Mohon tunggu...
Misbahul Munir
Misbahul Munir Mohon Tunggu... -

I am an enthusiast in ecology-evolution-conservation and global climate change. I also concern about science communication and the intersection topics between science and religion.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Industri Bahan Bakar Fosil dan Oligarki Politik

27 Mei 2016   05:10 Diperbarui: 27 Mei 2016   07:01 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil semakin parah. Sebanyak 95 persen konsumsi energi nasional saat ini masih bertumpu pada minyak bumi dan batu bara. Kondisi ini membuat revolusi menuju energi baru terbarukan dan ramah lingkungan semakin menemukan jalan terjalnya. Namun, ada apa sebenarnya di balik ini semua? Mengapa ketergantungan ini menjadi sangat kronis?

Indonesia merupakan salah satu negara yang menyimpan cadangan bahan bakar fosil yang melimpah. British Petroleum pada tahun 2014 melaporkan, negeri ini memiliki 2,9 triliun meter kubik gas alam, 3,7 juta barel minyak bumi, dan 28 miliar ton batu bara yang masih aktif dieksplorasi dan diekstraksi hingga saat ini. Indonesia diperkirakan masih bisa bergantung pada total bahan bakar fosil yang dimiliki hingga 180-200 tahun mendatang.

Namun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia mengatakan jika tingkat produksi seperti saat ini terus dipertahankan, cadangan batu bara Indonesia diperkirakan akan habis kira-kira dalam 83 tahun mendatang. Sedangkan minyak bumi mencapai angka yang lebih kritis lagi, yaitu hanya 12 tahun lagi.

Di sisi lain, produksi bahan bakar fosil di Indonesia meningkat secara signifikan dalam dekade terakhir. Indonesia adalah produsen dan eksportir batu bara terbesar ketiga di dunia setelah Tiongkok dan Amerika Serikat dengan nilai produksi bersih mencapai 281,7 Mt (setara juta ton minyak). Ini belum termasuk batu bara yang ditambang dan diekspor secara ilegal. Produksi dan ekspor yang besar ini tentu menguntungkan Indonesia dari sisi ekonomi.

Bahan Bakar Fosil: Energi Kotor
Namun produksi yang dilakukan terus menerus tentu akan menambah jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) yang berkontribusi terhadap pemanasan global. Bahkan akan menghambat berkembangnya energi baru dan terbarukan.

Berdasarkan data dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tahun 2012, saat ini Indonesia berada di urutan ke-14 sebagai negara pengemisi GRK terbesar di dunia dari konsumsi bahan bakar, yaitu sebesar 0,44 gigaton setara CO2. Padahal pada Konferensi Perubahan Iklim ke-21 di Paris Desember 2015 lalu, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29-41 persen sebelum 2030.

‘Rakus’-nya Indonesia terhadap energi fosil ini bisa disebabkan karena berbagai hal. Di antaranya adalah kebutuhan energi yang terus meningkat seiring dengan melonjaknya jumlah penduduk, pembangunan, dan rasio elektrifikasi yang rendah. Tak hanya itu, bahan bakar fosil saat ini masih menjadi energi yang paling murah dan mudah didapat dibandingkan sumber energi lainnya.

Namun jika dianalisis lebih lanjut, bisa jadi ada faktor lain yang memengaruhi mengapa Indonesia tidak segera berpindah dari energi kotor ke energi bersih. Benturan antara kepentingan industri bahan bakar fosil dan respon terhadap pemanasan global adalah salah satunya. Benturan tersebut bisa turut memengaruhi wajah demokrasi Indonesia.

Penyumbang Terbesar Pendapatan Pemerintah
Saat ini terdapat puluhan industri bahan bakar fosil, baik itu minyak bumi atau batu bara yang melakukan eksplorasi di Indonesia. Pickard dan Shakuntala pada tahun 2014 menyebutkan, perusahaan minyak dan gas di Indonesia memperoleh keuntungan sebesar Rp 400 triliun dan sekitar Rp 64 triliun di antaranya diperoleh dari proses hulu.

Pengeksplorasi minyak dan gas terbesar di Indonesia didominasi oleh perusahaan multinasional asing. Chevron adalah yang terbesar, diikuti Pertamina setelahnya. Dari Rp 772,6 triliun keuntungan yang diperoleh perusahaan, Pemerintah Indonesia menerima sekitar Rp 72,3 triliun dari pajak dan Rp 355,9 triliun dari royalti. Jika dikalkulasikan, rata-rata Indonesia memiliki saham sekitar 18 persen.

Data ini menunjukkan bahwa pendapatan terbesar pemerintah Indonesia berasal dari industri bahan bakar fosil. Industri ini telah menyumbang 30 persen pendapatan pemerintah pada tahun 2011, tiga perempat di antaranya berasal dari ekspor minyak dan gas. Hal ini secara tidak langsung membuat Indonesia memiliki ketergantungan terhadap ekspor bahan bakar fosil.

Industri Bahan Bakar Fosil Terancam
Namun industri bahan bakar fosil menghadapi tantangan yang serius. Desakan pengurangan emisi CO2 sebagai respon terhadap pemanasan global membuat masyarakat harus berpindah dari bahan bakar fosil menuju sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Hal ini tentu berpengaruh terhadap pertumbuhan, profitabilitas, dan nilai indusri bahan bakar fosil. Bahkan dalam jangka panjang mengancam keberadaan industri tersebut.

Dampaknya, menurut Kevin Tafts dari Withlam Institute dalam laporannya, akan membuat 80 persen batu bara, minyak bumi, dan gas yang dieksplorasi oleh industri bahan bakar fosil harus dibiarkan di dalam tanah sebagai aset yang ‘terdampar’. Bahkan industri bahan bakar fosil dinilai terlalu buruk untuk jangka panjang, karena dapat menciptakan ‘gelembung karbon’ (carbon bubble).

Dengan demikian, industri bahan bakar fosil akan berjuang mati-matian untuk menjual batu bara, minyak, dan gas, terlepas dari dampak lingkungan yang diakibatkan. Sehingga pemanasan global jelas membahayakan industri bahan bakar fosil, sebagaimana ia mengancam kelestarian keanekaragaman hayati.

Cengkeraman Oligarki
Terancamnya industri bahan bakar fosil dapat berpengaruh terhadap demokrasi di Indonesia. Karena kuatnya pengaruh industri bahan bakar fosil terhadap pemerintah, bisa saja sistem demokrasi di-setting dalam rangka melindungi industri bahan bakar fosil tersebut. Mereka menciptakan politik yang mengistimewakan hak industri bahan bakar fosil, alih-alih merespon aspirasi demokrasi dan kepentingan jangka panjang dari masyarakat.

Bentuknya dapat berupa munculnya elit-elit tertentu dalam partai politik yang membawa kepentingan bagi langgeng-nya industri bahan bakar fosil. Mereka bersaing satu sama lain dalam ranah demokrasi untuk memengaruhi, mengontrol, dan bahkan memiliki hak dalam mengatur kebijakan negara.

Sehingga muncul lah sebuah bentuk oligarki yang mencemari sistem demokrasi di negara ini. Partai yang seharusnya mengakomodasi suara rakyat, justru malah mengutamakan kepentingan pribadi atau golongannya sendiri. Maka tidak heran jika kemudian muncul berbagai kasus korupsi oleh para pejabat, karena saat kampanye ia disokong dana dari industri bahan bakar fosil dan memiliki kewajiban untuk mengembalikan dana tersebut.

Memang belum ada investigasi empirik yang secara spesifik menyeret industri bahan bakar fosil di Indonesia dalam kasus oligarki ini, namun ini adalah perkara yang sangat mungkin terjadi. Hal itu lah barangkali yang saya sebut ‘faktor lain’ yang turut memengaruhi lambatnya perkembangan energi baru terbarukan di Indonesia.

Pemerintah Vs Industri
Pada akhirnya negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang dalam memberikan batasan emisi pada indusri bahan bakar fosil, menuntut standar tinggi untuk bahan bakar, pajak karbon untuk mencerminkan biaya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, memberikan hukuman, penghargaan, insentif, perizinan, pembatasan, dan penegakan hukum.

Pemerintah harus berani memberikan tantangan terhadap industri bahan bakar fosil. Pun demikian, dampaknya industri bahan bakar fosil kemungkinan juga akan menekan balik. Kontes ini akan melibatkan beberapa kalangan, seperti elit bisnis, politisi, pemerintah, dan ilmuwan.

Tafts mengatakan, ketika suatu yurisdiksi memiliki beragam kelompok yang bersaing dalam mengatur lembaga secara independen, maka demokrasi akan berlangsung alot dan vital. Namun ketika yurisdiksi justru diwarnai oleh kepentingan, nilai-nilai, dan tindakan salah satu elit yang lebih dominan dari yang lain, demokrasi mungkin sedang berada dalam bahaya.

Negara adalah benteng demokrasi. Ketika mereka menyerah terhadap industri bahan bakar fosil, demokrasi jelas akan menderita. Perjuangan merespon pemanasan global pada gilirannya juga merupakan perjuangan untuk melestarikan demokrasi. Maka penengah dari kedua kutub ini diperlukan untuk menjaga demokrasi tetap utuh. Penengah itu adalah masyarakat, yang saat ini tengah menanggung dampak buruk berkepanjangan ini.

Masa depan yang lebih baik adalah cita-cita bersama seluruh masyarakat Indonesia. Jika kita dan anak cucu kita masih ingin menghirup udara bersih untuk puluhan tahun yang akan datang, maka pilihannya hanya satu: berani mengambil keputusan. Revolusi energi bukan hanya perkara menekan kelangkaan energi, melainkan menyangkut masa depan bumi dan seluruh entitas yang ada di dalamnya.

Referensi:

Airlangga, Z. C. (2015). Demokrasi di Bawah Kendali Oligarki. Diakses dari https://www.selasar.com/politik/demokrasi-di-bawah-kendali-oligarki

Greenpeace Indonesia. (2014). Halo Industri Bahan Bakar Fosil, Semuany Sudah Berakhir. Diakses dari http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/halo-industri-bahan-bakar-fossil-semuanya-sud/blog/48949/

Indonesia Investments. (2016). Batu Bara. Diakses dari http://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/batu-bara/item236

Kompas. (2016). Pembangunan Rakus Energi Fosil: Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan Masih Kecil. Kompas, 26 Januari 2016.

LIPI. (2004). Pengembangan Energi Terbarukan sebagai Energi Aditif di Indonesia. Diakses dari http://www.energi.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1101089425&9

Liputan 6. (2015). Ini Gejala Oligarki Politik yang Merasuk Indonesia. Diakses dari  http://news.liputan6.com/read/2211931/ini-gejala-oligarki-politik-yang-merasuk-indonesia

Pickard, S. and Shakuntala M. (2014). Fossil Fuel Exploration Subsidies: Indonesia. Oil Change International, September 2014

Republika. (2014). Mahfud MD: Politik Oligarki Harus Dihentikan. Diakses dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/02/18/n16e36-mahfud-md-politik-oligarki-harus-dihentikan

Taft, Kevin. (2014). Fossil Fuels, Global Warming, and Democracy. A Report from a Scene of the Collision. Perspectives, Whitlam Institute within the University of Western Sydney, September 2014.

Uni Sosial Demokrat. (2015). Ekonomi Politik Bahan Bakar Nabati. Diakses dari http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=12710&coid=4&caid=33&gid=3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun