Mohon tunggu...
Mirza Buana
Mirza Buana Mohon Tunggu... PNS Dosen -

menulis untuk mengekpresikan pikiran dan berbagi perspektif

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru dan Dosa-Dosa Kita

29 November 2014   23:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:30 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Gino datang, Gino datang…Gino…Gino!” Yel-yel bernada hinaan itu sering terngiang dikepala saya, bahkan setelah beberapa puluhan tahun berlalu. Kenangan itu terbesit, terutama sekali bila saya melewati SMP 1 Banjarmasin, sekolah saya puluhan tahun lalu. Sewaktu pulang ke Banjarmasin, akhir tahun 2013 lalu, saya dan istri menyempatkan makan mie ayam kesukaan kami, disamping sekolah kami dulu. Bangunan sekolah masih seperti dulu, hanya dengan cat dan dekorasi yang berbeda. Sekolah yang menyimpang segala kenangan banal masa muda.

Kalimat ejekan tersebut diberikan bukan untuk kawan sekelas, namun parahnya untuk seorang bapak guru Bahasa Indonesia. Saya lupa nama asli beliau. Yang jelas beliau bersuku Jawa, berpostur tinggi, kurus dan (maaf) gigi beliau agak maju kedepan.

Teman-teman dikelas II.d terutama yang bernama Dani (ya, saya masih ingat dengan teman ini, salah satu murid yang terkenal nakal) paling suka mengejek-ngejek beliau dengan sebutan ‘Gino’, kependekan dari (maaf) Gigi Nongol. Setiap kali beliau masuk kelas. Teman-teman sekelas, dikomandani oleh Dani selalu berteriak nyaring; “Gino datang…Gino datang!”  Beliau berjalan gontai dari kantor guru menuju kelas kami. Saya dapat melihat ada sebersit rasa kesal, marah dan kecewa diwajah beliau. Bagiamana tidak kecewa dan sakit hati, alih-alih dihormati oleh murid-muridnya, bapak Gino malah dihina dan lecehkan oleh murid-murid beliau sendiri.

Dalam suatu kesempatan reuni SMP, saya pernah bercanda dengan Dani tentang kenakalan dia, dan juga kenakalan kami kepada Bapak Gino. Dani terlihat menyesal pernah menghina dan mengajak teman-teman sekelas untuk turut serta menghina beliau. “Bila ada kesempatan, ingin ku ketemu beliau dan meminta maaf”, Dani berkata dengan sungguh-sungguh. Puluhan tahun sudah berlalu, Bapak Gino sudah pindah dari SMP 1 dan keberadaannya tidak diketahui lagi, mungkin sudah balik ke Pulau Jawa atau mungkin sudah pensiun. Tiada yang tahu keberadaan beliau.

Lepas masa SMP, memasuki masa remaja di SMA, budaya bullying masih saja terasa, bahkan semakin parah.  Budaya bullying memang sudah parah di Indonesia. Tidak hanya sesama murid saling hina dan hantam, sampai guru pun tidak luput dari sasaran bullying. Dimasa SMA saya menggemari mata pelajaran Sejarah dan Bahasa Inggris. Dua mata pelajaran yang diampu oleh dua ibu guru yang sangat baik, ramah dan pintar. Namun kedua-duanya memiliki kesamaan, sama-sama belum berkeluarga (single) walau sudah berusia dewasa (lebih dari 30 tahun). Ibu guru Bahasa Inggris lebih beruntung memiliki wajah yang rupawan. Ibu guru Sejarah bernasib kurang baik. Sama seperti Bapak Gino, beliau memiliki kekurangan (maaf) dibagian mulut beliau. Ibu guru tersebut, yang saya juga lupa nama aslinya siapa, kerap memakai jilbab panjang sedada berwarna gelap, berkulit coklat, bertubuh tinggi dan kurus. Tampilan fisik tersebut memberi ide ejekan kepada beberapa murid-murid nakal dikelas saya untuk menjuluki beliau; Ibu Vampire.

Kali ini saya bersyukur tidak ikut-ikutan menghina dan mengejek beliau. Saya merasa ibu guru Sejarah tersebut tidak pantas dihina. Berbeda dengan Bapak Gino, yang memang memiliki karakter keras. Ibu guru Sejarah sangat baik, dan ramah terhadap murid-murid beliau. Beliau adalah orang pertama yang membuat saya tertarik belajar Ilmu Sejarah dan yang mendorong saya untuk masuk kelas penjurusan IPS di kelas III.

Ada rasa risih, malu dan juga marah, ketika mendengar teman-teman sekelas menggunjingkan kekurangan fisik beliau. Bahkan ada satu teman (saya lupa siapa) yang berani menghina beliau dengan berteriak nyaring; ‘”vampire!’”, setelah beliau keluar dari ruangan kelas. Pernah saya mendapati beliau, diruangan perpustakaan, setelah selesai kelas Sejarah, menangis tersedu dimeja baca.  Saya dapat merasakan kegetiran yang dirasakan ibu guru Sejarah. Ingin rasanya hati menemui dan menghibur beliau, namun rasa sungkan menjauhkan saya dari beliau. Saya dari kejauhan hanya mengamati beliau. Sosok guru yang saya hormati, dihina dan dilecehkan oleh muridnya sendiri.

Lain halnya dengan ibu guru Bahasa Inggris yang rupawan. Bullying tidak diekpresikan secara langsung, namun hanya lewat gunjingan teman-teman lelaki. Kami para lelaki sering berkumpul hanya untuk membicarakan masalah pacar, kisah-kisah PDKT, dan tentunya imajinasi seks. Sebagai remaja tangguh, saya rasa hal tersebut adalah hal yang wajar. Namun pergunjingan menjurus ke topik yang tidak patut yakni tentang ibu guru Bahasa Inggris. Saya mendengar ada beberapa teman lelaki yang menggunjingkan kenapa ibu guru tersebut belum menikah, padahal beliau tergolong cantik. Lebih jauh mereka menggunjingkan (lebih tepatnya berfantasi) tentang (maaf) bentuk payudara dan bokong beliau. Lebih jauh bahkan ada yang berfantasi (maaf) berhubungan seksual dengan beliau. Percakapan tentang hal tersebut, membuat saya muak. Ketika beberapa teman mulai menjurus kearah imajisasi liat dengan ibu guru tersebut, saya berusaha untuk tidak menanggapi dan berlalu pergi dari mereka. Hal tersebut tidak pantas keluar dari mulut orang-orang yang (katanya) terpelajar. Menghina dan melecehkan guru, sama halnya dengan menghina dan melecehkan orang tua sendiri. Sungguh perilaku yang cacat dan amoral.

Diinsyafi itulah potret buruk mentalitas anak-anak kita, ya mereka adalah penerus generasi masa depan bangsa ini! Mereka yang masih berbaju putih, bercelana pendek biru dan panjang abu-abu, secara biologis sudah akil baliq (dewasa), namun tidak secara mental dan spiritual. Kita sering alpa akan ‘bom waktu’ yang tertanam disanubari terdalam penerus bangsa kita.  Kita disini bermakna makro, menjurus kepada orangtua dan lingkungan sekolah. Kita terkadang lupa untuk membangun ‘jiwa-jiwa’ penerus bangsa, dan hanya sibuk mengakomodir pembangunan badaniahnya saja.  Kita sibuk memperhatikan, uang sakunya, apakah cukup untuk makan siang dan traktir pacar di kantin? Kita sibuk mencari uang, untuk memuaskan rengekan mereka akan sepada motor keluaran terbaru, atau bahkan mobil keluaran terbaru. Kita sibuk bekerja dan berkarier sehingga alpa akan kewajiban kita untuk memberi makanan ‘bathin’ buat anak-anak kita. Kebanyakan dari kita adalah ’busur panah’ yang mudah rapuh dan lapuk, tiada kesanggupan melesatkan ‘anak panah’ menuju atau setidaknya mengarahkan tujuannya. Semoga kita cepat intropeksi dan berbalik arah. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun