Mohon tunggu...
Mira Rahmawati
Mira Rahmawati Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Pemula

Belum tahu apa-apa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jangan Terlalu Rajin Belajar, Bisa-bisa Nanti Jadi Kebiasaan

25 September 2020   18:16 Diperbarui: 26 September 2020   15:02 3175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membaca (Sumber: www.fiverr.com)

Ada salah satu kisah favorit yang pernah saya dengat saat masa kuliah. Seorang pemilik perpustakaan yang kemudian juga induk semang saya, pernah diundang ke Festifal Buku Frankfurt tahun 2015. 

Di sana, ia bertemu penulis anak yang memintanya untuk menulis kesan atau quote. Ia bilang, saat itu ia bingung mau menuliskan ungkapan bijak apa. 

Meskipun ia-- induk semang saya ini bukan penulis, ia tentu banyak membaca buku atau setidaknya tahu banyak tentang isi-isi buku. 

Mengejutkan, di antara ribuan buku miliknya, ia memilih kutipan dari salah satu buku yang pernah saya pinjam. Isinya "Jangan terlalu rajin belajar, bisa-bisa nanti jadi kebiasaan." Begitu kurang lebih ia menulis untuk penulis cilik tersebut. Saat mendengar cerita itu, saya tertawa dan tak habis pikir.

Pasti ada yang merasa quote itu aneh, konyol, atau tidak baik, dan itu wajar. Saya tak tahu bagaimana persisnya motif si Abang (begitu ia dipanggil), tapi mungkin buku atau kutipan itu punya kesan tersendiri baginya. 

Namun yang jelas, ia yang hidupnya mengabdi untuk literasi tak mungkin hanya untuk memadamkan jiwa belajar si anak. Buku ini pun punya kesan khusus, setidaknya bagi saya yang punya memori jelek. Buku itu salah-satu yang saya ingat ketika melihat persoalan mengenai pendidikan yang saya jumpai.

Quote ini diambil dari buku "Saga no Gabai Bachan" yang jika diterjemahkan artinya "Nenek Hebat dari Saga". Buku ini ditulis oleh komedian Jepang, Yoshichi Shimada. 

Diceritakan, kehidupan di Hirosima setelah Perang Dunia II membawa kesusahan bagi seorang ibu tunggal. Maka, ia terpaksa mengirim anaknya, Akhihiro Tokunaga kepada ibunya, Osana di kampung halaman. 

Saat si anak yang diantar bibinya baru sampai di rumah nenek, neneknya langsung memintanya melakukan pekerjaan rumah, menanak nasi dengan kayu bakar karena ia harus bekerja.

Dari sana, saya mengira bahwa si nenek orang yang dingin atau justru cerita akan berbalik menjadi mengharukan. Namun, ternyata tak ada plot twist macam itu, watak si nenek memanglah nyentrik. 

Ia tinggal di rumah yang jelek dekat sungai. Baginya ia memang orang miskin, tapi orang miskin ceria. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun