Ia sudah biasa miskin dan tak ada yang harus diratapi. Ia juga bukan tipe yang suka keras atau suka memanjakan cucunya. Ia mengajari Akhihiro dengan sewajarnya.Â
Selesai pulang dari bekerja, ia mengambil barang-barang kecil dari besi semisal paku yang tertarik oleh magnet untuk dijual. Selain itu, tiap hari, ia pun menyaring sayuran, udang karang, atau benda lain yang terjaring di sungai di dekat rumahnya.Â
Sayuran itu kebanyakan dianggap jelek bukan karena busuk, tapi karena bentuknya kecil, bengkok, atau bercabang. Ia selalu memanfaatkan hal yang orang lain anggap tak berguna.Â
Pada hari raya, ia pun mendapat persembahan/sesajen yang juga tersangkut di magnet. Ketika Akhihiro bertanya, "Apakah dewa tidak marah?" Neneknya justru bilang kalau dewa mungkin justru akan senang karena makanan itu dimanfaatkan dengan baik.
Meskipun kehidupan si nenek sangat sederhana, sebetulnya ia tak miskin. Akhihiro melihat neneknya meminjamkan uang pada orang-orang yang membutuhkan.Â
Si nenek pun membelikan sepatu mahal saat Akhihiro akan menjadi kapten bisbol di pertandingan sekolah. Baginya, pelit itu payah, hemat itu jenius.
Selain mengenai gaya hidup, si nenek pun punya pandangan unik mengenai pendidikan. Bagian ini menjadi bagian favorit saya dalam buku ini karena sebelumnya saya selalu terbayangi untuk selalu mendapat nilai bagus, yang kemudian menghilangkan esensi saya belajar.
Kutipan "Jangan terlalu rajin  belajar" ini pun sebaiknya dipahami dulu konteksnya sebelum memutuskan benar atau salahnya. Tokoh nenek tidak pernah memaksa Akhihiro untuk belajar, juga sebaliknya.Â
Bagi saya, tokoh nenek hanya tidak ingin membebani cucunya untuk belajar hal-hal yang tak ia sanggupi.Â
Si nenek mengesankan bahwa Akhihiro bisa belajar di luar pelajaran sekolah yang mana juga sama-sama penting untuk kehidupan. Semisal dengan bagaimana memanfaatkan sumber daya yang ada sekaligus mencari bakat yang ada dari pada memaksakan diri.