Mohon tunggu...
Mirza Ahmad
Mirza Ahmad Mohon Tunggu... -

Seorang bapak dari seorang putri. Lahir tahun 82. Pernah aktif dlm urusan keagamaan, HAM, dan anak. Penikmat Gadget dan bergelut di bidang desain, percetakan, website dan Internet marketing. Bercita-cita punya Startups keren. www.Brandingbisnis.com | www.inpixl.com | www.twitter.com/bangmirza

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pelajaran dari Alif dan Ibu Siami

1 Juli 2011   11:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:01 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya mendapatkan tulisan ini dari email di milis yang saya ikuti. kebetulan saya bekerja di SOS Children's Village yang ikut mendukung tindakan jujur dari Alif dan Ibunya bersama KPAI. Keprihatinan kita saat ini adalah adanya pelajaran ketidak jujuran dan menghalalkan segala cara yang di ajarkan sejak SD, jika hal ini dibiarkan, bagaimana generasi kita kedepan. dibawah ini cerita dari teman, Ida Sitompul,melalui emali saat alif datang ke kantor KPAI:

Tadi kami akhirnya bertemu dengan ibu Siami di ruang kantor Ibu Maria Ulfa, didampingi oleh ibu Badriyah Fayumi.

Ibu Siami adalah seorang perempuan biasa saja. Pendidikannya hanya sampai SMP, namun bisa mengemukakan pendapatnya dengan baik. Waktu berbiicara di depan publik bahasanya juga baik dengan kosa kata yang cukup tinggi seperti orang terpelajar. Jadi dugaan saya ibu Siami ini adalah orang yang cerdas juga, yang cuma kurang beruntung hingga hanya bisa sekolah sampai SMP.

Dia menceritakan apa yang dihadapi oleh putranya dan perasaan tertekan putranya serta beban mental yang ditanggung putranya kala dia harus mengikuti perintah guru yang seharusnya juga dia hormati, dengan melanggar petuah ibunya. Tiga bulan itu dia mendengarkan masukan berbeda dari dua pihak yang seharusnya bersatu menanamnya satu nilai yang benar. Untuk beberapa lama anak itu tidak bisa bicara dengan melihat ke mata ibunya. Apa  yang dilakukan guru tersebut harmful untuk seorang anak. Menurut saya guru tersebut bukan hanya menginjak-nginjak ak muridnya untuk dididik dalam nilai yang benar, namun juga bisa psychologically abusive.

Kami bertanya bagaimana kecurangan itu dilakukan. Ibu Siami bercerita bahwa beberapa bulan sebelum UN itu Aam sudah diperintahkan gurunya untuk memberi contekan. Begini kantara lain yang dikatakan oleh gurunya dalam selang tiga bulan menjelang UAN itu: " Aam kamu nanti kalau UAN ajari teman-temanmu ya."  Mungkin sadar Aam sulit menerima hal semacam itu, guur berkata, "Kalau kamu tidka menolong teman-temanmu, nanti hidupmu tidak sukses."

Lalu guru juga membimbing bagaimana percontekan itu dilakukan termasuk melakukan simulasi. Pertama Aam diberi kertas buram. Disitu Aam harus menuliskan jawaban semua soal ujian dari nomor satu sampai 50. Kertas itu lalau harus dia berikan pada seorang teman di sebelahnya yang akan memperbanyak dan menyebarkan kopinya ke teman-teman sekelasnya. Kemudian salah satu teman sekelas itu mendapat tugas untuk membawa contekan itu ke kelas yang laiin. Caranya dengan bertemu di WC. Nah kalau pengawasan tidak memungkinkan merka bertemu, ada plan B yaitu meletakkan kertas itu di dalam pot bunga yang ditempatkan di WC.. Nanti kurir dari kelas yang lain mengambilnya disana dan menyebarkannya.

Luar biasa pelajaran kelicikan yang diberikan guru. Saya tidak perlu menceritakan bagaimana perasaan Mbak WUri, Pak Haniwar, Pak Hayanis mendengar kisah itu.

Cukup banyak yang beranggapan bahwa dalam kejadian semacam ini semua hanyalah korban. Tapi kita harus ingat, ada dua macam korban disini. Korban yang melakukan percontekan, menghalakna percontekan, menyruh percontakan, memfaislitasi percontekan, mengajarkan percontekan, dan korban yang berusaha mempertahankan integritasnya bahkan walaupun itu mengorbankan dua tahun dari hidupnya, seperti Nunung misalnya.

Kalau kelompok pertama itu kita katakan tidak melakukan kecurangan. Apa yang kita katakan tentang kelompok kedua? Mereka telah melakukan ketololan? Kalau yag curang ternyata bukan curang dan mereka yang nyata-nyata tidak curang susahlah disebut apapun kecuali tolol. Tolol, bukannya mencontek saja, wong UN cuma dagelan kok.

Besok, pulang ke Sukabumi saya akan bertanya pada tiga adik saya disana yang guru, ibu mertua saya, pada tante yang walaupun sudah pensiun tetap diperbantukan di sekolah, apakah mereka ikut serta atau merestui perbuatan semacam itu. Jika ya, I'm telling them a piece of my mind.  Loving but firm. Apa yang salah ya salah, apa yang benar ya benar. Dugaan saya sih tidak, terakhir saya ngobrol dengan adik di meja makan mereka sambil makan rangginang, kami berdua mengumbar kemarahan soal pendidikan Indonesia, soal kecurangan insan-insan pendidikan.

salam,

ida


come visit www.sos.or.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun