Mohon tunggu...
Mira Marsellia
Mira Marsellia Mohon Tunggu... Administrasi - penulis kala senggang dan waktu sedang luang

You could find me at: http://miramarsellia.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kampung yang Kembali Menjadi Hutan

27 Agustus 2012   09:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:16 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_202487" align="aligncenter" width="640" caption="Prasasti Kawali. Dok Pribadi"][/caption] Kalau hutan berubah menjadi kampung, itu sudah biasa. Malah, tidak hanya hutan saja yang beralih rupa dan fungsi. Sawah, ladang, lapangan sepak bola juga akhir-akhir ini  tak urung dijadikan villa, komplek perumahan atau pertokoan. Itu semua demi kemajuan perekonomian,  pengaturan dan pemberdayaan lahan yang lebih baik, demikian menurut orang pintar bersabda. Kalau kampung kembali berubah jadi hutan, nah ini baru luar biasa. Jarang terjadi memang. Namun ada. Ini bukan gosip infotainment. Lagipula siapa juga yang mau menggosipkan soal hutan. Berita begini tidak bakal laku. Lebih asik membicarakan Prince Harry yang ketahuan bugil daripada isu perusakan hutan, atuh. Atau Kristen Stewart yang kepergok berselingkuh.  Nah lho. Saya kok tahu. Ya apa boleh buat, arus informasi memang menyerbu kita bak banjir bandang melanda dari segala penjuru sosmed. Di kampung yang jauh di lereng gunung sana, masih sekecamatan dengan kampung saya,  tersebutlah kampung Cipetir, di sisi sungai Ciwadori. Kalau dalam penamaan kampung dan nama sungai salah, saya mohon maaf. Namanya juga gosip. Tapi paling tidak salah penyebutan nama kampung ini tidak akan berefek reaksi sosmed yang dahsyat sebagaimana  perkataan Bung Rhoma yang heboh kemarin  ini soal Jokowi Ahok. Sungai Ciwadori adalah sungai berair deras dan berbatu-batu besar dan kecil, hasil erupsi gunung berapi di masa lalu. Terdapat batu-batu yang besar sekali yang disebut oleh penduduk lokal sebagai batu Tampah, karena bentuknya seperti nampan besar, lalu batu Kuda, karena bentuknya menyerupai kuda dengan kepalanya, juga batu-batu lain yang bernama sesuai bentukan yang mirip dengan batu tersebut. Sungai Ciwadori dikenal angker. Leuwi atau lubuk dimana batu-batu besar itu terdapat, konon adalah gerbang menuju negara jin. Kalau bahasa keren sekarang mungkin bisa disebut sebagai portal. Tempat jalan masuk untuk berpindah dari dimensi manusia ke dimensi alam lain. Penduduk desa sekitar walaupun bisa mengambil ikan atau kayu di sekitaran sungai, tetap berhati-hati. Dalam arti tidak sembarangan merusak atau mengambil sumber alam dari sana. Sehingga seperlunya saja, dan tidak pernah melakukan sesuatu yang melanggar norma, atau mengambil dan merusak. Dipercaya, penghuni berupa makhluk yang lembut disana akan marah-marah dan tidak suka apabila ada yang melanggar. Tersebutlah seorang tukang batu yang suka mengambil batu dari sungai untuk dijadikan mutu dan coet.  Ia dikenal pemberani. Tak kenal takut. Baik kepada manusia maupun kepada jin. Lagipula cerita tentang jin adalah sesuatu yang sudah kuno. Ketinggalan jaman. Cuma ada di cerita macam Seribu Satu Malam. Untuk itu dia sesumbar, akan memenggal batu Kuda yang ada di Sungai Ciwadori dan menjadikannya jubleg. Jubleg adalah jenis batu untuk menumbuk dengan ukuran lebih besar daripada coet. Singkat cerita, sang tukang batu memenggal kepala kuda. Namun naas, malamnya ia sakit panas. Esok hari ia meninggal dunia. Dalam dunia kedokteran tidaklah ada istilah mati karena dicekik jin. Mungkin saja tukang batu meninggal dunia karena kelelahan akut setelah memenggal kepala kuda batu itu. Siapa tahu ia mengidap penyakit jantung bawaan tanpa disadari. Kejadian mungkin tidak akan bertambah runyam bila kemudian tidak terdengar suara-suara yang tidak biasa dari arah sungai Ciwadori. Membuat penduduk kampung dicekam ketakutan. Suara tangis, suara geram marah, suara yang tidak biasa. Penduduk kampung makin hari makin resah. Sampai kemudian satu persatu keluarga meninggalkan kampung Cipetir. Sampai akhirnya tinggal lima rumah saja yang berisi penduduk, itupun lama kelamaan ditinggalkan. Kampung menjadi tak berpenghuni. Akhirnya beralih fungsi menjadi lahan kebun dan kolam, namun yang bekerja disana pun resah. Sehingga kampung kembali menjadi hutan. Ini boleh dipercaya boleh tidak. Saya bukan menyoroti keberadaan makhluk halus dan lainnya. Saya pun tidak suka acara dunia lain atau dunia-duniaan lain di televisi. Yang saya soroti adalah kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan. Menurut kisah dari mulut ke mulut yang diturunkan dari kakek nenek hingga ke anak cucu, juga tulisan pada prasasti memberikan bukti bahwa leluhur kita sangat menghargai dan menghormati alam. Tengoklah tulisan pada prasasti Sang Hyang Tapak di Sungai Cicatih Sukabumi. Prasasti berpenanggalan 952 tahun Caka itu bertepatan dengan 11 Oktober 1030.  Prasasti tersebut dibuat atas perintah Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa.  Seorang Raja di Kerajaan Sunda. Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 – 964) Saka (1030 -1042 M). Dalam prasasti itu, Raja Sunda Sang Prabu Sri Jayabupati memerintahkan dan bersumpah agar rakyatnya menjaga dan memelihara wilayah Kabuyutan Sang Hyang Tapak. Segenap kekuatan gaib dipanggil dan diperintahkan untuk menghukum barang siapa yang berani merusak dan mengambil ikan di wilayah kabuyutan (wilayah keramat yang ditetapkan kerajaan), dengan ancaman siapa pun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan kepada semua kekuatan gaib disana agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya, dan membelah dadanya sebagai hukuman. Seram. penggalan kalimat-kalimat dalam prasasti tersebut adalah sebagai berikut: Sumpah pamangmang ni lebu ni paduka haji i Sunda irikita kamung hyang kabeh pakadya umapala ikan i sanghyang tapak ya patyanantaya Kamung hyang dentat patiya siwak kapalanya cucup uteknya belah dadanya inum rahnya rantan ususnya wekasaken pranantika i sanghyang kabeh tawat hana wwang baribari shila irikang lwah i sanghyang tapak apan iwak pakan prannahnya kapangguh i sanghyang Maneh ka liliran pakanya katake dlaha ning dlaha Paduka haji i sunda Umade maka kadarman ing samangkana wekawet paduka haji i sunda sanggum nti ring kulit kata kamanah ing kanang i sanghyang tapak makatepa lwah watesnya i hulu sanghyang tapak i hilir mahingan irikan Umpi ing wungkal gde kalih i wruhhanta kamung hyang kabeh Selain ancaman menyeramkan pada siapa yang merusak alam di mata air Sungai Cicatih Sukabumi itupun menjanjikan bahwa siapa yang menjaga dan mengindahkan perintah tersebut akan mendapat anugerah yang yang menarik, berupa limpahan sandang, pangan, dan papan. Sepertinya hal-hal tersebut masih relevan dengan kondisi jaman sekarang. Siapa yang merusak alam akan binasa, dan siapa yang menjaga alam akan berjaya. Alam punya hukum sendiri. referensi: tulisan saya sendiri di http://miramarsellia.com/2010/04/19/menjaga-kabuyutan/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun