Mohon tunggu...
Muhammad Mirza Ayatulloh
Muhammad Mirza Ayatulloh Mohon Tunggu... Freelancer - Ordinary person

pengemis Ilmu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nyaman dan Bahagia

19 Juni 2014   12:31 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:09 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

jalan hidup tak pernah mudah, tak sesederhana saat kita mengatakan kata 'Hidup'.

tak pernah mudah, karena akan sangat berliku dan banyak halangan. liku berupa rambu-rambu takdir di depan mata, halangan berupa keinginan diri dan orang lain. setir pada diri akan sangat sulit untuk diarahkan, sekali tergelincir, bisa selamanya tersesat.

takdir adalah garis ajaib dalam hidup kita yang dibuat istimewa oleh Tuhan. sebuah alur khusus yang ditentukan secara fleksibel oleh Tuhan. sebuah jalan yang dipenuhi rambu-rambu khas dari Tuhan.

dalam menjalani hidup yang singkat, perlukah kita tahu bagaimana jalan takdir kita? lebih baik mengetahuinya atau lebih baik tidak tahu selamanya?

saat kita tahu sesuatu, cenderung kita akan merubah hal tersebut, karena saat itu kita punya keinginan diri dan keinginan orang lain. perubahan itu memang bisa membawa pada sisi kanan ataupun sisi kiri, tak tentu.

begitulah dalam hidup kita ini juga, saat kita bertanya, akan hidup seperti apa? akan melukis nasib seperti apa? kita akan dipenuhi dengan ambisi-ambisi besar tentang hidup, mewah? berkecukupan?

Seakan-akan kita berhak menentukan itu semua. lantas, Berhak-kah kita?

saat kita memilih sesuatu, tapi ada pilihan, Nyaman atau Bahagia? kita akan memilih mana?

saat kembali pada falsafah hidup yang sering dibicarakan orang dikalangan bawah, lingkup warung kecil, pedagang asongan, tukang becak, mahasiswa, bahwa hidup itu 'mung mampir ngombe' (hanya mampir minum), kita akan dibawa pada falsafah yang sederhana namun tegas.

mampir minum, hanya mampir, kenapa tak minum sekalian bannyak, untuk persediaan. kurang lebih itulah gambaran kecilnya. maka saat kita diharuskan memilih, akan mengatakan, kalu bisa cari yang  Nyaman dan Bahagia.

lalu, apakah kita tidak egois punya falsafah kata 'dan' seperti itu?

apakah kita tidak terlalu muluk-muluk? tidak menerima apa adanya?terlalu berharap banyak?

terlalu  Idealis? tidak Realistis?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun