Ketiga  alasan praktis  yaitu  pembaruan hukum pidana yang baru akan dapat memenuhi kebutuhan praktik, sebab hukum peninggalan penjajah jelas masih menggunakan bahasa Belanda. Padahal kita sebagai negara yang merdeka sudah memiliki bahasa sendiri,  tentu tidaklah tepat jika menerapkan suatu aturan hukum berdasarkan teks yang tidak asli. Sehingga KUHP produk Belanda ini dirasakan sudah tidak relevan lagi dengan kondisi dan kebutuhan hukum pidana di Indonesia. Beberapa hal tersebut menjadi urgensi pengesahan RKUHP yang telah menjadi pembahasan di DPR sejak tahun 1963.
Upaya Pembaruan KUHP Bukan Hal Baru
Upaya pembaruan hukum pidana, khususnya pembaruan KUHP telah cukup lama dilakukan. Usaha tersebut dimulai dari adanya rekomendasi Seminar Nasional I tahun 1963 yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional sesegera mungkin diselesaikan.
Pembentukan RKUHP baru pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk membentuk sistem hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai filosofis dan moral bangsa. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kedudukan KUHP lama yang merupakan produk peninggalan Kolonial Hindia Belanda dan dianggap telah usang karena jauh dari nilai-nilai yang dianut bangsa Indonesia.Â
Hukum pidana di Indonesia saat ini telah mengedepankan prinsip keadilan restoratif yang merupakan merupakan bagian dari inheren dalam sistem peradilan pidana pada negara-negara maju. Di Indonesia prinsip ini masih dimaknai dalam penjatuhan pidana, dan belum sampai pada tataran pemulihan hubungan antara pelaku kejahatan dan korban tindak pidana, baik selama pemidanaan maupun sesudah pemidanaan.
Jika Tidak Setuju, Silahkan Ajukan Gugatan
Tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan RKUHP yang baru saja disahkan. Penyusunan RKUHP bukanlah pekerjaan yang mudah apalagi di tengah masyarakat Indonesia dengan keragaman budaya dan agama. Â
Meskipun telah disosialisasikan ke seluruh pemangku kepentingan di seluruh Indonesia, pengesahan RKUHP tetap akan memunculkan kritik bahkan penolakan masyarakat.Â
Dalam proses pembahasan dan penyusunan RKUHP Â ini, pemerintah telah menyerap aspirasi serta pendapat masyarakat dari berbagai elemen seperti akademisi, praktisi hukum, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, dan kalangan jurnalis.Â
Terkait polemik yang terjadi di kalangan masyarakat,  Menteri Hukum dan HAM menghimbau masyarakat yang menganggap masih  terdapat pasal-pasal yang dianggap kontroversial utuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini sebagai bentuk solusi gugatan melalui mekanisme yang benar.
"Ubi societas ibi ius" jika diterjemahkan berarti  "Dimana ada masyarakat disitu ada hukum". Relasi antara manusia dan hukum  dapat dipandang sebagai dua entitas yang tidak terpisahkan.Â