Mohon tunggu...
Muhammad Mirza Ayatulloh
Muhammad Mirza Ayatulloh Mohon Tunggu... Freelancer - Ordinary person

pengemis Ilmu

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Gangguan Jiwa

12 Maret 2014   05:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:02 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terdengar seram saat mendengar tentang istilah gangguan kejiwaan. Terbayang berbagai hal tentang orang dengan baju lusuh, robek-robek, dan seringai yang kadang tidak jelas, berjalan-jalan di pinggir-pinggir jalan. Atau terbayang bangsal-bangsal rumah sakit yang bewarna putih dan terlihat orang-orang yang sibuk dengan hayalan masing-masing.

Tapi, apakah benar yang saya pahami tentang isitilah gangguan jiwa itu? Ternyata, yang saya pahami selama ini salah. Bila melihat dalam buku diagnosis gangguan jiwa karangan Dr. Rusdi Maslim, gangguan jiwa diartikan sebagai suatu pola perilaku atau psikologik seseorang yang mengalami disorder. Gangguan kinerja dalam peran sosial dan pekerjaan tidak selalu dapat digunakan untuk dasar untuk diagnosis gangguan jiwa, karena ada pertimbangan sosial dan budaya di lingkungannya.

Kalu begitu, bagaimana dengan anggapan awal tadi, bahwa orang dengan gangguan jiwa adalah sama. Berjalan-jalan dengan ‘seragam’khas, tidak mandi, dan kadang mengganggu orang lewat?

Gangguan jiwa ternyata seperti halnya sakit fisik lainnya. Mempunyai tingkatan tertentu dan ada penggolongan tersendiri. Namun, ada sedikit perbedaan dengan sakit fisik pada umumnya, gangguan jiwa ini bisa dikatakan sulit dideteksi dengan pasti, apakah parah, sedang, atau bahkan tidak tertolong. Ada kalanya, saat gangguan jiwa itu muncul, hanya dibutuhkan beberapa jam saja untuk kembali normal seperti sedia kala.

Saya pernah menemui suatu kasus, seorang suami yang ‘kambuh’ bila melihat sang istri. Si suami terlihat sangat dendam dan berniat untuk membunuh sang istri saat itu juga. Tetapi bila ia tidak melihat sang istri, ia akan bersikap normal, kepada anak, maupun kepada anggota keluarga yang lain. akhirnya, si suami dibawa kepada pihak yang ‘berwenang’ untuk didiagnosa.

Hasilnya, sang istri harus dijauhkan untuk sementara dari si suami untuk kepentingan perawatan. Diagnosa yang muncul, bahwa si suami ini selama pernikahan (atau bahkan sebelumnya) mengalami tekanan batin yang cukup kuat. Dan inilah akibatnya, si suami mengalami mental disorder sekarang. Tetapi menurut keluarga penderita, tidak ada gejala-gejala bahwa dia tertekan sebelumnya.

Sekarang, si suami ini tinggal bersama keluarganya, tidak diperbolehkan bekerja, hanya berjalan jalan saja disekitar rumah.Dalam kasus ini, dokter mengatakan, harus segera dilakukan tahap-tahap pengobatan. Supaya diketahui apa penyebab perilakunya dan diusahakan agar beliau bisa sembuh seperti sedia kala.

Saya sempat bertanya, apakah ada kemungkinan ini menurun kepada anak-anaknya nanti. Dan jawabana yang saya dapatkan adalah iya. Ada kemungkinan penyakit ini dapat menurun pada anak-anaknya.

Ternyata ini hamper sama dengan yang saya jumpai di buku Pengantar Psikologi klinis karangan Sutardjo A. wiramihardja, bahwasanya memang ada kemungkinan gangguan jiwa seperti ini menurun secara genetika. Tetapi, tidak ada jaminan pasti mengenai ini. Yang ada hanyalah kecenderungan (predisposing). Kecenderungan ini bisa terwujud menjadi suatu gangguan bila didukung oleh factor situasi lingkungan disekitar. bahkan, orang tanpa kecenderungan bila terus menerus pada kondisi lingkungan yang menekan, bisa saja mengalami gangguan jiwa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun