Mohon tunggu...
Mir'atul Maratik
Mir'atul Maratik Mohon Tunggu... -

nothing to be something from zero to be hero!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Untukmu Ibu) Rindu Ini Tak Kunjung Hilang, Sungguh

22 Desember 2013   03:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:39 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

No. 457, Mir'atul Maratik

RINDU INI TAK KUNJUNG HILANG, SUNGGUH

Ibu, sampai saat ini aku masih bingung. Mengapa aku harus dilahirkan ke dunia yang indah ini. Tapi aku sangat bahagia dilahirkan dari rahim ibu. Rahim tempat aku tumbuh. Rahim tempat aku berlindung. Rahim tempat aku pertama mendengar asyiknya dunia. Rahim yang membuat diriku nyaman dari segala gangguan. Rahim yang rela menjaga aku kemanapun ibu melangkah. Rahim dari seorang pahlawan yang tidak akan pernah terbalaskan jasanya. Rahim yang segala-galanya. Mungkin Tuhan memang sudah menakdirkan manusia melewati fase pengenalan dunia melalui rahim.

Sembilan bulan itu tak sebentar bu, tapi aku sangat nyaman dengan tempat itu. Sampai-sampai, aku tak sadar kala aku bermain di tempat itu, ibu merasa sakit yang tak terungkap kata. Menendang perut ibu. Ke kanan dan kiri. Berputar-putar kian kemari. Saat ibu tidurpun, aku mengganggu. Anehnya, ibu tetap sabar dan tersenyum. Oh Tuhaan, Aku salah bu, maafkan aku.

Ibu, ingat tidak? Kala itu pukul 05.00 sore. Ibu merasakan sakit yang amat sangat tak tertahankan. Aku tak tahu apakah ibu sampai meneteskan air mata atau tidak. Tapi aku yakin, sakit itu yang membawakan ibu dibawa ayah ke rumah sakit. Mungkin, saat itu aku sudah tak tahan melihat dunia. Entahlah, aku tak ingat.

Saat itu kata ayah, saat yang paling menegangkan di hidup ayah. Mungkin, karena sudah tak sabar melihat aku muncul dihadapannya. Ibu juga? Pasti. Tapi derai keceriaan itu mungkin berubah menjadi derai air mata. Aku masih ingat, saat aku masih kecil ayah menceritakan satu kejadian. Di ruang tamu, ayah bilang “Nak, ibu sudah tak ada saat ibu melahirkan kamu”.

Dulu aku sangat tak mengerti arti dari sebuah kalimat yang diungkapkan ayah. Aku masih saja asyik bermain dengan teman-teman. Memang, saat itu aku merasa ada sosok ibu, yaitu bibi Nisa. Aku merasa kalau bibi itu ibu. Ayah yang menyuruhku memanggil bibi dengan sebutan “Mamah”. Hal yang mungkin membuat ibu merasa sakit hati. Oh bu, maafkan ayah bu, mungkin ayah memang tidak ingin aku tahu ibu sudah tak ada, dan sepertinya ayah ingin ada sosok seperti ibu disamping aku. Maafkan aku bu, aku memang tak mengerti.

Perlahan aku mulai mengerti buu. Aku mulai menyadari tentang kejadian itu. Mamah itu bibi bukan ibu. Bu, mengapa ibu pergi? Bukankah ibu sudah senang aku hendak benar-benar disamping ibu? Bukankah memang aku yang ibu mau? Tapi mengapa ibu pergi begitu saja?. Semua orang yang aku tanya “Mengapa ibu pergi?” mereka pasti menjawab “Itu takdir nak”. Bu, aku merasa kejadian itu karena ulahku. Aku takut. Kehadiranku bukan suatu kegembiraan, melainkan kesedihan yang nyata. Sorot mata yang melihatku, pasti penuh dengan kebohongan. Mereka berkata manis di depanku dan berkata pahit dibelakangku. Aku merasa dikucilkan. Aku tau itu bu. Aku merasa semua orang membenciku kecuali ayah dan bibi.

Bu, aku takut sendiri disini. Aku merasa kesepian. Hanya ayah yang mengerti bu. Tapi, ayah berbeda. Ayah bukan ibu yang punya kasih sayang tulus dari hati. Terkadang aku berharap ibu ada disini. Disampingku. Mengurusku sampai dewasa nanti. Melihat aku berprestasi. Aku ingin ibu lihat itu. Aku juga rindu pelukan ibu. Sekarang dan sampai nanti. Aku ingin membuat ibu dan ayah selalu bahagia. Aku harap, ibu dengar ini ya buuuu.

Sering aku terenyuh saat aku melihat ada titik perbedaan antara aku dan yang lainnya. Sakit. Sangat sakit. Setiap pagi, banyak ibu yang membangunkan anaknya. Tak jarang ibunya menelfon anaknya karena jarak tinggal yang jauh. Diberi masakan yang lezat. Ya, masing-masing ibunya yang memasak dengan penuh rasa cinta. Cinta pada sosok yang akan menjadi penerus hidupnya nanti. Belaian tangan di rambut. Nasihat yang selalu terdengar jika khilaf menyerbu hati dan fikiran. Ataupun obat dan ramuan yang dijamu ketika sakit  berkunjung. Tapi aku bu? Tuhaaan, aku ingin seperti mereka. Aku tau, mungkin Tuhan memiliki rahasia dibalik apa yang aku inginkan. Kehendak lain. Entahlah. Yang jelas, aku selalu diingatkan ayah untuk selalu mendo’akan ibu. Selagi aku bisa berdo’a. Surga di telapak kaki ibu. Walaupun ibu sudah tak ada. Aku yakin ibuku tetap ibu, dan aku harus tetap berbakti pada ibu. Yakan bu?. Semoga do’aku sampai pada ibu dan aku termasuk anak yang berbakti pada ibu, Tuhan.

Lagi-lagi hatiku tersentak bu. Dua tahun lalu, ayah diundang temannya untuk berkunjung ke hotel di luar kota. Membicarakan berbagai kepentingan perusahaan bos ayah. Aku diajak ayah bu. Kata ayah, supaya bisa mendapat banyak pengalaman. Rencananya, ayah akan mengajakku jalan-jalan keliling museum setelah rapat di dekat hotel. Aku sangat senang sekali bu. Melepas penat dari segala masalah. Di sekolah, di rumah, di manapun deh. Intinya aku ingin menghirup dunia luar dan bisa mendapat banyak kekuatan dari banyak motivator tanpa jejak yang berkeliaran di jalanan. Lebih banyak bersyukur kepada Tuhan, mungkin. Pokoknya itudeh bu.

Entah apa yang aku dan ayah fikirkan sebelum berangkat. Semua yang perlu dibawa sudah tersedia diranselku. Kita pamitan pada bibi dan keluarga lainnya bu. Seperti biasa, aku serasa tak dianggap oleh mereka. Ayah dan aku mengendarai motor untuk pergi ke hotel. Ketika dijalan, saat jalan berkelak-kelok mirip seperti ular. Ayah mengendarainya penuh dengan hati-hati bu. Tiba-tiba, dari arah berlawanan ada sebuah truk besar yang melaju sangat kencang sedang menyalip sebuah bus. Tepat di depan motor ayah. Tiba-tiba, Darrrrrrrrrrrrrr!!! Aku terpental entah kemana. Kecelakaan itu membuat ayah tergeleng truk bersama motor. Ayah tak sempat mengerem motor karena panik bu. Alhasil terjadilah kecelakaan itu.

Aku rasa itu bukan salah ayah. Memang supir truk itu yang salah. Dia menyalip tanpa melihat keadaan. Ah, sudahlah. Tidak ada yang salah mungkin. Semua karena takdir. Banyak orang yang ramai menolong kami bu. Ayah dan aku di bawa ke rumah sakit oleh warga sekitar. Setelah itu aku tak tau lagi , karena aku pingsan. Ayah? Akupun tak tau dia dimana bu.

Setelah aku siuman di rumah sakit. Tak ada keluarga yang menemaniku bu. Sejenak aku berfikir bibi. Tiba-tiba bibi datang ke ruanganku. Dia bertanya “kamu sudah siuman nak?”. Aku membalasnya dengan senyum. Masih pusing, shock. Semua terasa bercampur aduk di hati. Mood jadi tak karuan bu. Dengan semangatnya, aku memberanikan diri untuk mengangkat badan dan bersandar. “bibi, mana ayah?”. Aku tanya itu, tapi bibi tak menjawab bu. Ada apa ini?. Kubuka selimutku dan, “aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa, bibiiiiii kakikuuuuu?????”. Derai air mata tiba-tiba membawaku segera memeluk bibi. Bibipun menangis. Tak ada satu katapun yang terlontar dari mulut bibi. Tuhaaaaaaaaaaann, cobaan apalagi yang kau berikan padaku?.

Sejenak, bibi melepaskan peluknya. Ia bilang dokter menyarankan kakiku harus diamputasi. Akhirnya, kakiku diamputasi supaya tidak terjadi masalah yang lebih besar. Ibuuuuuu, aku takut. Sungguh. Masalah kakiku lalu kulupakan. “Bibi, antarkan aku pada ayah?” kataku. “Jangan nak, nanti saja” jawab bibi. “Tolong bi, aku ingin lihat ayah” aku sambil memohon.

Ya, akhirnya bibi mau mengantarkan aku ke ruangan ayah dengan kursi roda. Terlihat dari ujung lorong, tampak aneh memang. Di depan ruangan ayah, banyak kerumunan orang-orang. Ada keluarga yang sibuk merebut giliran masuk, dan warga yang bersiap-siap untuk pulang. Pokoknya disana sumber keributan rumah sakit ini de bu. Entah apa yang mereka bicarakan, aku dan bibi tiba di depan ruangan ayah. Semua menjadi hening. Kulihat banyak pipi yang basah. Apa mereka menangis?. Bibi malah memberhentikan kursi rodanya di depan ruangan ayah. “Bi ayo masuk, aku ingin ngobrol dengan ayah” kataku. Serentak semua keluarga berdiri dari kursi tunggu dan memelukku. Mereka semua keluarkan air mata yang sempat terhenti saat aku datang. Ada apa ini bu?. Jantungku semakin berdegup kencang. Tuhaaan? Apalagi ini?.

Lama-lama aku tak tahan dengan semua ini. “Aku ingin lihat ayah!!!!” sambil teriak aku memutarkan kursi rodaku sendiri dan masuk ke ruangan ayah. AYAHHH!!!!!!!!!!. Terlihat sosok manusia yang sudah diselimuti kain putih. Isak tangis di dalam ruangan semakin keras. Aku mendekat pada ranjang ayah dan memeluk ayah. Oh Ibu, sungguh aku tak kuasa menahan beban ini. Beban yang sangat menusuk hati. Ibuuuuuu, aku butuh ibu disiniii. Sekarang siapa yang aku punya. Terlintas keputus asaan dalam benakku. Isak tangis ini tak cukup mempan untuk meluapkan semua kepedihan yang aku rasakan ini. Seandainya aku dan ayah tak jadi pergi ke hotel. Ahhhh, penyesalan itu memang mebutakan semua bu.

Kejadian itu akhirnya membuat aku sadar. Betapa pentingnya untuk selalu bersyukur pada Tuhan. Tentang apa yang selalu diberi-Nya. Tentang kisah yang aku sendiri tak tau alurnya. Mungkin ini cobaan. Atau mungkin ujian. Aku semakin kuat diterpa angin badai yang kencang. Celotehan keluarga yang terdengar menyalahkan aku. Takdir? Ya memang semua ini aku percayakan pada adanya takdir. Tanpa ibu, tanpa ayah, dengan satu kaki, aku harus selalu kuat seperti ibu. Tak kenal lelah untuk mencapai semua yang diinginkan.

Terbukti bu, sekarang aku disayang banyak orang. Kekuatan dan kesabaranlah yang menjunjung aku ke singgasana istimewa. Aku sukses menjadi seorang dokter. Berkeliling dunia layaknya seorang petualang. Hanya untuk mencari pengalaman? Tidak. Tapi juga untuk menguatkan hati dan memperdalam ilmu. Semoga aku bisa membantu banyak orang sebisa mungkin. Walaupun dulu aku cengeng, selalu resah. Akhirnya sadar jika pasrah tak menyelesaikan masalah. Dan karena ibu dan ayah aku menjadi wanita tangguh. Aku akan selalu rindu kalian. Mungkin, hanya dengan tulisan-tulisan aku menuai rinduku pada ibu dan ayah. Do’aku selalu menyertaimu khusus untuk ibu dan ayah. Dibalik anak yang sukses terdapat ibu yang sukses. Selamat jalan ibuuuu, selamat jalan ayaaah.

NB:

1.Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akunFiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/12/22/untukmu-ibu-inilah-karya-peserta-fiksi-hari-ibu-bersama-studio-kata-618551.html )

2. Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun