Penulis : Mirza, S.Kom
Situasi hari  tidak jatuh dari langit Ia adalah hasil dari aktivitas produksi yang dijalankan manusia itu sendiri, dari bagaimana manusia bekerja, berjuang, dan menciptakan sesuatu. Begitu pula dalam konteks perubahan pola pangan global hari ini.Â
Apa yang kita makan, dari mana makanan itu berasal, hingga siapa yang menguasai produksinya adalah manifestasi dari proses yang kita jalankan sebagai sebuah bagian masyarakat dunia.
Namun, hari ini, kita menghadapi ancaman besar, sesuatu yang oleh penulis menyebutnya transformasi dari ladang ke laboratorium. Dengan dalih efisiensi dan keberlanjutan, dunia agraria sedang didorong ke arah transhumanisme, di mana makanan tidak lagi diproduksi oleh petani kecil di ladang mereka, tetapi dicetak dari printer 3 dimensi di laboratorium yang dikuasai korporasi besar.Â
Transhumanisme dalam pangan, meski dipoles dengan janji keberlanjutan, pada dasarnya adalah wajah baru dari imperialisme dan dunia sedang melangkah secara perlahan ke arah itu.
Transhumanisme dan Imperialisme Baru
Transhumanisme dalam pangan menjanjikan efisiensi dalam bentuk makanan sintetis, pertanian presisi berbasis data, dan benih rekayasa genetika. Namun, di balik argumentasi sebagai memberi makan dunia  ini, ada potensi kontrol yang terpusat pada segelintir perusahaan besar.Â
Ketika makanan kita tidak lagi berasal dari tanah yang kita miliki, tetapi dari teknologi yang dipatenkan, maka seluruh proses ini berujung pada konsolidasi kekuasaan pangan. Inilah bentuk imperialisme baru.
Bayangkan, seluruh makanan alam bentuk daging, sayuran, hingga nasi bukan lagi hasil dari petani lokal yang mengolah tanah mereka, melainkan produk dari laboratorium global yang mencetak pangan seperti mencetak dokumen.Â
Kita tidak  hanya kehilangan kedaulatan pangan, tetapi juga kehilangan hubungan dengan alam, budaya bertani, dan keberagaman pangan yang selama ini menopang kehidupan.
Generasi muda Indonesia, yang semakin menjauh dari sektor pertanian, secara tidak langsung membuka jalan bagi transhumanisme. Bertani dianggap sebagai pekerjaan kuno, kotor, dan kurang menjanjikan.Â
Mayoritas anak muda saat ini lebih memilih sektor kreatif, teknologi, atau jasa. Mereka memandang pertanian bukan sebagai sumber kehidupan, tetapi sebagai beban masa lalu yang harus ditinggalkan.
Kondisi ini diperburuk oleh kurangnya dukungan terhadap petani kecil, kebijakan agraria yang tidak berpihak, serta modernisasi yang justru meminggirkan komunitas agraris. Akibatnya, regenerasi petani nyaris tidak terjadi. Lalu siapa yang akan bertani? Jawabannya adalah: teknologi.Â
Mesin, algoritma, dan printer 3 dimensi siap menggantikan tangan petani, membawa kita ke dunia di mana pangan adalah barang produksi teknologi, bukan hasil dari hubungan manusia dengan alam.
Dampak Sosial dan Ekologis
Transformasi ini tidak hanya berdampak pada petani, tetapi juga pada masyarakat luas. Pertama, kita kehilangan keberagaman hayati. Benih lokal yang kaya nutrisi dan adaptif terhadap kondisi alam setempat akan tergantikan oleh benih rekayasa genetika yang seragam. Kedua, kita kehilangan kedaulatan atas makanan kita sendiri.
 Ketika teknologi dan bahan makanan sintetis dikuasai oleh segelintir perusahaan, maka kita hanya menjadi konsumen pasif yang tergantung pada apa yang disediakan oleh mereka.
Ketiga, hilangnya hubungan manusia dengan tanah, alam, dan praktik bertani tradisional. Budaya pangan yang telah mengakar selama ribuan tahun perlahan akan lenyap, digantikan oleh makanan hasil laboratorium yang steril dan tidak memiliki nilai historis.
Sebagaimana Karl Marx mengatakan bahwa perubahan hanya terjadi melalui aktivitas manusia, maka respons terhadap ancaman transhumanisme juga harus lahir dari perjuangan kita sendiri. Generasi muda harus kembali melibatkan diri dalam sektor agraria, baik melalui pendidikan, pengorganisiran, maupun keberpihakan pada petani kecil.
Tugas kita saat ini adalah membangun kembali pola-pola produksi yang berakar pada kearifan lokal. Program-program yang mendukung petani kecil, pasar tradisional, dan benih lokal harus diutamakan. Kita perlu menolak dominasi teknologi pangan yang justru merampas hak kita atas sumber daya dan kehidupan.
Menutup Jalan untuk Imperialisme Baru
Program-program prioritas seperti anti-neoliberalisme dalam sektor pangan harus menjadi agenda utama. Kita harus mendukung kedaulatan pangan yang berbasis pada rakyat, bukan pada korporasi. Memperjuangkan hak petani kecil, mengamankan lahan pertanian, dan memperkuat pasar lokal adalah bentuk perlawanan nyata terhadap transhumanisme imperialistik.
Pada akhirnya, semua ini kembali pada kita, apakah kita akan menerima makanan dari printer 3D sebagai masa depan, atau memilih mempertahankan tanah dan tradisi agraris kita sebagai sumber kehidupan? Jawaban dari pertanyaan ini akan menentukan wajah masa depan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka atas pangan atau sekadar menjadi konsumen pasif dalam dunia yang dikuasai oleh korporasi. Pilihan ada di tangan kita.
Penulis adalah anak muda  yang berasal dari parigi moutong provinsi sulawesi tengah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H