Langit belum terang seutuhnya, dengan sepatu olah raga dan kaos lengan panjang serta celana selutut Catur duduk di teras rumah, menunggu motor yang di panasin siap untuk jalan, pagi ini sesuai dengan tilpun bos tadi malam, akan bertemu di Lapangan Sempur untuk berolah raga, tanpa segelas kopi atau segelas teh panas, Catur berangkat menuju Lapangan Sempur.
Kali ini, langit cerah, dengan embun pagi yang masih melayang-layang di atas lapangan Sempur, sudah lebih dua ratus orang yang sedang beraktivitas pagi ini di lapangan Sempur, ada yang berlari-lari kecil, ada yang jalan kaki sambil mendorong kereta bayi, ada yang diam ditempat seperti sedang melakukan senam yoga.
Catur meletakkan tangganya di pinggang, seraya menggerak gerakan kaki dan kepalanya, memulai pemanasan, sambil matanya menerawang ke kiri, ke kanan, ke depan ke belakang, namun sosok yang dia cari tak terlihat oleh kedua matanya.
Suara handphone dari saku celanya berbunyi, terbaca CEO BOS, dilayar handphone nya.
"Pagi, Pak."
"Bapak dimana ?" lanjut Catur
"Waduh.....saya benar-benar minta maaf."
"Saya kesiangan, Catur di rumah apa di Sempur ?"
"Saya sudah di Sempur, pak ."
"Saya minta maaf."
"Sepertinya saya tidak jadi kesana, nanti kita scedule ulang saja."
"Kalau Catur mau pulang, pulang saja." Lanjut si bos
"Ia, pak tidak apa-apa, saya cari keringat dulu sebentar disini." Jelas Catur.
Setelah memasukan handphone ke kantong, Catur mencoba berjalan mengelilingi lapangan Sempur, bersama ratusan orang yang sedang berolah raga juga.
Catur tidak menghitung berapa putaran sudah yang dia dapat, yang jelas baju kaos yang digunakan sudah mulai basah oleh keringat, wajah juga terlihat butiran-butiran keringat seperti jagung, dan kaki mulai terasa pegal.
Upsss, hampir saja Catur menabrak anak kecil yang tiba-tiba memotong alur jalannya, dia pegang lengan anak itu, maaf hampir om tabrak, kata Catur.
Dia pegang pundak anak tersebut, nampak dari pinggir lapangan seorang gadis yang masih belia, memotong alur orang yang lagi mengitari lapangan Sempur berolah raga menghampiri anak tersebut yang masih di pegang Catur pundaknya.
"Maaf, pak, maafkan anak saya." Kata nya
"Oh, tidak apa," kata Catur
Melepaskan tangannya dari pundak anak tersebut, si ibu menggendong anaknya, tersenyum sebentar ke arah Catur, terus berlalu ke pinggir langan.
Catur kembali melanjutkan aktivitasnya berjalan keliling lapangan kali ini, ia mempercepat langkahnya, bahkan kadang dia berlari-lari kecil, kemudian berjalan lagi.
Waktu menunjukan pukul 07.00  pagi, ini menandakan Catur sudah satu jam persis  berolah raga, dia masih tetap mengitari lapangan, kali ini berjalan sangat santai, seperti orang yang sedang melakukan pendinginan, sambil membayangkan, sarapan pagi apa habis ini, karena di sayap belakang Lapangan Sempur, banyak terdapat warung- warung kecil yang menyediakan masakan beraneka ragam.
Yang di lihat Catur pertama adalah, yang warungnya masih sepi pengunjung, biar agak santai menikamati sarapanya, begitu yang ada di benaknya, matanya tertuju pada spanduk kecil di depan warung, Sedia Soto Paru, Soto Kikil, Soto bening dan aneka minuman.
"Soto paru satu, bang sama teh panas ngak pakai gula." Kata Catur
"Campur atau paru semua ?" tanya si penjual
"Paru saja." Kata Catur
Catur langsung duduk, sambil mengusap mukanya dengan sapu tangan, karena dia lupa membawa handuk kecil, namun dia agak sedikit kaget saat melihat ke meja di pojok, karena dari tadi perempuan yang anaknya hampir tertabrak saat Catur jalan, sedang menikmati sarapan sambil menyuapi anaknya.
"Sendiri saja olah raganya, pak ?" tanya si Ibu
"Ia, sendiri," kata Catur
"Bapaknya mana ?" tanya Catur sambil melihat ke sekeliling warung
"Bapaknya sudah meninggal, saat dia masih dalam kandungan," kata si Ibu sambul menunjuk muka anaknya
"Oh, Maaf." Kata Catur
"Turut berduka," lanjutnya
"Tidak apa pak, terima kasih," kata si Ibu
"Mari sarapan ibu." Kata Catur setelah soto pesananya di hidangkan si penjual
"Silahkan, pak."
"Ada jeruknya pak ?" kata Catur kepada si abang penjual soto
"Maaf pak, habis." Kata si penjual
"Ini masih ada satu belum digunakan." Kata si ibu sambil menyerahkan piring kecil berisi potongan jeruk nipis, ada lima potong, dan terlihat empat potong sudah di gunakan, masih tersisa satu.
"Terima kasih." Kata Catur sampil mengambil yang masih utuh.
"Tinggal dimana,bu ?" kata Catur
"Di Pajajaran pak, toko busana Azka," lanjut si ibu
"Berarti ini Azka." Kata Catur mencoba nebak, sambil memasukan suapan  kedalam mulutnya.
"Betul pak, saya ambil namanya dari anak saya." Jelas si ibu
"Nama saya Dessy." Lanjut si Ibu lagi
"Saya Catur."
"Azka sudah sekolah ?" tanya Catur ke arah Azka
"Belum, om." Jawab Dessy karena Azka terlihat masih mengunyah makanan penuh di mulutnya.
"Azka, Bu Dessy, saya duluannya." Kata Catur
Terlihat Dessy menggukkan kepalanya, dan memegang kepala Azka, dan berkata, "Azka, tuh om nya pamit duluan."
Azka hanya diam, tetap mengunyah makananya, entah berapa usianya, paling menurut tebakan Catur sekitar 2 tahun lebih dikit.
"Berapa pak, semua kata Catur," sambil nunjuk Azka
"Tidak usah pak, biar saya bayar sendiri." Sergah Dessy
"Tidak apa, panggil saya Catur saja tidak usah pakai bapak," Kata Catur
"Sekalian pak," sekali lagi Catur menegaskan
"Empat puluh dua ribu semua pak," kata si penjual
Catur menyerahkan uang lima puluh ribu rupiah, sambil berkata, kembaliannya buat bapak saja.
Edfour,01052019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H