[caption id="attachment_400181" align="alignnone" width="620" caption="Ilustrasi Nasi (Shutterstock)"][/caption]
Harga beras membumbung naik sekitar 30% dari harga Rp 8500 - Rp 9500Â menjadi Rp 11.000 - Rp 12.500 di awal tahun 2015, ini beras kategori murah . Cukup membuat kebanyakan warga Indonesia menjerit.Masalahnya ada pemeo bahwa belum makan namanya bila belum makan nasi. Ini menjadikan nasi menjadi makanan pokok dan wajib adanya. Sudah makan mie, tidak lengkap bila tidak ditambah nasi. Makan roti belum kenyang, harus dengan nasi juga. Tidak nemu nasi dalam sehari, bisa masuk angin. Kok bisa begitu?
Tingginya harga beras ini kombinasi dari berbagai faktor, administrasi di BULOG untuk penyaluran raskin yang belum jelas ada masalah apa, pasokan yang turun, dan faktor cuaca, menjadi sebab-sebab yang dijadikan alasan kenaikan harga beras ini. Penyuka nasi sebagai makanan sehari-hari, ataupun yang menjadikan nasi sebagai makanan pokok tanpa substitusi lain, menjadikan hal ini persoalan.
Padahal kenapa juga harus menjadikan beras sebagai makanan pokok? Dalam sejarahnya bangsa Indonesia, diketahui bahwa kita tidak tergantung pada nasi. Pergeseran gaya hidup di jaman sekarang ini membuat makanan pokok Indonesia asli makin tersingkir.
Ketergantungan kita pada beras pun menyebabkan kita harus mengimpor beras. Ironis sekali kan, padahal negara kita yang disebut sebagai negara agraris ini dikenal sebagai bangsa yang memiliki lumbung padi yang melimpah ruah. Sebutan Jawa Dwipa (Yavadvipa) yang artinya pulau jelai (diartikan sebagai pulau padi) tentunya tadinya bukan karena isapan jempol belaka dan tanpa sebab kan? Peralihan lahan dari area persawahan menjadi pemukiman juga menjadikan pasokan beras makin menipis.
Produksi padi per hektar secara normal berkisar pada 5 ton, usaha peningkatan hasil dapat menjadikannya dapat mencapai 9 ton bahkan lebih, tetap tidak mampu memasok beras yang cukup untuk penduduk Indonesia ini, ditambah lagi sudah sejak lama masyarakat kita meninggalkan makanan pokok asli daerah dan beralih ke nasi. Sebut saja sagu, jagung, ketela, pisang, ubi jalar dan sumber karbohidrat lainnya.
Saat ini ketela atau singkong sering dianggap makanan kelas bawah yang dipandang sebelah mata. Sebutan anak singkong saja seolah mendiskreditkan singkong ke kasta bawah. Padahal singkong merupakan sumber kabohidrat kompleks dengan nilai GI rendah yaitu di bawah 55. Untuk 100 gram singkong terkandung kalori 121 kkal, air 62.5 gram, Fosfor 40 gram, Karbohidrat 34 gram, Kalsium 33 miligram, Vitamin C 30 miligram, Protein 1.2 gram, Besi 0.7 miligram, Lemak 0.3 gram lemak dan Vitamin B1 0.01 miligram. Tidak jauh dengan ubi jalar yang memiliki GI di kisaran angka 30-an dan kandungan vitamin serta serat yang sangat baik bagi pencernaan.
Bandingkan dengan nasi putih yang memiliki GI atau Glycemic Index di kisaran di atas 70. Nasi putih bahkan tidak disarankan untuk penderita diabetes dan penderita trigliserida yang tinggi. Kandungan gulanya yangdapat dengan cepat diproses, akan disimpan menjadi lemak dalam tubuh bila tidak digunakan. Orang-orang yang peduli pada kesehatan malah sekarang mengurangi nasi putih dan mengalihkannya pada makanan lain yang lebih rendah gula.
Kembali pada singkong, secara produksi, dalam 1 (satu) hektar bisa diperoleh 18 sampai dengan 20 ton singkong. Itupun rencananya akan digenjot ke angka 30 ton lebih di agenda tahun 2015 sampai 2019 ini. Angka yang cukup fantastis dan terdengar mengenyangkan bukan?
Jadi kenapa tidak? Saya sih siap jadi anak singkong.
Sumber bacaan:
http://majalahkesehatan.com/indeks-glikemik-arti-dan-manfaatnya/
http://www.tempo.co/read/news/2014/05/15/092577830/Produksi-Singkong-Bakal-Digenjot
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H