Awal tahun 2013 saya mencanangkan resolusi hijau untuk menanam atap rumah saya dengan tanaman yang bermanfaat. Bermanfaat bagi ongkos dapur terutama. Apalagi kami ini sekeluarga penggemar cengek aka cabe rawit yang pedasnya menggigit, selalu jadi sambal atau menemani makan. Ditambah dedaunan lalapan. Maklum orang Sunda, Apa saja yang dedaunan dimakan asal jangan daun jendela. Jadi sebelum ngetrend tuh aktris Hollywood rame-rame soal raw food, orang Sunda mah sudah biasa itu yang namanya makan mentahan.
Biar engga dibilang tong kosong berisik bunyinya, cuma bisa bikin resolusi doang taunya malah ganti layar notebook dengan resolusi lebih tajam, saya mau laporan realisasi saya sesuai tulisan saya dulu itu. Malu atuh kalo engga jadi, udah jadi HL, dimuat di Kompasiana cetak di harian Kompas, masa engga ada hasilnya.
Karena rumah saya kecil dan lahan saya sempit, hanya dak atap rumah yang saya bisa jadikan lahan untuk menanam tanaman yang bermanfaat. Itupun rebutan dengan jemuran, dan yang berisik suami saya, dia tak rela tempat jemuran jadi korban. Maklum suami saya hobi nyuci dan jemur pakaian. Kebalik sama saya yang hobi nulis dan nyiram tanaman.
Kalau rumah kecil engga punya lahan, maka lupakan kalau ingin menanam pohon pisang, jambu apalagi duren. Kecuali tambulapot, Tanaman Buah dalam Pot. Itu juga ga bisa kecil juga, minimal setengah drum bekas minyak tanah ukurannya, biar perakarannya maksimal. Kasian kan sudah jadi bonsai kurang gizi pula. Tapi itu cerita lain. Walaupun tanaman buah memang berguna, sebagai ibu rumah tangga tukang gado-gado yang nyambi kerja di perusahaan telekomunikasi, saya ingin lebih memanfaatkan lahan saya untuk herba dan tanaman bumbu.
Kenapa? Salah satu dari banyak alasan adalah karena tanaman herba dan bumbu ukurannya kecil. Kedua mudah dirawat, ketiga nilai ekonomisnya tinggi. Ingat kan lagi harga cengek melonjak? Sekilo sampai seratus rebu, untuk saya banyak nanam cabe rawit, tidak ada imbas secara ekonomi maupun kejiwaan pada saya akibat harga cengek yang meroket itu.
Seperti saya pernah nulis dulu entah kapan, hitungan-hitungan belanja bumbu dapur ini lumayan loh. Hitung saja deh sebagai hitungan kasar, saya juga lupa sih harga bumbu dapur berapa. Tomat 4 biji 10.000, bawang daun seikat 5000, kemangi seikat 5000, cengek satu ons 10.000, bawang dan lainnya plus tanaman bumbu eropa misalnya karena pengen gaya bikin steak atau ayam panggang ala bule, rosemary, thyme, dan sage itu udah mah susah nyarinya sebungkus kecil harganya 10,000 an. Beli bumbu saja bisa keluar duit 50.000,- sehari. Kecuali mau masakan plain doang, misalnya telor dadar, bumbu cuma tabur garam, tanpa bawang daun dan lainnya. Tapi kan bosen. Lagian ibu-ibu yang hobi masak, bisa stress kalau lagi sakaw masak trus engga bisa dapetin bumbu.
Oke mari lihat kebun saya,
Ini di atap rumah. Kalau cape abis ngebon atau ingin mengetik di blog Kompasiana, saya biasa nongkrong disini.
Dimana selain urusan emak-emak yang bawel urusan harga bumbu dan sering berantem dengan tukang sayur ini, setidaknya saya harap bisa berkontribusi walaupun sedikit bagi udara kota dengan memberikan oksigen, sukur-sukur kalau banyak juga yang ikutan kayak saya, sehingga ozon yang bolong itu bisa tertambal kalau makin banyak kaum urban kota yang menjadikan atap rumahnya lahan hijau.
Demikian laporan resolusi hijau saya, salam hangat dan selamat malam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H