Mohon tunggu...
Misbah Fahrudin
Misbah Fahrudin Mohon Tunggu... Administrasi - Misbah

Perikanan dan Kelautan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pertanyaan

23 April 2019   10:28 Diperbarui: 23 April 2019   10:31 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada suatu malam, Aku dibangunkan dengan menepuk dadaku beberapa kali. "Maaf, aku membangunkanmu," katanya.

"Ini penting. Ada yang sangat ingin sekali bertemu denganmu." Tambahnya. Aku hanya mengangguk sembari mengusap2 mata dengan telunjuk dan ibunya.

"Baiklah. Siapa dan apa halnya?" Tanyaku.

Kemudian Ia bergeser sedikit, sembari menelungkupkan sayapnya yang besar. Rupanya ada satu dewasa dan satu lagi, mungkin anaknya. Keduanya menggunakan jubah hitam yang menutup semua badan, bahkan kepalanya. Aku tak bisa melihat mukanya.

"Baiklah. Siapakah kalian? Dan ada apa gerangan?"

"Izinkan kami untuk tidak kau kenal pada frekuensi yang lain, cukup pada frekuensi ini saja." Pinta si dewasa. Aku mengangguk dan sedikit heran.

"Perkenalkan. Dulu aku bertugas untuk menjadi pendampingmu sampai hari pensiunku. Lalu aku digantikan oleh anakku, tepat satu tahun ini." Jelasnya, sambil memegang bahu anaknya.

"Anakku sangat resah, lalu Ia memanggilku untuk mendampinginya menemuimu. Aku tidak bisa menemuimu dengan mudah. Butuh beberapa lama untuk meminta izin pengawalmu. Jadi, kami mohon kerelaan hatimu untuk berbincang beberapa saat."

"Baiklah. Apa hal yang bisa aku bantu?"

Ia kemudian menoleh ke anaknya, meminta meneruskan perbincangan hangat ini. Ia pun pamit setelahnya.

"Dengan sebutan apa aku harus memanggilku?" Tanya anak itu.

"Jangan ragu, saudaraku." Jawabku sambil merasa heran.

"Ada 3 hal yang ingin sekali aku tanyakan padamu. Tentunya yang sangat sekali ingin aku tanyakan setelah satu tahun mendampingimu."

"Kubuatkan kopi dulu ya." Selaku.

"Tidak perlu! Kau sebenarnya sudah tahu siapa kami. Tentu kau juga tahu kami tidak meminum apa yang kamu minum." Jawabnya agak membentak. Aku kembali merapihkan dudukku.

"Pertama. Mengapa kamu menganggap kami saudaramu?"

"Kalau kamu benar2 ingin aku menjawab pertanyaanmu, maku kamu harus berjanji terlebih dahulu. Bisakah?" Tanya atau mungkin jawabku dengan serius.

"Baiklah."

"Kamu harus berjanji bahwa yang aku sampaikan hanya bahan2 saja, hanya benih2 saja yang harus kamu tanam dengan caramu sendiri!" Ia mengangguk.

"Kita dihembuskan oleh dzat yang sama. Kita juga terlahir dalam ruang yang sama, yang sebenarnya tidak bisa aku sempitkan katanya menjadi ruang. Lalu dalam hirarkinya, sebenarnya aku adalah jenis yang jauh dilahirkan setelah kalian. Bahkan Ia pun adalah adik kalian 'sambil menunjuk si pengantar'. Maka apa alasanku untuk tidak menganggap kalian saudaraku?"

"Baiklah. Kedua. Mengapa kamu tidak membenciku?"

"Kita saudara bukan? Tak percayakah?" Jawabku sambil tertawa.

"Ayolah!" Jawabnya seperti kurang puas.

"Ya sudah. Kamu kan pendampingku." Timpalku sambil semakin terbahak2. Ia tetap keren dengan diamnya. Ternyata ia salah satu yang tak pandai tertawa, walaupun takdirnya adalah membuat orang 'memperbanyak tertawa'.

"Hahaha... iya2, maafkan aku. Ayolah, sebenarnya kamu bisa tanyakan kepada pendahulumu. Tapi ya sudahlah, mungkin memang kamu punya kuriositas yang tinggi."

"Kamu itu benar2 saudaraku, pendampingku, hanya tugas kita berbeda, dan kamu juga tidak sendirian. Kalau ada kamu, pasti ada dia 'sambil menunjuk si pengantar'. Tugasmu merayu, menggoda kepada apa yang aku sebaiknya tak aku lakukan, bahkan yang jelas tak boleh aku lakukan, sedang Ia sebaliknya 'sambil menunjuk si pengantar'. Kita punya garis berbeda, tapi jangan sekali2 menyayangkannya. Cukup imani saja bahwa itu yang terbaik. Kamu pasti salah di mata orang2, dan ia sebaliknya 'sambil menunjuk si pengantar'. Tapi itu bukan masalah. Kamu berada di jalur yang benar dengan seperti itu. Lah iya, karena memang itu takdirmu. Berbeda dengan aku dan orang2 lain, yang belum tentu dalam jalur yang benar. Kami sangat dituntut untuk selalu bijaksana dalam memilih jalur, mengambil jalan, cara berjalan, dan menjalankannya untuk sampai kepada jalan yang benar. Kami jadi makhluk kemungkinan karena itu. Maka, sebenarnya kami bisa salah karena itu, dan sebaliknya, juga karena itu. Kami tidak hidup di masa junjungan kita masih dalam jasadnya, maka kami tidak benar2 tahu yang mana jalan terbaik, yang walaupun banyak lubangnya, agak menanjak, tapi sampai pada tujuan yang benar. Satu2nya harapan kami adalah kalimat2 nasihat yang diwahyukan melaluinya, lalu diwariskan melalui pendahulu2 kami. Dan itupun lagi2 kami harus tetap bijaksana dalam memahaminya, karena ada saja kata2 yang disempitkan maknanya, bahkan dihilangkan sebagian ruhnya."

"Ketiga. Siapa panduhulu itu, yang aku bisa percayai nasihatnya?"

"Entahlah pastinya. Hanya saja yang aku yakini adalah pakaiannya sama dengan orang2 biasanya."

"Apakah ia memakai kemeja? Jubah? Atau kaus lusuh?"

"Jatah pertanyaanmu habis, saudaraku. Silahkan sikapi sendiri."

Purwokerto, 23 April 2019

H.M.F

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun