Hustle Culture
Menurut Chen & Wen (2021), hustle culture adalah standar sosial yang mengharuskan seseorang untuk bekerja terlalu keras dan bekerja dengan kapasitas semaksimal mungkin agar dapat disebut berhasil. Budaya hustling ini mulai diabadikan oleh masyarakat akibat dari penggunaan media sosial, media sosial seakan-akan menetapkan standar produktivitas yang tidak realistis.
Seseorang yang hidup dengan prinsip hustle culture cenderung bertekad agar dirinya selalu berhasil, tidak boleh gagal. Seseorang tersebut mengharuskan dirinya sendiri untuk terus bekerja tanpa henti agar dapat disebut produktif.
Selain itu, seseorang yang hidup dengan prinsip hustle culture cenderung untuk selalu membandingkan dirinya dengan orang lain. Seseorang tersebut akan merasa iri jika melihat orang lain lebih sibuk daripada dirinya dan ia akan berusaha untuk menambah kesibukannya.
Sebetulnya, terdapat keuntungan dan kerugian dari hustle culture. Keuntungan dari budaya hustling adalah tidak adanya waktu yang terbuang untuk bersantai sehingga banyak hal dapat dikerjakan.
Sedangkan kerugian dari budaya hustling adalah seseorang cenderung untuk tidak bekerja secara efisien, mengalami kelelahan baik secara fisik maupun psikis, dan menglami kecemasan.
Burnout syndrome
Walaupun memiliki keuntungan, hustle culture tetap sangat tidak disarankan untuk dijadikan gaya hidup sebab efek samping dari hustle culture tidak sepadan dengan keuntungan yang didapat, yaitu burnout syndrome.
Menurut WHO (World Health Organization), burnout syndrome adalah sindrom yang dikonseptualisasikan sebagai akibat dari stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola. Burnout syndrome ditandai dengan perasaan kehabisan energi atau kelelahan yang berkepanjangan, perasaan tidak suka atau bahkan benci dengan pekerjaan yang digeluti, dan performa kerja yang menurun.
Siklus dari burnout syndrome berupa: (1) Tekad seseorang untuk pembuktian diri, (2) bekerja terlalu keras hingga melupakan kebutuhannya sendiri, (3) menghiraukan lingkungan sekitarnya bahkan dirinya sendiri, (4) terus memberi nilai pada dirinya sendiri, (5) menyangkal konsekuensi dari kebiasaan yang dilakukan, (6) menarik diri dari dunia, (7) terlihatnya perubahan perilaku, (8) depersonalisasi, (9) merasa ada kekosongan dalam dirinya, (10) depresi, hingga akhirnya (11) burnout syndrome.
Work-Life Balance
Untuk menghindari burnout syndrome, diperlukannya work-life balance, yaitu suatu keadaan ketika seseorang dapat membagi dan mengatur antara tanggung jawab pekerjaan dengan kehidupan pribadinya serta tanggung jawab lainnya.
Seseorang tersebut dapat mengatur waktu dan energi yang seimbang antara pekerjaan, kehidupan berkeluarga, kebutuhan pribadi, dan rekreasi. Work-life balance membantu seseorang agar tidak memiliki konflik antara pekerjaan dengan kehidupan pribadinya sehingga dapat menjaga kesehatan fisik dan psikis seseorang tersebut. Selain itu, work-life balance juga membuat seseorang dapat bekerja secara efisien dan efektif.
Stress Management
Selain menerapkan gaya hidup work-life balance, seseorang juga disarankan untuk dapat mengelola stresnya, seperti:
1) Mengurangi Beban yang Ditanggung
Belajar untuk lebih berani dalam mengatakan "tidak" daripada terus mengatakan "iya" secara terpaksa, membuat limitasi terhadap apa yang mampu dikerjakan hingga mendelegasikan suatu tugas kepada orang lain yang mampu untuk mengerjakan tugas tersebut
2) Mengubah Situasi yang Bisa Diubah
Belajar untuk bersikap asertif dan komunikatif serta berani untuk berkompromi
3) Beradaptasi dengan Stresor
Belajar untuk mindset framing, yaitu mengubah mindset dari suatu keadaan yang bermakna negatif menjadi bermakna positif (seperti belajar dari pengalaman), menyesuaikan target dan harapan dengan tidak berekspetasi terlalu tinggi dan fokus pada hal-hal yang positif
4) Menerima Kenyataan
Belajar untuk memahami dan menerima segala hal yang terjadi dalam hidup kita sehingga kita tidak akan terpengaruh dengan kondisi atau kenangan buruk
Sumber:
Chen, Ashley & Wen, Sherilyn. (2021). Psychological and Psychological Effects of Hustle Culture. Race To A Cure.
World Health Organization. (2019). Burn-out an "occupational phenomenon": International Classification of Diseases
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H