persaingan dari jamu yang dikemas secara modern membuat mereka kesulitan untuk bersaing.
Upaya Pelestarian Tradisi
Meskipun dihadapkan pada tantangan, beberapa upaya telah dilakukan untuk melestarikan tradisi penjual jamu keliling. Beberapa komunitas lokal dan organisasi nirlaba berkolaborasi dengan penjual jamu keliling untuk mengadakan acara dan pameran yang memperkenalkan kembali nilai-nilai tradisional jamu kepada masyarakat.
Selain itu, pemerintah juga berperan dalam melestarikan tradisi ini. Dengan menyediakan pelatihan dan pendidikan tentang jamu tradisional, pemerintah berharap dapat mendorong minat masyarakat terhadap jamu dan memberikan dukungan kepada penjual jamu keliling.
Penjual jamu keliling adalah bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Tradisi ini bukan hanya tentang penjualan ramuan tradisional, tetapi juga tentang warisan budaya yang bernilai tinggi.Â
Meskipun dihadapkan pada tantangan dalam era modern, upaya untuk melestarikan tradisi ini terus dilakukan. Kita semua perlu memberikan dukungan dan apresiasi terhadap penjual jamu keliling agar tradisi yang berharga ini tetap hidup dan berkembang di tengah masyarakat.
Jadi, jika suatu hari kamu mendengar panggilan "Hai, jamu-jamu, siapa mau jamu?" di sekitar lingkunganmu, hargailah momen tersebut sebagai pengingat akan sejarah dan makna di balik penjual jamu gendong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H