Banyak yang dianggap oleh manusia mutlak adalah satu sisi benda. Pada saat yang sama juga, ada sisi lain yang menyertai. Tak mudah memang, menerima bahwasanya apa yang selama ini kita naggap dan kita pahami adalah sebuah kecenderungan untuk menutup mata dari dua sisi benda. kita hanya terlalu senang mneyangkal atas apa yang sudah menjadi kehendak pasti Sang Kuasa. Hanya menganggap tidak penting atas apa yang tidak kita inginkan. Laksana koin yang selalu punya dua sisi, hal-hal yang berlaku dalam hidup kita pun tidak akan terlepas dari itu.
Mari bicara sedikit merunduk. apa yang kita anggap sebagai makanan enak tak selamanya benar-benar enak. Mau tidak mau, saat yang sama akan ada orang yang mengatakan makann tersebut tidak enak. Generalisasi (anggapan umum) terhadap satu hal apalagi hal tersebut adalah kata sifat, seringkali membawa kita pada kontradiksi atau pertentangan sederhana. Sifat enak di lidah satu orang, bisa jadi akan sangat bertentangan dengan sifat enak di lidah orang lain. Orang lain tidak salah, lidah kita juga tidak salah. Kendaraan yang menurut orang lain memiliki suspensi bagus dan empuk, belum tentu akan bernialai sama ketika diri kita yang menaikinya. Apakah kendaraannya berbeda? jwabannya adalah tidak.
Hal-hal yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak belakangan ini seringkali mengundang decak. entah decak kagum atau decak keraguan. Ada yang menganggap kepentingan orang banyak tak seharusnya dibahas dengan satu sudut pandang (baca: urusan SARA), tetapi ada juga yang menganggap sebaliknya. Kepentingan bersama di sebuah negara seharusnya tidak pernah lepas dari satu sudut pandang. karena akan dirasa sedikit mustahil apabila kita menghendaki berbagai lapisan orang dengan berbagai keragaman akan hidup baik-baik saja dan tenang. Hajat hidup orang banyak akan selalu memicu keinginan dominasi dan menuntut prioritas.
Ajaibnya, ada beberapa gelintir orang yang kemudian memaksakan untuk menghilangkan dualisme ini. Ada individu-individu yang menganggap bahwa ada satu dua hal di dunia ini yang akan bernilai mutlak dan pasti. yaitu hanya pada satu sisi saja. lantas, apakah hal ini dapat dianggap pantas? padahal sudah sangat-sangat jelas tidak ada didunia ini yang berjalan tanpa ada dualisme didalam pelaksanaannya. Apakah kemudian ornag tersebut memiliki semacam kekurangan atau bahkan gangguan pemikiran? Tentu saja kita tidak bisa seenaknya mengatakan hal semacam itu.
Mari ambil salah satu yang sedang berkembang hangat dalam lingkungan kita. Agama. ya, itu adalah sebuah pembahasan yang tidak pernah akan selesai tanpa perdebatan dan saling tuding. Bagaimana tidak, setiap agam mempunyai ciri khas ajaran yang biasa dipanggil dengan istilah 'Dogma'. sedangkan dalam pembahasan dogma ini, tidak jarang tiap-tiap dogma saling bersinggungan dan membuat irisan satu sama lain. contoh dogma ini seperti nama Nabi, nama Tuhan, cara hidup, cara mati, kehidupan setelah mati, dan sebagainya.
irisan-irisan dogma yang tidak ter-cover dengan sempurna dengan pemikiran lapang para pengikut agama akan sangat-sangat rawan berubah menjadi bom waktu. bagi beberapa orang, irisan dogma ini menjadi suatu celah pemersatu. sebuah irisan yang mampu menjadi peluang persatuan. di sisi lain, irisan dogma dianggap sebagai awal mula perpecahan, bibit perseteruan. Bom waktu yang bisa saja kita peihara tanpa harus diledakkan, atau juga bisa kita memilih untuk mengaktifkannya untuk menunggu waktu kehancuran bagi diri-diri kita. irisan dogma agama yang pada awalnya dianggap sebagai karunia, berubah menjadi kotak pandora, serta buah simalakama.
Manakah kemudian yang akan membawa kita untuk berfikir lagi. Apakah hanya sebatas pada satu nilai, atau pada kemajemukan? Apakah kita mencari pembenaran, dibandingkan dengan pengertian dan pemahaman?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H