Prolog
Filsafat selalu berusaha menjelaskan dunia dan perubahan yang terjadi di dalamnya. Namun, dengan perkembangan zaman dan kompleksitas masalah sosial yang kita hadapi saat ini, banyak yang bertanya: apakah filsafat klasik masih relevan? Di tengah krisis sosial global yang melanda dunia—dari ketidaksetaraan ekonomi hingga perubahan iklim—pemikiran besar dari dua filsuf, Georg Wilhelm Friedrich Hegel dan Karl Marx, menawarkan perspektif yang menarik. Meskipun keduanya memiliki pandangan yang sangat berbeda mengenai bagaimana dunia berfungsi, keduanya tetap memberikan jawaban penting tentang perubahan sosial yang terjadi.
Hegel dikenal dengan filsafatnya yang mengedepankan roh universal dan dialektika ide, di mana sejarah manusia dianggap sebagai perjalanan menuju pemahaman yang lebih tinggi tentang diri dan dunia. Di sisi lain, Marx memberikan perspektif yang lebih materialistik, di mana perubahan sosial ditentukan oleh kondisi material—khususnya ekonomi dan hubungan kelas yang ada dalam masyarakat. Meskipun kedua pemikir ini memandang dunia dengan cara yang sangat berbeda, ide mereka memiliki relevansi yang besar dalam memahami dinamika perubahan sosial yang kita alami saat ini.
Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi ide-ide utama dari Hegel dan Marx, membandingkan pendekatan mereka terhadap perubahan sosial, dan mengungkap relevansi pemikiran mereka dalam era kapitalisme global dan krisis ketidaksetaraan sosial yang sedang terjadi di seluruh dunia.
Pemikiran Hegel: Roh Universal dan Dialektika Ide
Pemikiran Hegel berpusat pada konsep perubahan dalam ide dan evolusi kesadaran manusia menuju pemahaman yang lebih tinggi tentang dunia. Dalam dunia Hegel, perubahan sosial tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi atau material, melainkan lebih kepada evolusi gagasan dan ide. Namun, untuk memahami bagaimana ide ini berkembang, kita perlu memahami konsep predikat determinasi universal dan bagaimana Hegel melihat hubungan antara "Being" (Ada), "Nothing" (Tidak Ada), dan "Becoming" (Menjadi) dalam dialektikanya.
Predikat Determinasi Universal
Hegel menggunakan istilah "predikat determinasi universal" untuk menggambarkan bagaimana segala sesuatu dalam dunia ini berproses menuju suatu tujuan akhir atau kesadaran mutlak. Dalam pandangannya, determinasi universal ini bukanlah sesuatu yang bersifat pasif atau tetap, melainkan aktif dan dinamis. Determinasi adalah proses di mana sesuatu ditentukan, diubah, atau dibentuk dalam perjalanan waktu, dan ini merupakan bagian dari dialektika yang tak terhindarkan. Hegel meyakini bahwa dunia ini tidak berjalan secara kebetulan, melainkan ada suatu proses pengembangan ide yang lebih besar dan lebih universal yang menggerakkan segala hal.
Dalam konteks ini, determinasi universal merujuk pada gagasan bahwa dunia ini terstruktur menurut prinsip tertentu yang menjamin adanya perubahan, bahkan dalam hal-hal yang tampaknya sangat terikat pada kondisi sosial dan material tertentu. Ide, atau roh, adalah kekuatan yang menggerakkan perubahan ini, dan melalui kontradiksi-kontradiksi dalam sejarah, dunia akan mencapai pemahaman diri yang lebih tinggi, atau dalam kata lain, menuju kesadaran mutlak. Ini bukan hanya soal ide yang berubah, tetapi juga tentang bagaimana realitas itu dibentuk oleh ide yang berkembang ini.
Konsep Being, Nothing dan BecomingÂ
Konsep Being (Ada), Nothing (Tidak Ada), dan Becoming (Menjadi) adalah dasar dari dialektika Hegel. Dalam karya-karyanya, Hegel menggambarkan dunia sebagai proses yang terus berkembang, dan ketiga konsep ini menggambarkan pergerakan dari sesuatu yang statis menuju sesuatu yang dinamis.
1. Being (Ada): Ini adalah kondisi awal yang paling dasar—adanya sesuatu. Dalam bentuknya yang paling sederhana, Being adalah sesuatu yang ada tanpa definisi atau karakteristik tertentu. Sebuah objek atau keadaan yang tidak memiliki kualitas spesifik yang membedakannya dari yang lain.
2. Nothing (Tidak Ada): Konsep ini muncul karena Hegel memahami bahwa jika Being hanya ada tanpa perbedaan, maka sebenarnya itu tidak memiliki makna. Nothing adalah keadaan kosong, yang berarti ketiadaan kualitas atau definisi. Namun, Nothing bukanlah keadaan absolut atau statis, melainkan kondisi yang membuka ruang bagi perubahan.
3. Becoming (Menjadi): Becoming adalah tahap perubahan dinamis yang terjadi ketika Being dan Nothing saling berinteraksi. Menurut Hegel, dari kontradiksi antara Being dan Nothing inilah muncul Becoming—suatu proses yang terus bergerak dan berkembang. Ini adalah tahap dinamis, yang menjadi dasar dari segala sesuatu yang ada di dunia, di mana segala sesuatu berkembang, berubah, dan bergerak menuju sintesis yang lebih tinggi.
Misalnya, dalam konteks perubahan sosial, kita bisa lihat bagaimana konsep ini bekerja. Sebuah keadaan sosial yang ada saat ini (misalnya ketidaksetaraan sosial) adalah Being, kondisi yang ada dalam masyarakat. Namun, ketidaksetaraan ini tidak bisa bertahan selamanya karena pada titik tertentu akan muncul kontradiksi (misalnya, ketidakpuasan di kalangan kelas bawah atau munculnya kesadaran kelas proletariat). Hal ini menciptakan Nothing, yang menunjukkan bahwa kondisi yang ada tidak dapat dipertahankan lebih lama. Maka, dari ketegangan ini, lahirlah Becoming—proses perubahan menuju suatu tatanan sosial yang baru, di mana kelas pekerja bisa bangkit dan menggulingkan sistem yang ada, seperti yang dijelaskan oleh Marx. Dalam dialektika Hegel, ini adalah contoh bagaimana kontradiksi ide (dalam hal ini ide mengenai keadilan sosial dan ketidaksetaraan) akan bergerak menuju sintesis, menciptakan masyarakat yang lebih adil.
Pemikiran Marx: Materialisme Dialektik dan Perjuangan Kelas
Sementara Hegel lebih fokus pada perubahan ide, Karl Marx mengajukan pandangan yang jauh lebih materialistik tentang bagaimana dunia berubah. Menurut Marx, perubahan sosial tidak terjadi karena ide-ide atau gagasan yang berkembang, melainkan karena perubahan dalam kondisi material—khususnya struktur ekonomi dan hubungan kelas dalam masyarakat. Marx berpendapat bahwa dalam sistem kapitalisme, hubungan antara pemilik modal (kapital) dan pekerja selalu berada dalam konflik yang mendalam.
Marx mengembangkan teori materialisme dialektik, yang menekankan bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Setiap sistem ekonomi—termasuk kapitalisme—menciptakan ketimpangan antara kelas-kelas sosial yang memiliki akses berbeda terhadap sumber daya. Ketika kelas-kelas yang tertindas mulai menyadari ketidakadilan ini, mereka akan mengorganisir diri dan melakukan perlawanan untuk menggulingkan sistem yang ada. Perjuangan kelas ini merupakan kekuatan penggerak utama bagi perubahan sosial, bukan karena ide atau gagasan yang berkembang.
Menurut Marx, revolusi sosial hanya bisa terjadi ketika kelas buruh, yang memiliki kapasitas untuk memproduksi namun tidak memiliki kepemilikan atas alat produksi, menyadari potensi kolektif mereka dan berjuang untuk mengubah struktur ekonomi yang ada. Ketika ini terjadi, struktur masyarakat akan berubah, dan sistem yang lebih adil akan muncul. Marx meyakini bahwa perubahan sosial tidak akan datang melalui transformasi ide, tetapi melalui aksi material dan perjuangan kelas.
Perbandingan Keduanya: Idealistik vs Materialistik
Walaupun baik Hegel dan Marx sama-sama menggunakan dialektika sebagai metode untuk memahami perubahan sosial, pendekatan mereka sangat berbeda. Hegel lebih menekankan peran ide dan gagasan dalam membentuk sejarah. Bagi Hegel, konflik ide—yang terjadi antara tesis dan antitesis—mendorong terjadinya perubahan dalam pemikiran manusia, yang pada gilirannya dapat mengubah struktur sosial.
Sebaliknya, Marx berpendapat bahwa perubahan sosial disebabkan oleh perubahan dalam kondisi material—bukan perubahan ide. Dalam pandangan Marx, struktur ekonomi adalah yang menentukan bagaimana hubungan sosial dan kekuatan politik terbentuk. Konflik antara kelas-kelas yang ada, seperti antara pemilik modal dan buruh, adalah penyebab utama perubahan dalam masyarakat.
Namun, meskipun ada perbedaan yang signifikan, keduanya sepakat bahwa perubahan sosial tidak bisa dipahami dengan hanya melihat aspek statis dari masyarakat. Mereka berdua melihat proses dialektik—baik dalam ide maupun dalam material—sebagai proses yang berkelanjutan yang akan terus membentuk sejarah umat manusia.
Penerapan di Era Sekarang
Relevansi pemikiran Hegel dan Marx di dunia modern sangat besar, terutama dalam menghadapi krisis sosial global yang terjadi sekarang ini. Dalam era kapitalisme global yang didominasi oleh teknologi dan perusahaan besar, kita menyaksikan bagaimana struktur ekonomi menciptakan ketimpangan sosial yang semakin parah. Marx memberi kita alat untuk menganalisis bagaimana kapitalisme mengatur dunia ini dan bagaimana kelas-kelas yang tertindas berjuang untuk mengubahnya.
Namun, dalam dunia yang semakin terhubung dan saling bergantung ini, kita juga melihat bagaimana ide-ide baru yang berkembang di media sosial dan gerakan global—seperti kesetaraan gender, keadilan rasial, dan perubahan iklim—menjadi katalisator perubahan sosial. Dalam hal ini, pandangan Hegel tentang roh universal dan dialektika ide memberikan perspektif yang menarik: bahwa dunia berubah tidak hanya karena kondisi materi, tetapi juga karena perubahan dalam cara kita berpikir tentang masalah-masalah sosial ini.
Krisis ketidaksetaraan ekonomi yang terjadi dalam kapitalisme global juga menunjukkan bahwa perjuangan kelas yang digagas oleh Marx tetap sangat relevan. Dengan melihat ketidakadilan yang ditimbulkan oleh penguasaan modal oleh segelintir perusahaan besar, kita dapat memahami bagaimana kesenjangan sosial dapat terus melebar dan memicu ketidakstabilan sosial.
Pemikiran Hegel dan Marx memiliki kontribusi besar dalam memahami perubahan sosial. Hegel mengajarkan kita bahwa perubahan sosial terjadi ketika gagasan berkembang dan membawa kita ke pemahaman yang lebih tinggi tentang diri kita dan dunia. Sementara itu, Marx mengingatkan kita bahwa perubahan sosial tidak hanya ditentukan oleh ide, tetapi juga oleh kondisi material yang ada dalam masyarakat, khususnya dalam konflik kelas yang terjadi.
Sebagai individu di dunia yang terus berkembang ini, kita dapat mengambil hikmah dari kedua filsuf ini. Dari Hegel, kita belajar bahwa kita harus terus mengembangkan pemahaman kita tentang diri dan dunia, sementara dari Marx, kita belajar untuk tetap kritis terhadap struktur ekonomi dan sosial yang ada. Pemikiran mereka bisa menjadi panduan kita dalam menghadapi tantangan global yang kompleks di dunia modern, dan mendorong kita untuk berkontribusi pada perubahan sosial yang lebih adil dan berkelanjutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI