Persoalan mahar politik merupakan salah satu yang membuat proses pencalonan membutuhkan waktu yang cukup lama, banyak partai yang mengambil injury time untuk mendaftar ke KPU yang sebenarnya menyiratkan adanya tarik menarik seberapa besar "mahar" yang dikeluarkan dan bahkan ada calon yang batal dicalonkan di detik-detik terakhir.Â
Hal ini menjadi momentum yang penting untuk melihat bahwa ada persoalan serius dalam mekanisme pemilu yang membuat tarik menarik politik menguat yang ujungnya bisa menghadirkan praktik yang koruptif.
Kedua, mekanisme pemilihan calon kepala daerah di dalam partai yang seringkali sulit diawasi dan belum adanya transparansi karena bersifat internal atau sekedar formalitas belaka. Sehingga hal ini membuka peluang untuk adanya transaksi "jual-beli" antara para elit partai dengan bakal calon yang akan diusung oleh partai tersebut.Â
Ketiga, terkait dengan proses penentuan calon. Elektabilitas yang digaungkan atau menjadi sesuatu yang disyaratkan oleh partai hanya menjadi formalitas dan hanya menjadi faktor kecil penilaian. Bahkan Calon yang tidak mendaftar penjaringan ataupun tidak mengikuti fit and proper test mendapat restu dari partai. Dengan kata lain tidak mengikuti proses dari akar rumput, tetapi langsung menggunting di pucuk.
Dari peraturan-peraturan yang disebutkan, maka sudah jelas bahwa mahar politik merupakan sesuatu yang dilarang. Di UU Pilkada disebutkan bahwa bakal calon kepala daerah dilarang memberikan materi atau imbalan kepada partai. Partai juga dilarang menerima imbalan.Â
Namun faktanya, sulit mengungkap praktik pemberian uang atau barang antara bakal calon dengan partai politik. Praktik ini selalu saja terjadi di ruang-ruang yang sulit diakses pengawas pemilu, penegak hukum, atau aktor-aktor yang punya peran mengungkap ini.
Dalam ketentuan normatif, bisa dibenarkan pemberian uang dari bakal calon kepala daerah kepada partai, tapi pemberian itu sifatnya sumbangan dari orang ketiga kepada partai. Itu perbuatan yang sah menurut UU Partai Politik. Tetapi terdapat ketentuan harus ikuti batasan sumbangan yang diperbolehkan.Â
Kedua, harus dicatatakan dan dilaporkan oleh partai. Jadi, partai memang perlu sumbangan dari pihak ketiga untuk kegiatan operasional partai dan kegiatan kampanye, tapi dicatat dan harus transparan. Dalam banyak kasus tidak dicatat dan tidak transparan. Hal ini yang menyulitkan dalam hal pembuktian dan penegakkan hukum, karena terjadi di ruang gelap yang sulit dijangkau.
Dalam penegakkan hukum terkait mahar politik, penjatuhan sanksi pidana dibutuhkan untuk memberikan efek jera kepada orang yang melakukan praktik politik uang. Hal tersebut juga harus dipertegas dengan memasukkan ketentuan tersebut ke dalam undang-undang tentang pemilu dan termasuk dalam kategori pidana pemilu.Â
Sehingga penjatuhan sanksi tidak hanya diberikan kepada partai politik yang menerima, namun juga kepada individu yang memberikan uang mahar politik tersebut. Selain dapat merusak demokrasi, praktik mahar politik dalam pilkada juga berdampak buruk terhadap pembangunan di daerah.Â
Misalnya biaya yang terlampau tinggi akan berdampak pada kemungkinan tindak korupsi yang lebih besar. Kebijakan-kebijakan yang diambil juga tidak mengarah kepada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Lalu pembangunan yang tidak tepat sasaran, dan berbagai permasalahan lainnya.