Oleh : Mirza Fanzikri
Harian Serambi Indonesia, 3 November 2012
INDONESIA kembali dikejutkan dengan satu berita yang tidak mengenakkan dari negeri jiran, Malaysia. Satu iklan lepas dengan judul “TKI on Sale”, yang menawarkan jasa pembantu Indonesia dengan diskon 40%, tersebar dan ditempel di ruang publik, di sejumlah tempat di Kuala Lumpur. “Indonesian maids now on sale. Fast and easy application. Now your housework and cooking come easy. You can rest and relax. Deposit only RM 3,500 price RM 7,500 net,” demikian tulisan dalam iklan tersebut (vivanews.com).
Merespons berita di atas, berbagai tanggapan dari politisi, birokrasi, aktivis, hingga akademisi ikut mewarnai media massa lokal dan nasional. Menanggapi pelecehan bangsa Indonesia. Tak berhenti di situ, aksi protes pun mencuat di berbagai persimpangan jalan. Serta surat menyurat berlangsung secara diplomatis memrotes iklan yang dianggap sebagai penghinaan tersebut.
Jika dikaji dari legalitas, iklan tersebut tidak mendapatkan izin dari pemerintah Malaysia, artinya illegal. Berbagai pihak dari negeri seberang juga mengecam atas tindakan itu. Ini dinilai sebagai kemunduran peradaban dan pelecehan martabat sebuah bangsa. Seperti peristiwa yang pernah terjadi di Amerika, di saat kaum kulit hitam dianggap sebagai barang dagangan. Sangat bertetangan dengan nilai-nilai kemanusiaan di tengah dunia yang sedang medengung-dengungkan penegakan HAM.
Positif dan negatif
Sebagai warga negara Indonesia, tentu kita punya persepsi yang berbeda-beda, ada positif dan negatif. Jika menyikapinya dengan sikap aneuk miet (baca: kurang dewasa), maka kita akan berfokus pada bagaimana membalas hinaan tersebut. Bahkan sampai aksi baikot mebaikot antara kedua negara. Namun, jika menanggapinya dengan pikiran dewasa dan positif, maka iklan tersebut menjadi sebuah sentilan dan tantangan bagi Indonesia, terutama Aceh, untuk berhenti mengekspor TKI dan menukarnya dengan mengekspor produksi pangan seperti beras, coklat, kopi dan lain-lain.
Aceh merupakan satu daerah yang banyak masyarakatnya menjadi TKI di Malaysia, baik legal maupun illegal. Di samping letak wilayah yang relatif dekat dan nilai mata uang lebih tinggi dibanding Indonesia, pun banyak warga Aceh yang familinya menetap di sana. Beberapa faktor itu yang menjadi pertimbangan lebih memilih menjadi TKI di negeri menara kembar tersebut. Selain itu, hal yang sangat ‘memaksakan’ masyarakat Aceh untuk hijrah ke Malaysia adalah terbatasnya lapangan kerja di bumi endatu dan semakin mendongkrak angka pengangguran dari tahun ke tahun.
Informasi terkini, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2012, pengangguran di Aceh semakin melonjak mencapai 164.400 orang. Pertumbuhan ekonomi di Aceh hanya mampu mencapai 5,11%. Suatu persentase angka yang jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu mencapai 6,3% (IDEAS, 8 Mei 2012).
Fakta ini membuktikan Aceh masih berjalan di tempat, bahkan lebih mundur di bidang penyediaan lapangan kerja. Pengangguran lulusan perguruan tinggi (PT) semakin meningkat pascawisuda mahasiswa yang lulus pada pertengahan 2012 lalu di berbagai PT di Aceh. Lulusan PT semakin banyak dan keran CPNS, sebagai penampung tenaga kerja terbesar, belum dibuka. Fenomena ini tentu akan berimplikasi pada tingginya angka pengangguran dan persaingan memperoleh kesempatan kerja.
Jika kurangnya perhatian pemerintah Aceh akan penyediaan lapangan kerja terhadap masyarakat, terutama yang lulusan perguruan tinggi, ke depan motivasi masyarakat dalam bidang pendidikan akan melemah. Masyarakat semakin terbelakang dan bodoh dalam hal ilmu pengetahuan. Kualitas sumber daya manusia (SDM) akan semakin rendah. Hal tersebut akan menjadi indikator kemunduran Aceh yang mesti dipertanggungjawabkan oleh segenap pemimpin dan masyarakat Aceh sendiri.