Matahari begitu cerah menghujani Bumi hari ini. Burung berkicau mengiringi daun-daun yang bergoyang. Terlihat aktivitas kehidupan mulai menggeliat. Tak terkecuali aku dan keluarga. Ibu yang menjadi koki rumah, mulai sibuk mempersiapkan sarapan untuk aku, Kak Bagus, dan ayah. Nasi goreng sosis ayam merupakan makanan favorit kami sekeluarga. Santapan ini tak pernah absen dari meja makan setiap pagi. Meskipun setiap hari kami menikmatinya, tak penah sekalipun terlontar kata bosan dari bibir. Karena bagi kami, nasi goreng buat ibu tak ada tandingannya. Bumbu yang tercampur di dalamnya tidak dijual dimana pun. Ibu selalu memasaknya dengan bumbu cinta, penyedap kasih sayang, menyajikannya dengan piring kesabaran, dan ditemani dengan hangatnya kebersamaan. Ini kami nikmati setiap harinya.
Nasi goreng telah habis,Waktupun telah menunjukkan pukul 08.00 wita. Ini berarti sudah waktunya aku, Kak Bagus dan ayah berangkat ke kampus. Ayah ikut ke kampus bukan untuk kuliah seperti aku dan Kak Bagus, melainkan beliau menjadi dosen di universitas tempat kami menuntut ilmu.
Sebelum berangkat kami terlebih dahulu berpamitan dengan ibu. “Bu, kami berangkat dulu ya,” pamit ku pada ibu sambil mencium tangannya. “ya… hati-hati di jalan. Belajar yang baik, berhati-hati dalam memilih pergaulan. Untuk Bagus, sebagai anak laki-laki jaga adik mu denagn baik. Untuk Tantri, patuhi apa yang kakak mu bilang,” nasihat ibu panjang lebar. “ Tenang Bu, nasihat ibu dan ayah akan selalu kami pegang teguh dalam hati. Kami tak ingin mengecewakan ayah dan ibu yang telah susah payah merawat dan mendidik kami lebih dari 19 tahun. Kami sadar, tanpa bimbingan dan kasih sayang kalian berdua, kami tidak akan menjadi apa-apa,” ujar Kak Bagus. Setelah kami mencium tangan ibu, giliran ayah yang mencium kening ibu dengan penuh kemesraan. Meskipun telah menjalani bahtera rumah tangga lebih dari 19 tahun, keharmonisan ayah dan iu masih hangat hingga sekarang.
Mesin mobil ayah sudah dihidupkan, ini berarti kami siap berangkat ke kampus. Kami naik ke mobil merah yang merupakan warna favorit ibu dan ayah. Di tengah perjalanan, suara mobil seperti tersendat-sendat. “ Ayah, sepertinya mobil ini sudah terlalu tua dan harus diganti. Kenapa ayah tidak menjualnya dan membeli yang baru dengan mesin yang lebih bagus?” tanya Kak Bagus. “Sampai kapanpun ayah tidak akan pernah menjual ataupun meloakkan mobil ini. Si Merah sudah menemani ayah lebih dari 20 tahun, jauh sebelum ayah meminang ibu kalian. Mobil ini memiliki nilai histori yang begitu kuat melekat, membuat ayah enggan menggantinya dengan yang baru. Mobil inilah yang ayah gunakan untuk berkencan dengan ibu untuk pertama kalinya. Di mobil ini juga ayah menyatakan cinta suci dan niat untuk memperistri ibu, bahkan hal paling tidak terlupakan hingga sekarang,di dalam Si Merah inilah kalian berdua lahir.” lantur ayah. “Kok bisa Yah? tanya aku penasaran. “Saat itu, untuk mencari bidan sangat jauh. Ibu kalian yang sudah tidak kuat akhirnya terpaksa melahirkan kalian di dalam mobil,” sambung ayah.
Manisnya kisah cinta ayah dan ibu memang tidak ada sepahnya. Hampir tak pernah ada percekcokan yang begitu berarti, yang ada hanya keharmonisan dan kemesraan. Kurang dari 30 menit, kami akhirnya sampai di kampus. Aku dan Kak Bagus langsung menuju kelas, kebetulan kami memilih jurusan yang sama, sedangkan ayah memarkir mobilnya di parkir mobil dosen.
Hari ini dosen tidak bisa mengisi jam, sehingga aku dan Kak Bagus pulang lebih awal. Kebetulan juga ayah tidak ada jam mengajar, sehingga kami pulang bersama lebih awal. “Anak-anak, kalian ingat sekarang hari apa?” tanya ayah. “Ya ampun ayah, anak SD juga tahu kalau sekarang hari Senin,” jawab ku dengan nada meremehkan. “Kalau itu sich ayah tahu, tapi sekarang merupakan hari spesial di keluarga kita.” Ayah membela diri. “Aku tahu yah! sekarang kan hari ulang tahun ibu,” jawab Kak Bagus. “Oh ya ya… aku baru ingat kalau sekarang ulang tahun ibu,” ingat aku. “Iya benar, sekarang merupakan ulang tahun ibu. Untuk itu, ayah mau mengajak kalian membeli kue tart dan kado.” ajak ayah. “Oke komandan… kita siap melaksanakan tugas” jawab aku dan Kak Bagus dengan kompak.
Tempat tujuan pertama kami adalah toko kue tart. Disana kami membeli kue berbentuk hati, kemudian kami melanjutkan ke swalayan untuk membeli pernak-pernik yang lain. Semua perlengkapan sudah siap, kami langsung menuju rumah. “ayah, ibu pasti senang dengan kejutan kita” ujar ku. “pasti…!” sahut ayah. kami pun bergegas meninggalkan toko dan berangkat menuju rumah.
Sampai di rumah aku sudah tidak sabar memberikan kejutan pada ibu. Namun, semua tidak berjalan sesuai rencana. Ketika kami masuk rumah, kami tidak menemukan ibu. Kami sangat panik, karena rumah dalam keadaan tidak terkunci. Tiba-tiba mata ku terperangah ketika ku melihat ibu tergeletak di lantai dapur dalam keadaan mulut yang mengeluarkan darah. “ibu… ibu kenapa? kok bisa begini bu?” Tanya aku khawatir. “en…en…entahlah nak, dada ibu sakit sekali seperti tertusuk-tusuk” jawab ibu dengan terbata-bata. Ayah yang melihat kejadian ini, langsung melarikan ibu ke rumah sakit. Di mobil, ibu terus memegang dadanya menahan rasa sakit begitu dasyat.
Sampai di rumah sakit, ibu langsung dilarikan ke ruang gawat darurat. Namun dewi fortuna belum mau memeluk ibu, ibu menghembuskan nafas terakhir di ruang IGD didampingi oleh ayah. Gelombang air mata sudah tak terbendung lagi. Aku, Kak Bagus dan ayah sunggu-sungguh tidak rela kehilangan ibu secepat ini. “ibu, bangun Bu…. Kenapa ibu ninggalin Tantri secepat ini? sekarang adalah hari ulang tahun ibu. inikah kejutan yang ingin ibu berikan pada kami? Tidakkah ibu ingin melihat Tantri dan Kak agus sukses, berkeluarga, dan bahagia? Apa ibu tidak kasihan dengan ayah?” aku menangis karena tak rela kehilangan ibu, yang menjadi surga ku. Ayah sangat terpukul kehilangan orang yang telah mendampinginya mengarungi samudra kehidupan. Semalaman ayah tak henti-hentinya menciumi ibu sebagai kecupan terakhir di ujung hayat ibu. ini membuktikan betapa besarnya kasih sayang ayah pada ibu hingga maut yang akhirnya memisahkan mereka.
Tiga hari setelah Tuhan mengambil ibu dari dunia, keluarga masih diselimutu kabut duka. Namun, hal yang tidak terbayangkan terjadi dan merubah kehidupan keluarga kami 1800. Hal menyakitkan itu justru dilakukan oleh ayah. Dia pulang bergandengan tangan dengan seorang wanita yang tak ku kenal siapa dia, “Anak-anak, kenalkan ini Ibu Maya! ibu baru kalian. Mulai sekarang kalian harus menghormati Ibu Maya seperti kalian menghormati almarhum ibu!” ayah memperkenalkan wanita yang diajaknya. “Ayah jahat…tanah makam ibu belum kering, kenapa ayah berani-beraninya mengajak perempuan murahan ini?” tanya ku pada ayah dengan nada marah. “Jaga ucapan mu! Kamu tak berhak berkata seperti itu kepada ibu mu. Ayah sudah menikahinya tadi pagi. Jadi kalian tidak berhak untuk melarang ibu Maya tinggal dimanapun.” Aku dan Kak Bagus sudah tak kuat melihat kejadian yang menguras hati ini. aku dan Kak Bagus langsung masuk kamar tanpa sepatah katapun terucap pada ibu tiriku itu.
Hari-hari yang ku lewati benar-benar berubah. Kini ayah tidak ada perhatianya ada kami. Hanya Ibu Maya yang ada di pikirannya saat ini, hanya Ibu Maya yang ayah anggap benar. Kini ayah tak ubahnya seperti sebuah robot. Dia tak akan bergerak tanpa ada program yang mengontrolnya.
Ternyata penderitaan ku tak hanya sampai itu saja. Ketika pulang sekolah, aku mampir sebentar ke sebuah rumah makan dekat kampus ku. Namun apa yang ku lihat? Kak Bagus dan Ibu Maya duduk bersama dalam satu meja. Mereka kelihatan mesra sekali. Berbeda halnya ketika ayah memperkenalkan Ibu Maya pada ku dan Kak Bagus. Kak Bagus sangat tidak suka, bahkan Kak Baguslah satu-satunya orang yang mendukung rencana ku untuk mengusir Ibu maya. Namun kini semuanya terbalik. Kak Bagus melupakan begitu saja ludah yang telah dimuntahinya, Dia begitu mesra mencium tangan ibu Maya. “Sandiwara apalagi ini?” ku melabrak mereka berdua. Mereka kaget bukan kepalang, tak pernah terblesit dalam pikiran mereka akan kedatangan ku. “eh… anak kecil, tahu apa kamu?” jawab Kak Bagus seolah-olah dia tidak mengenal ku lagi. “Sadar Kak, ini Ibu Maya, ibu tiri kita, dan dia juga istri ayah kita kak. Kenapa kakak berubah secepat ini? padahal dulu kakak sangat mendukung ku untuk mengusir wanita laknat ini,” ku mencoba mengingatkan kakak ku. “Berubah bagaimana? Jadi power rangers? Aku nggak pernah berubah kok? Sejak pertama kali ku bertemu Maya ku sudah cinta mati padanya. Dan cinta ku padanya belum berubah sedikitpun. Bahkan dalam hati ku telah berjanji, ku kan selalu ada di sisinya apapun yang akan terjadinanti, meskipun ku harus melawan ayah kandung ku sendiri,” jawab kakak ku dengan santai. Aku sangat heran dengan jawaban kakak ku. jawabannya seperti telah dikendalikan sesuatu agar dia berkata seperti itu. Akupun pergi meninggalkan mereka sambil menhan perih yang kurasa.
Malam akhirnya tiba. Ku mendapat kesempatan duduk berdua dengnan ayah. ku gunakan peluang emas ini untuk menceritakan kejadian yang ku lihat tadi pagi. “ayah, ku ingin mengatakan sesuatu. Tadi pagi ku melihat Ibu Maya makan bersama dengan Kak Bagus. Mereka mesra sekali,” ujar ku. Tiba-tiba Ibu Maya datang. “Bohong itu Mas. Tadi saya pergi ke salon bersama teman-teman. Saja juga tidak melihat Tantri. Selain itu saya juga tidak mugkin selingkuh dengan anak saya sendiri. Mungkin ini hanya alasan Tantri untuk mengusir saya. Mas kan tahu sendiri, sejak pertama kali saya menginjakkan kaki disini Tantri sangat membenci saya,” kata Ibu Maya memutarkan fakta sebenarnya. “Tantri, Ibu Maya ini sekarang sudah menjadi ibu mu. Hormati dia! Jangan fitnah ia lagi seperti ini. Kalau kamu mengulanginya lagi, ayah tidak segan-segan mengusir kamu dari rumah ini,” ancam ayah ku. “tapi yah…” ku mencoba untuk membela diri. “Tidak ada tapi-tapian. Ini sudah Keputusan bulat dari ayah yang tidak bisa diganggu gugat. Ya sudah, Ayah capek mendengar tuduhanmu. Sekarang ayah mau tidur. Kamu cepat cuci kaki, gosok gigi dan segera berselimut biar tidak terlambat berangkat ke kampus besok,” ulas ayah dan meningalkan ku. Apa yang ayah katakana begitu menusuk, bahkan merobohkan benteng hatiku. Ku tak pernah sakit hati sesakit ini, begitu perih rasanya. Nasib ku sungguh malang, kini ku tak punya lagi orang untuk ku ajak berbagi. Ku hanya bisa menangis dan menangis sendiri di kamar.
Pagi telah tiba. Matahari begitu hangat. Akupun berangkat dengan diantar oleh supir. Di tengah jalan, tiba-tiba dada ku terasa sakit. Seperti ada yang menusuk-nusuk. Sama seperti yang dialami almarhum ibu. aku benar-benar takut. Aku tak mau nasib ku sama seperti ibu. Pak supirpun berinisiatif mengantar ku ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, dokterpun memeriksa ku. ternyata hasil pemeriksaan dokter aku baik-baik saja. Ini sungguh aneh. Aku merasakan kesakitan begitu hebat, tapi hasil pemeriksaan medis aku divonis baik-baik saja. “Apakah aku dan keluarga ku kena guna-guna? Ah… tidak mungkin di jaman globalisasi ini ada orang yang melakukan cara-cara purba seperti itu” gumam ku dalam hati. Aku pun menyuruh supir ku mencarikan paranormal. Akhirna ku diajak ke sebuah gubuk di tengah persawahan. Ku menceritakan semua yang kualami sedetail-detailnya. “Keluarga mu memang sedang diguna-guna oleh wanita yang sekarang menjadi ibu tiri mu.” Ucap dukun Gede. Aku benar-benar kaget. Ternyata dugaan ku selama ini benar adanya. Aku pun bergegas pulang.
Sampai di rumah ku tak sengaja lewat di jendela ruang kerja Ibu Maya. Bukan melakukan aktifitas mengetik selayaknya orang bekerja di ruang kerja, tapi yang ku lihat justru sangat jauh dari apa yang ku pikirkan. Ku melihat dia sedang komat-kamit sambil memegang sebuah boneka yang terbuat dari kain putih. Bau dupa keras sekali merasuk ke hidung ku. Ku menangis tak percaya, ternyata dia dalang di balik misteri kematian ibu ku. Dia juga yang menyebabkan ayah dan kakak ku lupa akan diri mereka. “Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus melakukan sesuatu. Tapi apa yang bisa ku perbuat?” pikir ku.
Malam hari sepulang ayah dari kampus, ku ingin mengadu tentang hal ini, tapi urat keberanian ku telah putus. Ku takut Ibu Maya akan datang dan memutar balikkan fakta sepertitempo hari. Ku juga takut akan ancaman ayah yang akan mengusirku jika ku mengadu yang bukan-bukan tentang Ibu Maya. Apalagi saat ini ayah masih dalam kendali Ibu Maya. “Tapi aku harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan keluarga ku sebelum terlambat. Tidak mungkin aku membiarkan keluarga ku hancur di tangan Bu Maya. Apa sebenarnya yang diincar dari keluarga ku?” aku bimbang. Tapi akhirnya ku putuskan untuk menemui ayah ku di kamarnya. Belum sempat berbicara dengan ayah, Ibu Maya terlebih dahulu mendekati ayah. terlihat dia sedang menyuruh ayah menandatangani sebuah surat. Aku tak tahu itu surat apa. Suratnya berwadah map merah. Hal aneh terjadi lagi pada ayah ku. Setelah dia menandatangani surat itu, tiba-tiba kepala ayah sakit tak tertahan. Aku pun segera mendekati ayah. “Ayah… ayah kenapa?” Tanya ku khawatir. Sakit ayah tiba-tiba hilang. Namun aku harus menahan nafas, karena sembuhnya ayah membuat dia menjadi gila. “Kamu apakan ayah ku hingga begini? Apa sebenarnya yang kamu cari dari keluarga ku?” bentak ku pada Ibu Maya. “Kasian sekali kamu anak manis. Setelah ibu mu ku buat mampus, sekarang ayah mu jadi gila. Sebentar lagi, kakak mu akan bernasib sama seperti ayah mu. Yang kucari cuma harta ayah mu. Tadi ayah mu yang bodoh itu telah menandatangi surat pernyataan bahwa harta ayah mu sudah berpindah tangan pada ku. sekarang kamu tak punya apa-apa lagi. Dan mulai sekarang enyahlah dari rumah ku!” gertak Ibu Maya. “Kami tidak akan pergi dari rumah kami. Ini milik kami. Bagi kami kamu hanyalah pengemis yang haus akan harta, dan lapar akan tahta,” ku mencoba melawannya. “Apa bukti kalau rumah ini milik kalian? Jelas-jelas ayah kalian telah menyerahkannya pada ku. sekarang cepat bereskan barag-barang kalian dan segera angkat kaki dari rumah ini!” jawabnya angkuh.
Daya ku telah terkuras. Tak ada upaya lagi tuk melawannya. Aku pun mengajak ayah ku meninggalkan rumah itu. Ketika ku akan mengajak kakak ku, terdengar dia berteriak histeris. Ketika ku buka daun pintu kamarnya, terlihat dia seperti ayah. Kakak ku menjadi gila di buat oleh Ibu maya. “ Ya tuhan, apa sebenarnya dosa keluarga ku? mengapa kau memberikan cobaan seberat ini?” gumam ku sambil menangis. “ternyata kalian masih disini…. Cepat pergi! Ayo… cepat pergi!” gertak Ibu Maya, sambil menyeret kami keluar. Beruntung ku masih punya nenek dari ibu ku. Akhirnya ku bawa ayah dan Kak Bagus kesana.
Sepertinya keberuntungan tak pernah berpihak pada kami. Beberapa hari setelah kami diusir, ayah menghembuskan nafasnya. Saat ini hati ku benar-benar hancur. Di usia ku yang masih muda, kedua orang tua meninggalkan aku menghadap Yang Kuasa.Sakit memang, seandainya ku bisa menukar tempat ayah dan ibu dengan Ibu Maya, ku ingi sekali melakukan itu. Namun, segala yang terjadi ini sudah menjadi garis tangan tuhan yang tidak bisa dipungkiri. Ketika acara pemakaman ayah, seorang mahasiswa didikan ayah menemui ku dan memberitahukan sesuatu. “ketika ayah mu masih bernafas, aku tidak sengaja melihat Maya merengek-rengek meminta kunci jawaban pada ayah mu. Namun, ayah mu tidak memberikannya. Bahkan, beliau malah memarahinya dan membandingkan kamu dan Bagus.” Ujar senior ku itu. Sejak saat itu, baru ku menyadari ternyata Ibu Maya menyimpan dendam pada keluarga ku. gertakan ayah padanya membuat dia sakit hati. “tuhan bukakan dia pintu kesadaran, agar dia sadar bahwa selama ini dia berada di jalan yang sesat. Jika dia sudah sadar, ku mohon berikan dia jalan maaf selebar-lebarnya,” doa ku dalam hati. akhirnya ku bisa lega, karena ku mengetahui akar dari semua masalah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H