Mohon tunggu...
Mirza Bashiruddin Ahmad
Mirza Bashiruddin Ahmad Mohon Tunggu... -

my friend said that i'm a dreamer and then i said that i'm not the only one

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Orang Tua Kita Itu Semaunya Sendiri

1 Maret 2012   06:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:42 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignnone" width="414" caption="anak mengeluarkan pendapat adalah hal yang wajar, bahkan PERLU.."][/caption] Ketika kita berusia 14-19 tahun tentu kita mengalami sebuah masa transisi dewasa, proses perubahan psikis dan kognitif kita akan mengalami benturan-benturan dalam jiwa jika kemauan, kemampuan kita tidak dapat tersalurkan dan dipenuhi, hal ini merupakan hal yang wajar. Perubahan jiwa yang wajar ini akan berubah ke arah negatif jika orang tua tidak mampu mengerti kemauan dan kemampuan anak. Beberapa orang tua akan menganggap anak tidak lagi “berbakti” ketika sang anak mulai berani membantah pendapat mereka. Mereka berharap sang anak akan kembali “berbakti” seperti pada usia anak-anak atau remaja.

Kesalahan orang tua yang umum dilakukan ketika anak dalam proses pendewasaan diri adalah pemberian label “nakal” atau “pembangkang”. Pemberian label ini merupakan kesalahan awal yang akan memicu untuk melakukan kesalahan yang selanjutnya. Orang tua akan cenderung marah ketika pendapat mereka disangkal oleh sang anak. Padahal sang anak berusaha mengeluarkan pendapat pribadinya. Missed Communication yang terjadi pada Orang Tua – Anak ataupun sebaliknya merupakan hal yang lumrah terjadi namun akan menjadi besar ketika orang tua membiarkan sang anak melakukan “eksperimen diluar kendali” seperti mengalihkan egonya ke arah hal yang negatif seperti ikut-ikutan merokok, nyimeng atau bahkan yang lebih ekstrim kecanduan narkoba. Hal ini berpeluang besar terjadi ketika sang anak ketika masa kecil tidak diberi penguatan norma agama maupun sosial, apalagi emosi anak usia 14-19 merupakan usia emosi labil, tak salah jika ada istilah ABABIL (ABG LABIL). Karakteristik stereotip pada ababil adalah mudah mengambil keputusan dalam keadaan emosi dan berani mengambil resiko. Peran orang tua yang dibutuhkan disini adalah kemampuan mengcover setiap perilaku anak, mengamati perubahan perilaku, memberikan sugesti positif atau semacam warning yang membangun dan tidak serta merta memarahi, melabeli dan memberikan pernyataan negatif seputar tingkah laku anak.

Kebutuhan utama yang paling penting bagi ababil adalah adanya orang yang mampu memahami apa yang sedang terjadi pada dirinya, dan orang yang diharapkan mampu mengerti akan dirinya adalah orang tuanya. Memang berat tugas orang tua zaman sekarang jika ingin anaknya menjadi anak yang sesuai dengan apa yang diharapkan dan mampu menang di tengah persaingan global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun