Mohon tunggu...
Mirza Muhajir
Mirza Muhajir Mohon Tunggu... Freelancer - Pemula

Young Geologist

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

The Science of Happiness

7 Agustus 2020   20:30 Diperbarui: 7 Agustus 2020   20:46 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan untuk mengikuti course online yang diadakan oleh Yale University melalui platform Coursera dengan topik "The Science of Happiness". Cukup menarik mengingat course ini membahas banyak hal terkait psikologi positif atau studi mengenai hal-hal yang membuat kita bahagia dan menerapkannya dalam kehidupan. Penasaran? Langsung aja deh cek rangkuman berikut:

1. THINGS WE THINK WILL MAKE US HAPPY (BUT DON'T)  

Kita mungkin terbiasa menginginkan hal-hal seperti pekerjaan dengan gaji yang tinggi, tubuh yang sempurna, pasangan yang cantik atau tampan, dan status sosial yang tinggi. Dan tentu saja, saya pribadi juga menginginkan hal itu, hehe. But the Crazy (and sad) thing is, the things the brain thinks it wants are usually not the things that end up making us happy. At least, not ini any sort of lasting way. Yap, our brain is a miswanting hooligan. Miswanting adalah konsep yang menjelaskan bahwa manusia kerap memiliki kekeliruan antara keinginan dan kebahagiaan di masa depan. Konsep ini diperkenalkan oleh Daniel Gilbert, Professor Psikologi dari Harvard dan Timothy Wilson, Professor Psikologi dari University of Virginia.

Semisal, kita menginginkan sebuah motor baru dan percaya bahwa itu akan membuat kita bahagia. Namun, ternyata kebahagiaan yang kita dapat justru tidak seperti apa yang kita bayangkan, malah tidak jarang kita menemukan masalah-masalah baru, misalnya pusing ketika harus berurusan dengan kredit sepeda motor tersebut. Membuktikan bahwa kita sering keliru tentang impian, ambisi, bahkan aspirasi kita sendiri.

2. WHAT ARE THE BIASES THAT CAUSED THESE? 
Professor Laurie Santos dari Yale University menjelaskan penyebab hal ini dalam istilah yang dia sebut sebagai "Annoying Features of Our Minds". 

  • ANNOYING FEATURES #1 
    Our minds' strongest intuitions are often not the ones we expect. Ya, intuisi terkuatmu seringkali salah. Most of the goals we  think will make us happy, don't really makes us happy.  Contoh sederhana, perhatikan gambar dibawah ini, sebagian orang akan menyebutkan bahwa garis disebelah kanan lebih panjang. Padahal, the length of the 2 lines are  exactly the same, Intuisimu salah hehe :) 

  • ANNOYING FEATURES #2
    Mind thinks in relative to reference point not absolute. That's why we compare with others. Otak kita menyerap titik referensi yang terekspos -tanpa pandang bulu. Jadi, ketika kita melihat model di Instagram atau orang-orang super kaya di TV, tanpa sadar itu menjadi poin referensi kita, tidak peduli seberapa konyol perbandingannya. Nyatanya, sosial media memang menjadi sumber point referensi yang acap kali membangkitkan fitur menyebalkan nomor 2 ini. Various studies have found that the effect of social media in terms of social comparisons ranges from neutral to bad, but never positive. So, hati-hati jangan sampai kamu terjebak dalam kasus seperti ini.
  • ANNOYING FEATURES #3
    Our minds are built to get used to stuff, atau bisa juga disebut dengan istilah Hedonic Adaptation. Proses menjadi terbiasa dengan stimulus
    positif atau negatif sedemikian rupa sehingga efek emosional dari stimulus itu menjadi lemah dari waktu ke waktu. Seringkali kita membeli barang-barang yang luar biasa, mobil baru, rumah, HP baru, bertemu dengan orang impian :P, dapat nilai bagus dan IPK tinggi. Hal-hal ini diawal memang menyenangkan, lalu kita terbiasa dengan mereka. Hal-hal tersebut berhenti membawakan kita kebahagiaan yang kita harapkan, singkatnya kita merasa bosan. Dan kemudian mengatur ulang titik referensi atau reference point kita untuk masa depan. Jadi jangan heran kalau ada yang mengatakan ingin selalu bersama lalu tiba-tiba ia merasa bosan dan menghilang, bisa saja karena Hedonic Adaption nya bekerja dengan baik lalu merubah point referensinya :P
    Dan nyatanya, We don't realize that our minds are built to get used to stuff. Ketidaksadaran ini adalah ANNOYING FEATURES #4.

Kita tidak akan pernah benar-benar memegang segalanya.  Tabiatnya, kita manusia akan terus berusaha untuk memperoleh semua yang kita inginkan. Ketika satu mimpi tercapai, kita akan kembali membuat mimpi-mimpi baru. Kembali mencari apa lagi  yang bisa digapai. Pada detik ini mungkin kita telah memiliki apa yang kita inginkan bertahun-tahun lalu, dan masin kembali mengidamkan sesuatu yang baru. Sebab, definisi segalanya bagi tiap-tiap jiwa akan selalu berubah. Sampai titik itu, apakah bisa dikatakan kita bahagia? Tidak, sama sekali tidak. Bukan aku yang mengatakan, tapi science yang membuktikan. Start from now, lets rewire our habits by focusing on the good things in life. Specifically, lets try to make a habit of practicing gratitude and savoring the good things in our lives.

Gratitude atau bersyukur adalah cara yang paling murah dan mudah untuk meningkatkan kadar kebahagian di hari-harimu. Research shows that taking time to experience gratitude can make you happier and even healthier. So, perbanyak syukur ya teman-teman! Ga susah kok. Coba praktikkan hal sederhana semacam menulis 3 atau 5 hal yang membuatmu merasa bahagia di hari itu. Dan nanti, jika suatu saat kau merasa tidak puas dengan
keadaanmu, merasa kebahagiaanmu kurang dari yang dimiliki oleh orang lain, coba reset Reference Point milikmu. Ada banyak caranya dan hanya kamu yang bisa melakukan itu. Bagi teman-teman muslim yang membaca tulisan ini, hadist ini mungkin bisa kamu jadikan panduan:


"Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun