Beberapa menit sebelum saya memutuskan untuk membuka laptop dan mulai menulis, saya sebenarnya sedang ingin menikmati akhir pekan yang sangat damai ini dengan leyeh-leyeh diatas kasur tapi tiba-tiba dibenak saya muncul pemikiran "akan jadi apa saya telah lulus kuliah? sebagai mahasiswa program pendidikan apa iya saya harus mengajar? bagaimana jika saya tidak ingin mengajar? jika saya tidak ingin mengajar lalu saya kerja apa? apa jadi pengusaha? ( ide bagus, meski tidak mudah) Tapi jika saya jadi pengusaha lalu apa yang saya dapat dari kuliah (sebagai mahasiswa program pendidikan)? Kasian dong orang tua yang matian-matian kerja untuk membiayai kuliah saya, mahasiswa bidikmisi sih enak." Sebenarnya saya ingin berhenti berpikir cukup sampai di kalimat terkahir tadi, tapi sekuat saya mencoba berhenti maka dorongan untuk melanjutkan pemikiran-pemikiran tadi dua kali lipat lebih kuat. Saya yakin itu bukan pemikiran saya pribadi, tapi ada setan yang mencoba mempengaruhi saya.
***
Perkenalkan saya Mirsa, seorang mahasiswa di salah satu uiversitas negeri di Surabaya. Saya masuk lewat jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Saya merupakan salah seorang mahasiswa yang tidak beruntung karena harus membayar UKT (loh maksudnya?). Saya (read : orang tua) bukannya tidak mampu membayar UKT, tapi ya juga tidak seenak jidat ngmabil uang buat bayar UKT. Bahasa umumnya, saya tidak miskin, tapi ya tidak kaya.
Saya sering berpikir bahwa saya adalah mahasiswa yang tidak dipelihara oleh negara (pemikiran orang-orang munafik) saya tahu itu pemikiran yang SALAH tapi ketika saya mengungkapkannya pada teman-teman (yang senasib tentunya) mereka menanggapi positif pemikiran saya, dan berlanjutlah pembicaraan-pembicaraan kami ke hal-hal lain, dan ujungnya sudah bisa dipastikan, kami berghibah. Apa sih yang kami bicarakan biasanya?
Awalnya, kami saling mengeluh tentang betapa beratnya biaya kuliah ditambah biaya hidup di kota. Pembiacaraan berlanjut dengan membandingkan antara kami dengan mahasiswa bidikmisi yang bebas biaya kuliah, dan mendapat biaya hidup dari negara. Lanjut merembet lebih spesifik dengan menyebutkan nama-nama orang tertentu yang dalam pemikiran kami tidak pantas mendapat bidikmisi, karena kami rasa tidak pantas.
Mengapa tidak pantas? Iyalah wong gayanya tidak menunjukkan kalau dia adalah orang yang berhak menerima Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi (Bidikmisi). Mulai dari gaya berpakaiannya, sepatunya, tasnya, gadgetnya, perawatan wajahnya, dan hal-hal lainnya. Dan yang paling menohok-nohok hati kami adalah saat di awal bulan kami harus mendengar :
" Uang BM turun, aku mau facial ah!"
Setelah dari ATM " Ayo ke mall, pengen baju blablabla masak iya bajuku itu-itu aja?"
Ah...di situ kadang saya merasa iri. Kami, jangankan buat facial ataupun sering-sering beli baju untuk bayar kost-kostan dan makan saja susah.
Tapi perlu ditegaskan lagi bahwa tidak semua mahasiswa bidikmisi seperti itu, tapi berdasarkan cerita teman-teman kampus ya banyak yang seperti itu.
Jika di satu sisi ada orang-orang yang tidak sepatutnya mendapat Bidikmisi tapi malah mendapatkannya, maka jelas di sisi sebaliknya pasti ada orang-orang yang yang telah direnggut haknya untuk mendapat bidikmisi. Mengenai orang-orang yang terenggut haknya ini, terkadang saya merasa empati.