Publik tersentak oleh aksi penyerangan dan peledakan bom oleh kelompok ekstrimis di jantung kota Jakarta, Kamis (14/1) lalu. Walaupun secara kuantitas aksi tersebut tidak menelan korban nyawa, cedera, dan kerugian materi yang banyak, namun aksi tersebut tetaplah mengguncang psikologis masyarakat Indonesia pada umumnya dan warga Jakarta pada khususnya. Aksi terorisme tersebut kuat dugaan dilakukan oleh kelompok radikal yang berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah atau lebih dikenal dengan sebutan ISIS (Kompas, 15/1/2016).
Setelah lebih dari setahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kala (JK), dimana pemerintah lebih memfokuskan pada wacana stabilitas politik parlemen dan pembangunan infrastruktur. Isu keamanan negara dan warga negara yang dulu sempat terpinggirkan, sekarang kembali mengambil porsi pemberitaan dibeberapa media masa. Publik mendesak pemerintah untuk kembali ‘membaca ulang’ fenomena terorisme di Indonesia.
Gagal ‘Membaca’ Terorisme
Sejak awal periode reformasi, pemerintah sudah banyak menghasilkan produk-produk hukum yang bertujuan untuk memberantas dan mencegah pergerakan paham terorisme. Undang-Undang (UU) ‘kembar’ tentang terorisme, (walaupun tidak dibuat dalam waktu yang bersamaan), UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, telah memberi alas hukum pencegahan dan pemberantasan terorisme di Indonesia. Adapun alasan filosofis dari dikeluarkannya UU Nomor 9 Tahun 2013 sejatinya berasal dari urgensi untuk menyeimbangkan antara aspek pemberantasan dengan pencegahan, atau membuka katup berkarat antara ‘hulu’ dan ‘hilir’ dalam penanganan isu terorisme.
Namun kedua UU diatas tetap alpa dalam mencandra sumber sel-sel terorisme dimasyarakat. Alih-alih berperan sebagai mekanisme preventif terhadap aksi terorisme, kedua UU yang dijalankan oleh aparat hukum (kepolisian), malah kerap hanya menjadi ‘pemadam kebakaran’. Aparat hukum dan keamanan juga cenderung reaktif dalam mensikapi aksi terorisme, Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu dengan tegas menyatakan bahwa hanya program Bela Negara yang dapat menangkal paham terorisme di Indonesia (Detik, 17/1/2016). Selain itu, Ketua Badan Intelijen Nasional (BIN), Sutiyoso juga meminta pemerintah untuk menambah kewenangan BIN untuk melakukan penangkapan dan penahanan tersangka terorisme (Kompas, 17/1/2016). Penulis tidak setuju dengan wacana diatas. Wacana represif-otoritarian yang alih-alih dapat menentramkan suasana kebathinan negara, malah dapat menikam denyut jantung demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Pendekatan yang lebih humanis adalah dengan pendekatan kebijakan strukturalis yang beraras pada prinsip negara hukum dan HAM.
Pembatasan HAM
Postulat dasar dari HAM adalah ekspresi kebebasan yang diatur dan dijamin oleh UU negara. Namun kebebasan sendiri tidaklah selalu bersifat mutlak, namun kontekstual dan terkadang politis. Dalam konteks pencegahan penyebaran paham terorisme, wacana untuk membatasi kebebasan berserikat dan berkumpul dalam suatu organisasi kemasyarakat (ormas) menemukan relevansinya. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo menyatakan telah mengeluarkan instruksi untuk memantau kegiatan ormas-ormas yang dinilai meresahkan masyarakat (CNN Indonesia, 18/1/2016).
Kebebasan berserikat dan berkumpul yang terpatri dalam rumusan Pasal 28E ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan alas hukum pembentukan ormas di Indonesia. Norma konstitusi tersebut kemudian dirumuskan dalam materi UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Namun sebagaimana disebut diatas, kebebasan dalam HAM tidaklah bersifat absolut, tapi juga mengenal pembatasan-pembatasan. Tujuan dari pembatasan tersebut adalah untuk menciptakan kebebasan yang bertanggung jawab, karena kebebasan yang tanpa arah akan berujung tirani dan kesewenangan. Hal ini berkesesuaian dengan adagium; “batasan dari hak seorang individu adalah hak individu lain”.
UU Ormas dalam Pasal 1, 2 dan 3 menyebutkan secara eksplisit bahwa materi kegiatan ormas tidak boleh melenceng dari garis ideologi Pancasila dan UUD 1945. Dengan kata lain, ada kepentingan yang lebih besar dibanding dengan kebebasan berserikat dan berkumpul, yakni kepentingan bangsa dan negara secara umum. Negara dan pemerintah memiliki kepentingan luhur untuk menjamin visi dan misi bernegara berjalan sesuai arahan Pancasila dan konstitusi negara. Lebih khusus negara bertanggung jawab terhadap keselamatan dan rasa aman tiap-tiap warga negaranya.
Ormas-ormas yang dicurigai menjadi ‘rahim’ gerakan radikalisme hendaknya terus dibina, dipantau dan diawasi secara persuasif oleh pemerintah. Pengawasan persuasif tersebut bukanlah ekspresi otoritarian dengan turut campurnya negara dalam dinamika perserikatan masyarakat, namun bertujuan untuk menjaga kepentingan nasional dan HAM yang lebih luas. Kebebasan dan hak dalam instrumen hukum HAM tidaklah berdiri sendiri-sendiri, namun saling berkelindan satu sama lain. Oleh karenanya pembacaan terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul, harus diimbangi dengan pemahaman secara komprehensif tentang hak-hak warga negara terhadap rasa aman, yang merupakan turunan dari hak untuk hidup (the right to life). Hak untuk hidup adalah hak yang tidak bisa ditawar (non-derogable right), karena bersifat esensial bagi manusia. Menurut Pitchard (2010), turunan dari hak untuk hidup adalah: kebebasan dari rasa takut (the right to be free from fear), kebebasan dari penyiksaan yang tidak berperikemanusian (the right to be free from torture and other inhumane or degrading treatment or punishment) dan kebebasan dari perbudakan (the right to be free from slavery or servitude). Lewat deskripsi diatas, tergambar bahwa kebebasan dari rasa takut lebih esensial daripada hak berkumpul dan berserikat. Dengan kata lain, ormas yang merupakan realisasi dari hak berkumpul dan berserikat harus mampu menjamin terpenuhinya hak-hak esensial diatas.
Norma-norma HAM Internasional tersebut sudah diadopsi baik dalam tataran konstitusi maupun dalam UU. Pasal 28G ayat 1, UUD 1945 menyebutkan bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, keluarga, martabat dan harta benda dibawah pengawasannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat maupun tidak berbuat yang merupakan hak asasi.” Selain itu Pasal 29 ayat 1, Pasal 30 dan Pasal 35 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM juga menyebutkan hal yang senada.
Ikhtiar untuk membatasi kebebasan berkumpul dan berserikat yang terekspresikan dalam pendirian ormas-ormas hendaknya dimaknai sebagai ikhtiar untuk menjaga nilai kebebasan itu sendiri dan mengembalikan fungsi ormas sebagai penabur benih demokrasi di tanah air. Akhirnya, kita patuh menginsyafi bahwa masa depan bangsa Indonesia, ditentukan oleh pikiran dan pena, bukan oleh radikalisme, oleh kebersamaan dan pengakuan keberagaman bukan ekslusivisme, dan oleh pemahaman kritis bukan kejumudan akal dan aksi teror. Sungguh kedamaian negeri ini sangat berharga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H