Badannya yang tetap tegap meskipun sudah lanjut usia, sorot mata yang tajam dan suaranya yang penuh wibawa.Â
Pak Guru Suyud, kami biasa memanggilnya. Seorang guru SD Inpres di sebuah kampung di Desa Kebondalem, Kutoarjo, Purworejo, Jawa Tengah yang jauh dari keramaian kota. Mengenalnya di tahun 80-an sebagai guru SD yang banyak memberikan dasar-dasar yang kuat dalam belajar dan menghadapi masa depan.Â
Metode belajar kelompok yang dirintisnya di rumah setiap siswa dengan anggota 4-6 siswa. Beliau seringkali melakukan inspeksi rumah ke rumah dengan diam diam. Dan paginya akan membahas di kelas untuk koreksi metode dan hasil belajarnya.Â
Lomba-lomba mata pelajaran selalu didaftarkan untuk murid-muridnya dengan biaya sendiri dan bahkan les tambahan tanpa biaya tambahan.Â
Beliau tak kenal lelah dalam membimbing muridnya, bahkan di luar tugas kependidikan seperti kondisi ekonomi siswanya. Dengan gaji seorang guru yang sangat minim, beliau terkadang membeli alat mengajar sendiri seperti alat tulis dan penghapus papan juga buku-buku pelajaran.Â
Bahkan bagi murid yang tidak mampu dibelikan alat tulis agar dapat mengikuti pelajaran dengan baik.Â
Ketika sudah lulus, kami pernah menanyakan alasan beliau melakukan semua itu.Â
Beliau menjawab, "Mengajar seorang murid adalah seni kehidupan seorang guru. Kecerdasan seorang murid bukanlah tanda kesuksesan seorang guru. Jika kecerdasan sebagai ciri kesuksesan seorang guru, Â maka kebodohan seorang murid juga kegagalan seoranh guru. Keberhasilan seorang guru adalah ketika seorang murid dapat memiliki prinsip bahwa belajar adalah kebutuhan. Dan menuntut ilmu adalah seni kehidupan orang yang sukses."
Terhenyak juga mendengar jawaban beliau.Â
Teringat ketika beliau selalu membawa majalah bekas untuk dibaca murid-muridnya, seperti MOP, Trubus, Bobo dan Ceria.Â
Semua beliau beli dengan uang sendiri untuk mencerdaskan muridnya.Â