Mohon tunggu...
Mira Marsellia
Mira Marsellia Mohon Tunggu... Administrasi - penulis kala senggang dan waktu sedang luang

You could find me at: http://miramarsellia.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Dengan Rp 30.000,- dapat Wajan, Istana, dan Rumah Tua

12 Januari 2015   23:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:17 1116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Medan itu paling enak untuk jalan-jalan keliling kota pakai bentor. Apalagi pas saya datang di awal Januari ini cuaca sedang dingin, sedikit berangin dan cenderung mendung. Sehingga terasa sejuk angin menerpa saat kita berkeliling menikmati suasana. Dan tidak sulit mendapatkan bentor mangkal atau lewat. Mereka selalu ada. Di sekitar hotel, atau di jalan-jalan utama. Siap membantu. Seperti Pramuka. Adik saya begitu mengetahui saya akan pergi ke Medan, berkata dengan wajah tanpa dosa, datar dan jelas bisa terbaca di matanya kata "OLEH-OLEH" dengan huruf besar kapital yang dicetak tebal dan diberi highlight warna ijo terang. "Nitip beliin katel dong!" Catatan bagi pembaca: beliin ini berarti tidak ada penggantian uang, diskon ataupun potongan kupon. Murni gratisan. Katel itu wajan dalam bahasa Sunda. "HAH?! Katel?" Tanya saya dengan kaget tapi cantik. "Ngapain beli katel di Medan??" tanya lanjutan saya dengan berwibawa. Biasanya orang minta dibelikan duren, pie duren atau bolu Meranti. Jarang sekali ada yang minta dibelikan perabot dapur. "Wajan besi ini kata temannya Neng namanya Khang Kau. Tebal dan kuat dan gak bikin masakan gosong, bagus buat bikin kwee tiaw atau mie goreng dan tumisan" "Adanya di Pasar Sambas". Lalu dia membaca sms dari temannya lagi, yang katanya si Neng ibu temannnya ini pernah menjinjing mahluk bernama Khang Kau ini ke kabin pesawat. Isi smsnya sebagai berikut: Wajan besinya namanya Khang Kau, bisa dibeli di toko kelontong di Pasar Sambas di Jalan Sisingamangaraja. Naik becak saja kesitu. Saya dan adik saya Meta, spontan berkata "Naik becaknya darimana?" Dan seolah Gita temannya itu bisa mendengar dari jarak jauh karena dia punya telinga super, smsnya yang berikutnya menyusul: Naik becaknya terserah darimana saja. Halah. Petunjuk yang sama sekali tidak membantu untuk saya yang belum pernah tahu kota Medan. Untuk naik kereta api dari bandara saja petunjuknya saya masih tanya-tanya ke google. Oke, saya sih kalau dapat tantangan emang suka tertarik. Membeli wajan di kota Medan buat saya salah satu tantangan. Apalagi harus ke pasar tradisional. Ini saya suka. Dan kemarin pagi saat saya mati gaya karena baru bisa ke kantor di Medan ini lewat jam makan siang, akhirnya saya iseng kenalan bertanya pada abang pengayuh bentor. Mengayuh sepertinya kurang cocok, karena becaknya digandeng motor. "Bang, bisa antar ke pasar Sambas?" Dia ternyata sangat antusias. Pas ditanya ongkosnya berapa, dia jawab berapa saja yang penting ridho.. Wah ini misterius sekali. Ridho itu bisa berarti sedikit atau banyak. Lah kalau saya ridhonya cuma serebu perak gimana ya? Abang ini gak ada antisipasi banget deh. Berangkat ke pasar, Abang Bentor ini banyak bercerita tempat-tempat menarik dan gedung-gedung tua peninggalan kolonial yang menurutnya bagus-bagus. Dia bahkan selalu berhenti untuk menawarkan saya memotret gedung-gedung tua. Kok ya sepertinya ada chemistry ya antara saya dan dia. Darimana dia tahu saya suka gedung tua? Gawat nih bisa-bisa ntar kita jadian. Sampailah kami di pasar Sambas. Ternyata tidak sulit mencari Khang Kau ini. Petugas tokonya dengan baik hati menenteng segayung air saat saya menyentuh wajan. Karena langsung saja tangan saya saya jadi cemong kena jelaga di wajan itu, mungkin si abangnya cemas saya mencemongkan hidung saya tanpa sengaja. Khang Kau ini berat sekali! Ya iyalah...ini besi cor! Ini bahan buat perisai tentara Romawi jaman invasi Alexander Agung. Bisa juga buat topi baja kalau kita diserang dari udara. Saya bahkan jadi memikirkan Thorin Oakenshield dan perisai dari dahan kayunya saat melihat wajan besi ini. Kangen ih sama Thorin. Dan Kili..ehm. Walau berat dan saya ragu juga untuk membawanya, saya malah beli dua! dan satu lagi dari bahan alumunium, jadi total tiga. Yang alumunium karena terbujuk penjualnya yang bilang bahwa ketebalan alumunium wajan Medan beda dengan wajan Jawa. Wajan di Jawa sudah turun kualitasnya sehingga mudah bocor. Pasti ada mafia penurunan kualitas wajan di Jawa sehingga kalah kualitas dengan wajan Medan yang selalu dicari orang bahkan dari Jakarta. Lalu dia menunjukkan wajan dari Jakarta.."Tuh lihat Kakak, beda kan? wajan Jakarta jelek!" Katanya bernada sok tahu dan yakin. Dia terdengar seperti Percy Weasly yang sibuk mengurus kuali bocor hasil impor. Sekarang pas mau pulang saya memikirkan, akankah saya selamat melewati detector logam di Bandara? bagaimana jika saya ditahan dan kena tuduhan bahwa saya ahli perancang bom yang mampu merakit alat peledak rakitan dengan menggunakan wajan. Cemas deh. Pulang dari Pasar Sambas, Abang Bentor mengajak saya ke Mesjid Raya Medan. Konon Mesjid ini ikut disumbang sebagian oleh orang kaya Medan dulu yang bernama Tjong A Fie untuk teman baiknya  Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam. Banyak wisatawan yang datang dan beroto di pelataran mesjid. Abang Bentor menyilakan saya masuk dan melihat-lihat ke dalam. Bahkan dia menawarkan memotret saya disana. Cuma saya tolak, saya bilang, saya ini sudah cukup eksis dengan foto-foto narsis, tidak perlu lah menambah enek orang-orang yang melihat sosmed saya. Saya sekarang fokus pada objek lain saja selain wajah saya. Si abang cuma mengangguk-angguk. Mungkin dia bingung. Tadi dia bilang baru kali ini antar pengunjung kota Medan beli wajan, sekarang kok ada wanita cantik yang gak mau difoto di tempat wisata. [caption id="attachment_364176" align="alignnone" width="640" caption="foto: dokumen pribadi"][/caption] Dari Mesjid, kami lanjut ke Istana Maimoon, si Abang juga menjelaskan sejarahnya dan Meriam Puntung yang ada di depan istana Maimoon, berikut cerita berupa legenda Puteri Hijau yang diabadikan sebagai nama jalan.  Ngomong-ngomong Abang Bentor ini harusnya diangkat jadi Duta Wisata Medan deh, lancar sekali dia bercerita tentang Kesultanan Deli dan sejarah-sejarah lain, termasuk cerita tentang Pajak Ikan atau Pasar Ikan yang tidak berjualan ikan sama sekali tapi pasar kain dan pakaian, juga pasar buku bekas yang pindah tempat dari jembatan Titi Gantung ke jalan lain di dekat Taman Merdeka.

1421054860715572689
1421054860715572689
Lalu Abang Bentor, mengajak saya mengunjungi rumah besar peninggalan Tjong A Fie. Orang Cina terkaya di Medan pada abad 19 dan awal 20. Mansionnya yang berdiri dengan luas sekitar 6000 meter persegi dijadikan museum dan dapat dikunjungi untuk melihat perjalanan hidup Tjong A Fie dahulu.
2014-12-30 12.28.36_resized
2014-12-30 12.28.36_resized
Ternyata tempat ini sangat amat menarik bagi saya. Saya sangat menyukai rumah tua, arsitektur yang unik, dan perabot kuno. Antusias sekali saya berjalan-jalan dari ruang ke ruangan, menatap berbagai foto-foto lama, dan membayangkan betapa mewahnya dulu tempat ini saat di masa jayanya.
2014-12-30 12.43.53
2014-12-30 12.43.53
Tiketnya Rp 35.000, di beranda depan juga dijual buku-buku yang berkaitan dengan sejarah Cina Peranakan, juga buku memoar tulisan putri tertua Tjong A Fie, yang bernama Tjong Fuk Yin atau dikenal dengan Queeny Chang. Seharusnya mungkin saat kita masuk dan melihat-lihat ke dalam, diantar oleh pemandu. Namun saat saya kesana, tak seorangpun pemandu mengantar saya. Saya juga bingung, apakah memang kita harus berjalan sendiri atau ditemani. Rumah ini besar sekali dan tak seorangpun tampak ada di dalam.
2014-12-30 12.31.57
2014-12-30 12.31.57
Lampu-lampu walau bersinar tak mampu mengusir suramnya bangunan dengan ruangan yang usianya lewat satu abad ini. Barang-barang dan perabot tua, tampak sekali amat cantik dan mewah pada jamannya. Di ruang pertama kita masuk, di sebelah kanan ruangan terdapat grand piano tua berwarna hitam, sebuah lemari bar dengan botol-botol wine kosong. Kursi-kursi kayu tampak kokoh tak lapuk dimakan usia, lantai ruangan ini berornamen daun dan bunga, saya jadi teringat rumah tua kakek saya dulu, lantainya pun berhias seperti ini. Mungkin dulu ruangan luas ini sering dipakai untuk menjamu tamu atau mengadakan pesta.
img1419919581530_resized (1)
img1419919581530_resized (1)
Rumah ini memiliki ruang kosong di tengah dengan ceruk persegi panjang dengan dasar dan pinggiran batu-batu kali berbentuk balok. Sepertinya dulunya adalah kolam dangkal. Mungkin dulu isinya ikan koi dan teratai. Dengan langit terbuka seperti ini, pastinya indah sekali apabila turun hujan jatuh ke kolam. Masuk ke dalam sebelah kiri terdapat ruang kamar yang besar dengan ranjang berkanopi yang sangat indah walau sudah tua sekali terlihatnya, alas tidurnya tampak bersulam dengan pola yang rumit. Warnanya sudah sangat pudar, sehingga tampak kecoklatan. Saya kaget saat menoleh ke belakang terdapat dua manequin tanpa kepala dengan pakaian lelaki dan perempuan khas Cina. Juga terdapat mesin jahit di pojok ruangan. Ada meja bundar dekat tempat tidur dengan buku-buku bertuliskan huruf mandarin. Foto-foto Tjong A Fie dan istri tergantung di dinding, juga foto Sultan Deli yang sangat bersahabat dengan Tjong A Fie semasa hidupnya.
img1419919238923_resized (1)
img1419919238923_resized (1)
Foto-foto Tjong A Fie ini sangat unik karena ada mengenakan pakaian khas Timur Tengah. Ada juga foto dengan wajah wanita bule yang tampak buram. Buram karena memang pelukisnya rupanya sengaja membuatnya blur. Entah kenapa, apakah sedang belajar teknik sfumatto seperti Da Vinci atau lupa mengenakan kacamata saat melukis. Saya perhatikan dari lekat-lekat, tampaknya lukisan wanita berpakaian pemerah susu dari Belanda. Selanjutnya saya memasuki ruang makan yang pastinya dulu sangat menyenangkan. Soalnya makanan Cina kan enak-enak. Sebagai penggemar makanan Cina, saya membayangkan mangkok dan piring yang berornamen hias warna kemerahan itu berisi aneka Dim Sum, juga makanan lain yang menggugah selera, misalnya bebek panggang. Saya juga melihat sampai belakang dimana terdapat dapur kuno. Bahan bakarnya menggunakan kayu bakar, ada banyak lubang-lubang tempat mendudukkan panci dan wajan. Perabot tua tampak dalam lemari. Di sebelah luar terdapat gilingan dari batu. Mungkinkah alat pembuat tahu? Saya pun naik ke lantai atas dimana banyak terdapat ruangan-ruangan, kursi-kursi dan meja untuk duduk-duduk dan tempat sembahyang. Rumah ini terbuat terutama dari kayu. Pastinya kayu yang berkualitas sangat tinggi sehingga tetap kuat bertahan sampai sekarang.
img1419919038141_resized
img1419919038141_resized
Saya senang sekali di museum Tjong A Fie ini, saya asik memperhatikan gramofon tua dan pemutar piringan hitam yang lebih modern yang sebenarnya mungkin berada disitu setelah Tjong A Fie tiada. Masih ingin saya berlama-lama disitu, karena saya sangat suka museum. Tapi saya teringat Abang Bentor yang masih ingin mengantar saya ke tempat lainnya. Oh ya tadi waktu pergi dia minta ongkos Rp 30.000,- saja, tapi dengan tour guide profesional seperti dia yang bahkan sampai mengantar saya ke pasar dan membawakan wajan besi saya, kiranya pantaslah dia diberi beberapa kali lebih banyak dari tarif yang dia minta. Saya masih ingin balik lagi ke Tjong A Fie mansion hari ini, ingin beli bukunya. Tapi sempat engga ya? Besok saya sudah harus pulang ke Bandung. Sekilas tentang Tjong A Fie, dia adalah seorang Hakka atau dari suku Khe, yang lahir di tahun 1860, pergi merantau ke Medan menyusul kakaknya dengan berbekal 10 keping uang Manchuria yang dijahitkan di sabuk celananya. Setelah menempuh perjalanan panjang dengan kapal layar sampailah di Medan dan mendapatkan kakaknya telah menjadi Majoor der Chineezen atau pemimpin komunitas Tionghoa yang ditunjuk oleh Belanda. Berkat keuletan dan kerja kerasnya, Tjong A Fie sukses sebagai pengusaha dan politikus yang sangat dekat hubungannya dengan Sultan Deli Makmoen Al Rasjid Perkasa Alamsyah. Sebagai seorang pengusaha, politikus, philantropis dan salah satu orang yang membangun kota Medan, Tjong A Fie adalah contoh manusia luar biasa. Ada motto atau semboyan hidup Tjong A Fie yang pikir sangat menunjukkan karakternya sebagai berikut: "There on the earth where I stand I hold the sky, success and glory consists not in what I have gotton but in what I have given" Catatan Penting: Khang Kau ini ternyata nama lain Pasar Sambas, bukan nama wajan. Semua jepretan foto adalah milik pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun