Di Medan itu paling enak untuk jalan-jalan keliling kota pakai bentor. Apalagi pas saya datang di awal Januari ini cuaca sedang dingin, sedikit berangin dan cenderung mendung. Sehingga terasa sejuk angin menerpa saat kita berkeliling menikmati suasana. Dan tidak sulit mendapatkan bentor mangkal atau lewat. Mereka selalu ada. Di sekitar hotel, atau di jalan-jalan utama. Siap membantu. Seperti Pramuka. Adik saya begitu mengetahui saya akan pergi ke Medan, berkata dengan wajah tanpa dosa, datar dan jelas bisa terbaca di matanya kata "OLEH-OLEH" dengan huruf besar kapital yang dicetak tebal dan diberi highlight warna ijo terang. "Nitip beliin katel dong!" Catatan bagi pembaca: beliin ini berarti tidak ada penggantian uang, diskon ataupun potongan kupon. Murni gratisan. Katel itu wajan dalam bahasa Sunda. "HAH?! Katel?" Tanya saya dengan kaget tapi cantik. "Ngapain beli katel di Medan??" tanya lanjutan saya dengan berwibawa. Biasanya orang minta dibelikan duren, pie duren atau bolu Meranti. Jarang sekali ada yang minta dibelikan perabot dapur. "Wajan besi ini kata temannya Neng namanya Khang Kau. Tebal dan kuat dan gak bikin masakan gosong, bagus buat bikin kwee tiaw atau mie goreng dan tumisan" "Adanya di Pasar Sambas". Lalu dia membaca sms dari temannya lagi, yang katanya si Neng ibu temannnya ini pernah menjinjing mahluk bernama Khang Kau ini ke kabin pesawat. Isi smsnya sebagai berikut: Wajan besinya namanya Khang Kau, bisa dibeli di toko kelontong di Pasar Sambas di Jalan Sisingamangaraja. Naik becak saja kesitu. Saya dan adik saya Meta, spontan berkata "Naik becaknya darimana?" Dan seolah Gita temannya itu bisa mendengar dari jarak jauh karena dia punya telinga super, smsnya yang berikutnya menyusul: Naik becaknya terserah darimana saja. Halah. Petunjuk yang sama sekali tidak membantu untuk saya yang belum pernah tahu kota Medan. Untuk naik kereta api dari bandara saja petunjuknya saya masih tanya-tanya ke google. Oke, saya sih kalau dapat tantangan emang suka tertarik. Membeli wajan di kota Medan buat saya salah satu tantangan. Apalagi harus ke pasar tradisional. Ini saya suka. Dan kemarin pagi saat saya mati gaya karena baru bisa ke kantor di Medan ini lewat jam makan siang, akhirnya saya iseng kenalan bertanya pada abang pengayuh bentor. Mengayuh sepertinya kurang cocok, karena becaknya digandeng motor. "Bang, bisa antar ke pasar Sambas?" Dia ternyata sangat antusias. Pas ditanya ongkosnya berapa, dia jawab berapa saja yang penting ridho.. Wah ini misterius sekali. Ridho itu bisa berarti sedikit atau banyak. Lah kalau saya ridhonya cuma serebu perak gimana ya? Abang ini gak ada antisipasi banget deh. Berangkat ke pasar, Abang Bentor ini banyak bercerita tempat-tempat menarik dan gedung-gedung tua peninggalan kolonial yang menurutnya bagus-bagus. Dia bahkan selalu berhenti untuk menawarkan saya memotret gedung-gedung tua. Kok ya sepertinya ada chemistry ya antara saya dan dia. Darimana dia tahu saya suka gedung tua? Gawat nih bisa-bisa ntar kita jadian. Sampailah kami di pasar Sambas. Ternyata tidak sulit mencari Khang Kau ini. Petugas tokonya dengan baik hati menenteng segayung air saat saya menyentuh wajan. Karena langsung saja tangan saya saya jadi cemong kena jelaga di wajan itu, mungkin si abangnya cemas saya mencemongkan hidung saya tanpa sengaja. Khang Kau ini berat sekali! Ya iyalah...ini besi cor! Ini bahan buat perisai tentara Romawi jaman invasi Alexander Agung. Bisa juga buat topi baja kalau kita diserang dari udara. Saya bahkan jadi memikirkan Thorin Oakenshield dan perisai dari dahan kayunya saat melihat wajan besi ini. Kangen ih sama Thorin. Dan Kili..ehm. Walau berat dan saya ragu juga untuk membawanya, saya malah beli dua! dan satu lagi dari bahan alumunium, jadi total tiga. Yang alumunium karena terbujuk penjualnya yang bilang bahwa ketebalan alumunium wajan Medan beda dengan wajan Jawa. Wajan di Jawa sudah turun kualitasnya sehingga mudah bocor. Pasti ada mafia penurunan kualitas wajan di Jawa sehingga kalah kualitas dengan wajan Medan yang selalu dicari orang bahkan dari Jakarta. Lalu dia menunjukkan wajan dari Jakarta.."Tuh lihat Kakak, beda kan? wajan Jakarta jelek!" Katanya bernada sok tahu dan yakin. Dia terdengar seperti Percy Weasly yang sibuk mengurus kuali bocor hasil impor. Sekarang pas mau pulang saya memikirkan, akankah saya selamat melewati detector logam di Bandara? bagaimana jika saya ditahan dan kena tuduhan bahwa saya ahli perancang bom yang mampu merakit alat peledak rakitan dengan menggunakan wajan. Cemas deh. Pulang dari Pasar Sambas, Abang Bentor mengajak saya ke Mesjid Raya Medan. Konon Mesjid ini ikut disumbang sebagian oleh orang kaya Medan dulu yang bernama Tjong A Fie untuk teman baiknya Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam. Banyak wisatawan yang datang dan beroto di pelataran mesjid. Abang Bentor menyilakan saya masuk dan melihat-lihat ke dalam. Bahkan dia menawarkan memotret saya disana. Cuma saya tolak, saya bilang, saya ini sudah cukup eksis dengan foto-foto narsis, tidak perlu lah menambah enek orang-orang yang melihat sosmed saya. Saya sekarang fokus pada objek lain saja selain wajah saya. Si abang cuma mengangguk-angguk. Mungkin dia bingung. Tadi dia bilang baru kali ini antar pengunjung kota Medan beli wajan, sekarang kok ada wanita cantik yang gak mau difoto di tempat wisata. [caption id="attachment_364176" align="alignnone" width="640" caption="foto: dokumen pribadi"][/caption] Dari Mesjid, kami lanjut ke Istana Maimoon, si Abang juga menjelaskan sejarahnya dan Meriam Puntung yang ada di depan istana Maimoon, berikut cerita berupa legenda Puteri Hijau yang diabadikan sebagai nama jalan. Ngomong-ngomong Abang Bentor ini harusnya diangkat jadi Duta Wisata Medan deh, lancar sekali dia bercerita tentang Kesultanan Deli dan sejarah-sejarah lain, termasuk cerita tentang Pajak Ikan atau Pasar Ikan yang tidak berjualan ikan sama sekali tapi pasar kain dan pakaian, juga pasar buku bekas yang pindah tempat dari jembatan Titi Gantung ke jalan lain di dekat Taman Merdeka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H