Mohon tunggu...
Mirza
Mirza Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Pengajar dan petani yang suka bermain sepak bola dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dampak Politik Transaksional (Mahar Politik) dalam Pilkada terhadap Pembangunan di Daerah

19 Juni 2022   16:05 Diperbarui: 19 Juni 2022   22:19 1134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjelang tahapan pencalonan Pemilihan Umum 2024 dimulai, isu uang mahar menyeruak. Uang mahar menjadi syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dipinang partai menjadi calon. Pemberian uang mahar itu tentu berdampak bagi demokrasi dan proses penyelenggaraan negara setelah para kandidat terpilih. Politik transaksional (mahar politik) diartikan sebagai pemberian janji tertentu dalam rangka mempengaruhi pemilih. 

Namun, dari banyaknya definisi yang ada, Politik transaksional merupakan istilah orang Indonesia untuk menerangkan semua jenis praktik dan perilaku korupsi dalam pemilu mulai dari korupsi politik, membeli suara (vote buying) hingga kegiatan haram.

Praktik mahar politik dapat dipahami sebagai transaksi di bawah tangan yang melibatkan pemberian sejumlah dana dari calon pejabat tertentu untuk jabatan tertentu dalam Pemilu partai politik sebagai kendaraan politiknya. 

Transaksi ini dengan motif apapun berpotensi pada terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana jika melebihi batasan nominal minimal Rp. 2.500.000.000,00 sebagaimana tercantum dalam Pasal 327 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Larangan soal mahar ini diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. 

"Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.

Lalu apa sanksi untuk parpol penerima mahar. Diatur dalam Pasal yang sama. Pasal 47 ayat (2) UU 10 Tahun 2016 menyebutkan "Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 

Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Selain sanksi administratif, calon kepala daerah yang memberi dan oknum di partai politik yang menerima mahar politik juga bisa terancam terkena sanksi pidana. 

Hal ini diatur dalam Pasal 187b dan 187c UU Pilkada. Yakni pidana penjara 2 hingga 5 tahun bagi pemberi imbalan dan 3 hingga 6 tahun bagi penerima imbalan serta denda Rp. 300.000.000,00 hingga Rp. 1.000.000.000,00.

Terdapat berbagai permasalahan berkaitan dengan mahar politik. Pertama, mahar politik seakan menjadi hal yang lumrah. Mahar politik dianggap sebagai ongkos perahu yang dalihnya akan dijadikan sebagai dana pembiayaan untuk menjalankan roda kendaraan partai. Perahu tidak dapat berjalan dan untuk calon kepala daerah bila mahar politik tidak dibayarkan. 

Namun, ongkos perahu banyak yang terlalu mahal hingga di luar batas kewajaran. Mahar politik bermain dalam pencalonan kepala daerah. Besarnya syarat dukungan ini menjadikan "harga" setiap kursi menjadi mahal. 

Tentu memerlukan modal yang sangat banyak untuk mendapatkan dukungan partai. Walaupun dalam beberapa kasus justru diberikan secara cuma-cuma. Akibatnya, selain politik menjadi berbiaya tinggi, proses pemilihan kepala daerah hanya akan bisa diakses oleh mereka yang memiliki modal uang mumpuni.

Persoalan mahar politik merupakan salah satu yang membuat proses pencalonan membutuhkan waktu yang cukup lama, banyak partai yang mengambil injury time untuk mendaftar ke KPU yang sebenarnya menyiratkan adanya tarik menarik seberapa besar "mahar" yang dikeluarkan dan bahkan ada calon yang batal dicalonkan di detik-detik terakhir. 

Hal ini menjadi momentum yang penting untuk melihat bahwa ada persoalan serius dalam mekanisme pemilu yang membuat tarik menarik politik menguat yang ujungnya bisa menghadirkan praktik yang koruptif.

Kedua, mekanisme pemilihan calon kepala daerah di dalam partai yang seringkali sulit diawasi dan belum adanya transparansi karena bersifat internal atau sekedar formalitas belaka. Sehingga hal ini membuka peluang untuk adanya transaksi "jual-beli" antara para elit partai dengan bakal calon yang akan diusung oleh partai tersebut. 

Ketiga, terkait dengan proses penentuan calon. Elektabilitas yang digaungkan atau menjadi sesuatu yang disyaratkan oleh partai hanya menjadi formalitas dan hanya menjadi faktor kecil penilaian. Bahkan Calon yang tidak mendaftar penjaringan ataupun tidak mengikuti fit and proper test mendapat restu dari partai. Dengan kata lain tidak mengikuti proses dari akar rumput, tetapi langsung menggunting di pucuk.

Dari peraturan-peraturan yang disebutkan, maka sudah jelas bahwa mahar politik merupakan sesuatu yang dilarang. Di UU Pilkada disebutkan bahwa bakal calon kepala daerah dilarang memberikan materi atau imbalan kepada partai. Partai juga dilarang menerima imbalan. 

Namun faktanya, sulit mengungkap praktik pemberian uang atau barang antara bakal calon dengan partai politik. Praktik ini selalu saja terjadi di ruang-ruang yang sulit diakses pengawas pemilu, penegak hukum, atau aktor-aktor yang punya peran mengungkap ini.

Dalam ketentuan normatif, bisa dibenarkan pemberian uang dari bakal calon kepala daerah kepada partai, tapi pemberian itu sifatnya sumbangan dari orang ketiga kepada partai. Itu perbuatan yang sah menurut UU Partai Politik. Tetapi terdapat ketentuan harus ikuti batasan sumbangan yang diperbolehkan. 

Kedua, harus dicatatakan dan dilaporkan oleh partai. Jadi, partai memang perlu sumbangan dari pihak ketiga untuk kegiatan operasional partai dan kegiatan kampanye, tapi dicatat dan harus transparan. Dalam banyak kasus tidak dicatat dan tidak transparan. Hal ini yang menyulitkan dalam hal pembuktian dan penegakkan hukum, karena terjadi di ruang gelap yang sulit dijangkau.

Dalam penegakkan hukum terkait mahar politik, penjatuhan sanksi pidana dibutuhkan untuk memberikan efek jera kepada orang yang melakukan praktik politik uang. Hal tersebut juga harus dipertegas dengan memasukkan ketentuan tersebut ke dalam undang-undang tentang pemilu dan termasuk dalam kategori pidana pemilu. 

Sehingga penjatuhan sanksi tidak hanya diberikan kepada partai politik yang menerima, namun juga kepada individu yang memberikan uang mahar politik tersebut. Selain dapat merusak demokrasi, praktik mahar politik dalam pilkada juga berdampak buruk terhadap pembangunan di daerah. 

Misalnya biaya yang terlampau tinggi akan berdampak pada kemungkinan tindak korupsi yang lebih besar. Kebijakan-kebijakan yang diambil juga tidak mengarah kepada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Lalu pembangunan yang tidak tepat sasaran, dan berbagai permasalahan lainnya.

Mahar politik juga berdampak terhadap kemjauan pembangunan di daerah. Karena adanya politik uang, maka ketika terpilih mereka tidak lagi memiliki kewajiban moral. Kebijakan-kebijakan yang diambil cenderung tidak berpihak kepada rakyat. Atas dasar kemampuan financial dan kekuatan kapital ekonomi, 

maka yang dapat masuk dalam bursa kepemimpinan daerah bukanlah figur-figur yang berkompeten yang memiliki kapabilitas yang baik, akan tetapi hanya mereka yang termasuk dalam kelompok orang kaya atau memiliki kemampuan financial yang kuat. Akhirnya pemimpin yang dihasilkan belum tentu benar-benar mengetahui seluk-beluk dan permasalahan di daerah. Yang berdampak arah kebijakan yang tidak tepat sasaran.

Penyalahgunaan wewenang dikarenakan politik balas budi dapat menyebabkan praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) semakin marak. Tentu ini berakibat pada pembangunan daerah yang tidak tepat sasaran sehingga merugikan keuangan negara, menyebabkan berkurangnya anggaran pembangunan, terlambatnya pembangunan fasilititas umum, dan merosotnya ekonomi di daerah. 

Penyalahgunaan wewenang merupakan masalah klasik yang terjadi di Indonesia. Penyalahgunaan wewenang terjadi dikarenakan Kepala Daerah memiliki kewenangan istimewa yaitu legalitas untuk mengeluarkan kebijakan tertentu misalnya Keputusan Gubernur, Bupati/ Walikota atau berbentuk Peraturan Daerah dan/ atau Peraturan Kepala Daerah yang biasanya menjadikan mereka dapat bekerja sama dengan kawan/kelompok maupun dengan keluarganya.

Keberpihakan kepada kroni dan kelompok elite bisnis akan terlihat dari proses pengambilan keputusan dan berbagai produk kebijakan yang ditempuh. Sehingga janji politik sporadis yang disampaikan ketika kampanye berlangsung dan sederet kontrak politik dengan rakyat yang telah dibuat terabaikan. Sehingga yang terlihat hanyalah balas budi politik antar sesama mereka dalam poros koalisi koalisi jahat yang bertopeng humanisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun