Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Hilmy Yusuf
Muhammad Irfan Hilmy Yusuf Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Writer @ Alodokter.com. Microbiologist, Penggemar Film dan Serial berkualitas, pembaca buku. Biasa menulis di situs Alodokter.com dan mirfanhy.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Jika Nabi Khidir Hidup di Zaman Sosial Media

25 Agustus 2017   17:04 Diperbarui: 25 Agustus 2017   17:57 3487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alhamdulillah sudah jumat lagi, berarti insya Allah sudah beres baca surat Al-Kahfi ya, kan sunnah. Yah mesipun surat Al-Kahfi cukup panjang tapi isinya luar biasa dalam, terutama di kisah-kisah yang disebutkan di dalam surat Al-Kahfi.

Buat saya sendiri, yang paling menarik dari surat Al-Kahfi itu ada 2, kisah Nabi Musa dan (menurut tafsir) Nabi Khidir, serta Kisah Dzulqarnain (bukan Alexander dari Makedonia). Cuman sekarang saya lagi ingin bahas banyak-banyak tentang kisah Nabi Musa AS dan seorang hamba Allah yang soleh dengan ilmu Hikmahnya yang menurut beberapa tafsir adalah Nabi Khidir AS. Untuk tulisan sekarang, kita berangkat dari tafsiran bahwa Hamba Allah yang Soleh tersebut adalah Nabi Khidir AS.

Di dalam Alquran diceritakan bahwa Nabi Musa AS diperintahkan untuk menuntut ilmu dari Nabi Khidir bersama dengan muridnya Nabi Musa AS yang menurut tafsir adalah Yusya Bin Nun. Dikisahkan bahwa pada saat Nabi Musa meminta untuk diajarkan ilmu-ilmu yang dimiliki Nabi Khidir, sempat ada penolakan dari Nabi Khidir bahwa Nabi Musa tidak akan bisa untuk bersabar dalam menunut ilmu. Pada akhirnya Nabi Khidir menerima Nabi Musa sebagai muridnya dengan syarat bahwa Nabi Musa tidak akan mempertanyakan apa yang akan diperbuat oleh Nabi Khidir.

Singkat cerita, ketika Nabi Khidir menempuh perjalanan bersama Nabi Musa, Nabi Khidir melakukan berbagai perbuatan yang sepertinya terlihat sebagai perbuatan jahat. Contohnya merusak kapal nelayan, membunuh anak laki-lakidan memperbaiki bangunan. Tentunya perbuatan-perbuatan tersebut, secara kasar merupakan perbuatan jahat dan diprotes berkali-kali oleh Nabi Musa. Namun pada akhirnya, Nabi Khidir bercerita bahwa dibalik perbuatan jahatnya, tersimpan maksud kebaikan yang tersembunyi. Kapal nelayan dirusak dengan tujuan agar tidak dirampas penguasa zalim yang semena-mena. Anak tersebut dibunuh karena dikhawatirkan akan membawa keburukan bagi orang tuanya. Sedangkan bangunan tersebut diperbaiki dengan tujuan agar dimanfaatkan dua anak yatim pemilik bangunan.

Jika hidup di zaman sosial media

Dari kisah tersebut diketahui bahwa bagaimana perbuatan tersebut yang nampaknya terlihat sebagai hal yang jahat di luar ternyata mengandung hikmah yang sangat dalam. Namun yang menjadi fokus saya adalah bagaimana seseorang yang tidak mengetahui hikmahnya begitu mudah bereaksi negatif (memprotes) terhadap perbuatan Nabi Khidir tersebut. Istilah populernya adalah bahwai Nabi Musa saat itu masih "bersumbu pendek" padahal sebelum menempuh perjalanan, Nabi Khidir sendiri sudah memperingati bahwa Nabi Musa tidak bisa bersabar atas perbuatannya. Terbukti dengan 3 kali protes terhadap Nabi Khidir menunjukkan "sumbu pendek" nya Nabi Musa hingga mengetahui hikmah yang sebenarnya.

Jika dilihat-lihat, kok rasanya posisi Nabi Musa mirip-mirip dengan umat muslim (khususnya) di Indonesia zaman sekarang ya? Ketika terjadi suatu peristiwa, mudah sekali bereaksi terhadap peristiwa tersebut tanpa mencoba melihat gambaran besar dari persitiwa tersebut. Contoh paling baru adalah bagaimana nyawa seseorang bisa hilang dengan mudah hanya karena dituduh mencuri amplifier mesjid dan akhirnya tidak terbukti juga.

Saya ga berani membayangkan, jika saja Nabi Khidir hidup dizaman sekarang dan masih menyandang predikat Nabi (atau ulama lah) kemudian merusak kapal nelayan, mungkin bakal muncul berbagai berita kayak gini :

  • Mengejutkan! Seorang Nabi terbukti sedang merusak kapal milik nelayan tanpa pikir panjang.
  • Kelakuan Nabi ini tidak bisa diterima dengan akal sehat, merusak kapal milik rakyat jelata.

Kemudian diikuti dengan komentar nyinyir dari para netizen :

  • Nabi kok kelakuannya ngerusak kapal nelayan gitu? Itu gelar nabi dikemanain?
  • Mending gue preman tapi ga pernah ngerusak kapal nelayan, dibandingin sama Nabi itu, ngakunya nabi tapi ngerusak kapal orang.
  • Kelakuan Nabi ga ada dalam Al-Quran dan Sunnah nih (contoh aja inimah) pasti bid'ah nih ajarannya. Sesat.

Sampai akhirnya kita tahu motif dibelakang perbuatan tersebut mungkin kita bakal tenggelam dalam prasangka, gosip, nyinyir dan fitnah. Pun kalau motifnya sudah ketahuan dan ternyata baik, kita sudah dapat dosa duluan dan tenggelam dalam mindset negatif terhadap Nabi Khidir dari berita-berita tersebut. Padahal kalau saja sifat reaktif umat sekarang yang seperti Nabi Musa di Alquran bisa dikurangi, mungkin gosip, nyinyir dan fitnahnya bisa di by-pass sampai ketahuan gambaran besar dan rinci suatu peristiwa bisa terjadi. Betul sekali pernyataan bahwa di zaman sekarang bukan saatnya lagi memperoleh informasi tapi menyaring informasi, terutama di zaman sosial media sekarang dimana informasi bisa dibikin siapa saja tanpa perlu bertanggung jawab. Kalaupun diketahui beritanya salah, toh tinggal minta maaf dan akhirnya umat lebih memperhatikan berita yang salah tersebut dibanding permintaan maaf dan kredibilitas si media tersebut.

Melihat gambaran besar

Untuk bersabar dan tidak bersikap reaktif terhadap suatu peristiwa, terutama informasi di sosial media, memang tidak mudah. Sampai sekarang pun kadang-kadang saya sendiri masih suka reaktif. Tapi tidak mudah bukan berarti tidak bisa karena seharusnya seorang muslim bisa berfikir secara objektif terhadap suatu informasi. Toh Alquran surat Al-Hujurat sudah memerintahkan kita agar meneliti kebenaran suatu berita sebagai berikut :

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS. Al Hujurat: 6).
Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim berkata, "Allah Ta'ala memerintahkan untuk melakukan kroscek terhadap berita dari orang fasik. Karena boleh jadi berita yang tersebar adalah berita dusta atau keliru."

Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir As Sa'di saat menerangkan ayat di atas, beliau berkata, "Termasuk adab bagi orang yang cerdas yaitu setiap berita yang datang dari orang kafir hendaknya dicek terlebih dahulu, tidak diterima mentah-mentah. Sikap asal-asalan menerima amatlah berbahaya dan dapat menjerumuskan dalam dosa. Jika diterima mentah-mentah, itu sama saja menyamakan dengan berita dari orang yang jujur dan adil. Ini dapat membuat rusaknya jiwa dan harta tanpa jalan yang benar. Gara-gara berita yang asal-asalan diterima akhirnya menjadi penyesalan.

Sumber : https://rumaysho.com/7891-jangan-mudah-menerima-berita-media.html

Apa yang ditampilkan di sosmed dan berita seringkali hanya sebagian kecil dari peristiwa yang sebenarnya, semacam gunung es di laut yang nampaknya kecil ternyata dibawah permukaan air masih ada bagian yang sangat besar (Iceberg phenomenon). Tentunya untuk melihat gambaran besarnya perlu waktu dan kesabaran karena yang namanya informasi juga perlu waktu untuk diperoleh, disusun dan disampaikan dengan baik.

Paling gampang untuk melihat gambaran besar suatu peristiwa adalah dengan melihat 5W 1H nya. Apa, Siapa, Dimana, Kapan, Mengapa dan Bagaimana. Di zaman jurnalisme abal-abal seperti zaman sekarang, terutama di situs-situs yang tidak jelas seperti "KataMereka", "Sewot.com", "MbakPyongyang", dan "IslamJNE" seringkali kerangka 5W 1H nya ini tidak dipenuhi atau ada yang hilang. Seringkali, berita tendensius lebih fokus ke judul dan paragraf pertama dibandingkan dengan paragraf-paragraf berikutnya. Wajar tho, mereka ingin menanamkan suatu mindset dengan cara framing. Perlu diingat juga bahwa penting untuk  mengetahui bagaimana tendensi si media ini terhadap suatu peristiwa, terutama di topik sensitif seperti topik SARA dan politik. Tujuannya agar kita lebih mudah memberikan penilaian terhadap berita ini ditulis dari sudut pandang siapa, karena subjektivitas dalam berita sudah pasti ada. Dengan mengetahui tendensi media, kita lebih mudah menyaring mana berita yang sangat subjektif dan tendensius dan mana berita yang memang bertujuan menyajikan informasi.

Latihan bersabar

Pada akhirnya dizaman sekarang, dalam membaca berita memang lebih banyak dibutuhkan kesabaran. Kesabaran dalam membaca berita yang tendensius, kesabaran dalam membaca berita yang penuh kebohongan, kesabaran membaca berita dari sudut pandang seberang sana dan kesabaran membaca komentar para netizen (yang tidak bersabar) di halaman beritanya. Seringkali justru komentar-komentar netizen (yang tidak bersabar) justru lebih menarik dibanding beritanya, enak buat dibaca sambil makan pop corn hehehehe.

Maka tidak salah, ketika Nabi Khidir di awal, di tengah dan di akhir perjalanannya bersama Nabi Musa AS selalu menyinggung tentang kesabaran. Karena justru dengan bersabar atas suatu peristiwa, lebih bisa menjernihkan kepala, meredam emosi dan membuat pribadi yang lebih objektif dan bijak. Yuk latihan bersabar, da saya juga masih belum bisa sabar sampe segitunya, masih perlu latihan juga hehehehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun