Mohon tunggu...
Mirza Buana
Mirza Buana Mohon Tunggu... PNS Dosen -

menulis untuk mengekpresikan pikiran dan berbagi perspektif

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Marhaban Kenaikan Harga BBM

27 Oktober 2014   19:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:33 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik Indonesia memang ‘seksi’.  Bagaimana tidak, di Indonesia, atas nama politik, isu tidak penting sampai strategik bisa ‘digoreng’ dengan cepat oleh publik dan media.  Beberapa hari lalu, isu pengumuman kabinet pemerintahan memanas. Opini dan komentar berhamburan mempertanyakan kapan Jokowi dan JK mengumumkan kabinetnya. Komentar-komentar pedas yang beberapa terkesan irrasional tersebut bahkan dilengkapi dengan analisa konspiratif yang cenderung dipaksanakan.

Kemaren sore publik sudah dipuaskan oleh pengumuman kabinet kerja pemerintahan Jokowi dan JK. Tapi jelas ‘penggorengan’ politik tidak akan berhenti begitu saja.  Selama 5 tahun pemerintahan Jokowi dan JK kedepan, kita akan dipuaskan (bahkan sampai dibikin mual) dengan pemberitaan media dan komentar-komentar skeptis dan kritis (bahkan fitnah) dijejaring online. Tapi itulah manifestasi demokrasi yang patut kita sukuri. Suatu kebijakan harus selalu diikuti dengan kritik.

Isu yang pasti akan memanas dalam beberapa hari kedepan adalah kenaikan harga BBM yang memang sudah dicanangkan jauh-jauh hari oleh pemerintah Jokowi dan JK. ‘Pil pahit’ kenaikan BBM memang harus segera ditelan oleh pemerintah baru ini. Tiada guna untuk dihindari. Dimana sebelumnya pemerintahan populis SBY sudah terang-terangan menolak untuk menaikkan harga BBM. Mau bagaimana lagi, pil pahit harus segera ditelan dengan segala konsekwensinya.

Tulisan ini tidak bermaksud menganalisis kenaikan harga BBM lewat optik ilmu ekonomi, karena hal tersebut diluar kompetensi keilmuan saya. Tulisan ini hanya ingin memaparkan analisa sederhana khas orang awam tentang kenaikan BBM.

Kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat haruslah menjadi prioritas pemerintah. Namun tentu hal tersebut tidaklah semudah membalik telapak tangan atau semudah para dosen berceramah di ruang kuliah. Pencapaian perlu kerja keras, ikhtiar dan tentu pengorbanan.

Salah satu pengorbanan yang mau tidak mau harus diterima adalah kenaikan harga BBM. Tidak bisa dinafikankan, kebijakan tersebut pasti akan berdampak masif terhadap masyarakat terutama kaum marginal di Indonesia, terutama diawal tiga bulan kedepan.

Untuk melawan friksi negatif tersebut, pemerintah harus siap dengan penanganan yang cepat dan tepat. Salah satunya adalah dengan mengeluarkan regulasi yang tepat dan ketat dalam bidang distribusi BBM. Ada dua hal yang menjadi konsen saya yakni, pemberantasan mafia migas dan kebijakan affirmative action.

Lewat pengamatan saya sehari-hari, sewaktu masih tinggal di pulau penghasil minyak, Kalimantan. Masalah utama BBM adalah distribusi. Rakyat tidak komplen dengan harga BBM, tapi rakyat nelangsa dengan langkanya BBM. Masalah sebenarnya ada didepan mata kita. Semisal, bagaimana mungkin daerah penghasil minyak (contoh Kalimantan Timur) bisa kekurangan pasokan minyak dan rakyat antri berjam-jam lamanya di SPBU. Hal yang secara logika sederhana pun susah dicari alasan logisnya. Reformasi atau mungkin revolusi perlu dilakukan disektor distribusi dan pengadaan BBM di semua daerah (bahkan sampai daerah-daerah terpencil) di Indonesia. Praktek mafia migas sudah sangat parah di Indonesia. Bisnis haram ini dimainkan tidak hanya oleh oknum pejabat negara, namun juga didukung oleh oknum penegak hukum, keamanan sampai masyarakat sekitar. Budaya korupsi sudah sangat permisif di Indonesia.

Pemerintah Jokowi dan JK harus siap ‘berjihad’ melawan mafis-mafia migas di seluruh wilayah Indonesia. Prasyarat pertama adalah dengan mengaktifkan sistem penegakan hukum yang profesional dan bersih. Sudah saatnya hukum kembali panglima, setelah sekian lama tertidur pulas dibawah dekapan mesra kepentingan politik dan ekonomi.

Kebijakan berbasis affirmative action atau sering juga disebut sebagai ‘diskriminasi positif’ perlu segera dilakukan mengikuti kebijakan kenaikan harga BBM. Kebijakan affirmative action harus memberi keistimewaan atau pengecualian kepada golongan masyarakat tertentu yang secara sosial-kultural termarginalkan oleh sistem dan kebijakan tersebut. Semisal, nelayan harus tetap mendapatkan harga diesel yang lebih murah ketimbang untuk kepentingan perusahaan. Industri-industri kecil juga harus mendapat ‘diskriminasi’ dalam hal pengadaan BBM guna menunjang produktifitas mereka. Selain itu pemerintah juga harus dapat memastikan pengguna mobil-mobil mewah di kota-kota besar di Indonesia memberi 'subsidi' silang dengan memberi harga BBM lebih tinggi dari harga normal guna menunjang sektor strategis dan produktif lainnya.

Akhirnya, ‘pil pahit’ memang harus ditelan. Namun percayalah keadaan tidak akan seburuk kegoncangan ekonomi diawal masa kemerdekaan. Nenek saya kerap bercerita tentang bagaimana nelangsanya masa itu. Namun toh, masyarakat tetap memuji-muji Soekarno, bukan karena fanatik buta, tapi semata karena mereka tahu bahwa pemimpin mereka tidak akan meninggalkan rakyatnya. Dalam konteks kekinian pun sama, masyarakat pada umumnya tahu bahwa pemimpin mereka, Jokowi, JK dan para menteri-menterinya bekerja keras untuk rakyatnya. Dengan demikian, tidak perlu kita ragu untuk berkata: Marhaban kenaikan harga BBM.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun