Mohon tunggu...
Mira Jumyatin
Mira Jumyatin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Pendidikan Sejarah

"Jika kamu terburu-buru untuk sampai kedepan, kamu akan kehilangan banyak hal penting. -D.O."

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Terjadinya Krisis Moneter pada Tahun 1997-1998

26 April 2023   22:57 Diperbarui: 26 April 2023   23:00 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bencana Keuangan Asia, yang merupakan konvergensi mengerikan dari pasar keuangan yang sulit diatur dan kebijakan pemerintah yang longgar, merupakan penyebab keruntuhan keuangan yang dialami Indonesia pada tahun 1997. dipicu oleh keputusan pemerintah Thailand untuk menerapkan kebijakan sistem mengambang pada nilai baht dibandingkan dengan dolar AS. Untuk melindungi kepemilikannya, investor dari Asia Tenggara dan negara lain mulai menarik investasi dari kawasan tersebut (Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Filipina). Hal ini sebagian disebabkan oleh fakta bahwa kapitalisme kroni, yang berfokus pada lingkungan kekuasaan, mendominasi sistem ekonomi Indonesia. Krisis moneter yang dimulai pada pertengahan Juli 1997 telah berkembang menjadi krisis ekonomi bahkan krisis dengan beberapa dimensi. Perekonomian Indonesia berfluktuasi sebagai akibat dari krisis keuangan. 

Faktor Penyebab Krisis Moneter di Indonesia

Krisis Indonesia tahun 1998 disebabkan oleh tiga sumber yang berbeda. Yang pertama adalah rapuhnya sistem keuangan negara. Salah satu jalur utama masuknya modal asing ke dalam negeri adalah melalui lembaga keuangan, khususnya perbankan dan pasar modal. Sejak pemerintah menderegulasi hampir semua aspek perekonomian nasional pada tahun 1980-an, telah terjadi peningkatan arus masuk uang asing. Kekuasaan pemerintah untuk memberlakukan undang-undang kehati-hatian yang mengatur industri keuangan tidak dibarengi dengan deregulasi sektor keuangan. Yang kedua adalah perkembangan nilai riil rupiah. Nilai rupiah yang sebenarnya telah meningkat karena meningkatnya arus kas asing. Kenaikan suku bunga di pasar domestik dapat dimoderasi oleh penguatan rupiah. Apresiasi rupiah telah membantu menurunkan tingkat inflasi domestik dengan menurunkan biaya barang impor. Karena subsidi anggaran yang signifikan untuk barang-barang yang harganya ditetapkan oleh pemerintah selama era 1990--1996, inflasi lebih rendah daripada periode waktu itu. Karena besarnya biaya untuk membiayai pengendalian tersebut, rendahnya tingkat inflasi pada era 1990--1996 belum tentu mencerminkan kesehatan fundamental perekonomian nasional. Ketiga, rapuhnya bank Indonesia sebagai bank sentral yang terlihat dari melemahnya kredibilitas lembaga tersebut dan ketidakmampuannya dalam mengimplementasikan kebijakan moneter. Tiga peristiwa---bank runs, panic buying, dan capital flight---mencerminkan tergerusnya reputasi Bank Indonesia. Setelah pemerintah pada 1 November 1997 mengumumkan pencabutan izin operasi 16 lembaga keuangan swasta, tingkat keresahan masyarakat saat ini meningkat.

Dampaknya dengan cepat dialami di seluruh wilayah sebagai akibat dari krisis yang melanda Asia Timur dan Tenggara pada tahun 1997--1998; namun, tingkat keparahan dan cakupan masalahnya bervariasi. Contoh yang paling parah adalah Indonesia. Pada tahun 1998, beberapa negara yang terkena dampak krisis yang sama mulai menunjukkan indikasi pemulihan, namun Indonesia tampaknya semakin tenggelam ke dalamnya. Menurunnya mata uang nasional dari September hingga Oktober 1997 menandai dimulainya penurunan, seperti yang terjadi di tempat lain. Krisis moneter Indonesia memburuk dan juga memicu krisis politik yang berujung pada penggulingan pemerintahan Soeharto pada Mei 1998, berbeda dengan, katakanlah, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan, di mana inflasi dikendalikan dan lembaga keuangan dibersihkan.

Jatuhnya Rezim Soeharto

Karena pemerintahan Soeharto selama pemerintahannya hanya bertumpu pada legitimasi kinerja ekonomi, bukan legitimasi moral dan prosedural, maka krisis ekonomi Indonesia menjadi bencana bagi kekuasaan Soeharto. Akibatnya, Soeharto kehilangan kesempatan yang mungkin bisa meningkatkan kredibilitas otoritasnya. Akibatnya, krisis ekonomi yang menjadi faktor utama merosotnya legitimasi Soeharto. Formula dasar pembangunan ekonomi nasional Orde Baru---paradigma trickle down effect untuk pemerataan ekonomi---ternyata sangat rapuh dan tidak bisa diandalkan. Banyak orang tidak dapat mengambil manfaat dari paradigma ini; sebaliknya, segelintir orang, terutama mereka yang memiliki akses ke kekuatan ekonomi dan politik nasional, lebih diuntungkan dari "kue pembangunan nasional": 42). Orang-orang berhenti mempercayai Soeharto, yang menyebabkan keresahan sosial yang parah. Pengunduran diri Soeharto segera dari jabatannya diminta oleh rakyat. Para elit yang dekat dengan Soeharto ketakutan oleh gerakan besar dan luas di sektor massa ini dan melarikan diri darinya sendirian untuk menghadapi massa yang membengkak. Demonstrasi sosial yang meluas merupakan wujud ketidakpuasan masyarakat terhadap berbagai kebijakan dan prakarsa politik era Soeharto yang terus-menerus mengasingkan dan menjauhkan rakyat (Sahdan, 2004:244).

Situasi dan Kondisi Sosial Politik di Indonesia

Aktivis politik tidak diberikan jenjang karir yang jelas di era Soeharto karena proses pemilu yang tidak jelas dan model regenerasi berbasis nepotisme masih bertahan. Proses pengambilan keputusan kurang terbuka, dan apa pun bisa terjadi kapan saja sesuai keinginan pemerintah. Pemerintahan Soeharto di Indonesia sepanjang era Orde Baru juga menunjukkan penyimpangan. Salah satu ciri politik utama pemerintahan Soeharto adalah tumbuhnya KKN. Soeharto leluasa memanfaatkan hasil kemajuan dan pertumbuhan (Sahdan, 2004:147). Dengan mengandalkan gagasan tentang "keluarga yang harmonis", Soeharto mengeksploitasi Pancasila untuk memajukan kepentingannya sendiri dan kepentingan keluarga serta rekan-rekannya (Winters, 1999:18). Munculnya praktik KKN oleh sekutu dan keluarga Soeharto di lembaga pemerintahan, lembaga negara, dan perusahaan milik negara berkontribusi pada meningkatnya kesenjangan sosial ekonomi umat manusia. Kesenjangan ini terjadi karena pemerintah tidak menawarkan fasilitas yang sama kepada orang-orang biasa yang berwirausaha seperti yang diberikan kepada teman dan keluarganya, yang menimbulkan kebencian masyarakat (Urbaningrum, 1999:4). Ketika siswa menyaksikan ketidakadilan sosial, mereka menjadi sangat khawatir. Mahasiswa sempat berdemonstrasi keras menentang pemerintah Orde Baru karena keadaan ini. Demonstrasi digunakan sebagai cara untuk menyampaikan keberatan ini. Aksi mahasiswa ini dilakukan di beberapa kota di Indonesia (Sanit, 1999:173). Pemerintahan Presiden Soeharto melakukan berbagai penyimpangan sehingga membuat masyarakat merasa kecewa dengan tindakan yang dilakukan pemerintah. Kebencian rakyat tidak bisa lagi diredam, sehingga sikap anti pemerintah terus bermunculan dari hari ke hari. Ditambah dengan aksi mahasiswa yang menuntut Presiden Soeharto mundur dan segera melakukan reformasi. Tokoh politik, tokoh masyarakat dan mahasiswa semakin berani menghadapi Presiden Soeharto dan ABRI sebagai kekuatan Orde Baru.

Referensi :

Nur d, Dampak Krisis Moneter 1998, Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta, 2009, hlm 88, 91-93

Lilik Eka Aprilia, Drs. Kayan Swastika, M.si, Drs Sumarjono, M.si. Berakhirnya Pemerintahan Presiden Soeharto Tahun 1998, Jember : Universitas Jember, 2014, hlm 3-5

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun